jpnn.com - Dua orang aktivis demokrasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi tersangka kasus pencemaran nama Luhut Binsar Panjaitan. Sangat mungkin tak lama lagi keduanya ditangkap dan dipenjarakan.
Hal itu buntut video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya. Jenderal BIN Juga Ada" di YouTube. Video itu berisi perbincangan Haris dengan Fatia.
BACA JUGA: Big Dusta
Dalam video itu disebutkan bahwa PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group, terlibat dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Luhut adalah salah satu pemegang saham di Toba Sejahtera Group
Luhut pun melaporkan Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya. Proses mediasi sempat digulirkan, tetapi berakhir buntu.
BACA JUGA: Haris dan Fatia Jadi Tersangka Terkait Laporan Luhut, Tim Advokasi untuk Demokrasi Bereaksi Keras
Luhut membantah tuduhan bahwa dirinya bermain bisnis tambang di Papua. Apalagi, kata dia, tak ada bukti atas tuduhan tersebut.
Luhut melapor ke polisi lantaran somasi yang dia layangkan tak direspons. Dia menghendaki dua aktivis itu diproses secara pidana.
BACA JUGA: Haris Azhar Minta Luhut Jelaskan Big Data Penundaan Pemilu, Jangan Bisanya Tersangkakan Orang Saja
Luhut mengatakan tidak ada kebebasan yang absolut. Semua kebebasan harus bertanggung jawab.
Oleh karena itu, Luhut merasa punya hak untuk membela hak asasinya. Dia tak hanya memidanakan Haris dan Fatia, tetapi juga mengajukan gugatan perdata sebesar Rp 100 miliar.
Jika gugatan perdatanya menang, Luhut akan menyumbangkan uang itu kepada warga Intan Jaya.
Beberapa hari belakangan ini, nama Luhut kembali jadi omongan lagi. Menteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi mengeklaim punya big data tentang 120 juta warganet Indonesia mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 diundur.
Namun, Luhut seolah sulit tersentuh hukum dengan pernyataan yang meragukan dan membuat gaduh itu. Rocky Gerung menganggap Luhut “The Untouchable’’ alias tidak tersentuh.
Kuasa hukum Haris menilai langkah hukum yang diambil Luhut tidak terpuji dan memberikan preseden buruk dalam upaya partisipasi dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah.
Pemidanaan itu menjadi bentuk pembungkaman terhadap masyarakat. Sebab, tak pantas seorang pejabat pemerintah menggunakan institusi negara untuk kepentingan pribadinya.
Kuasa hukum Fatia menyebut Luhut bersikap otoriter. Sebagai pejabat publik, semestinya Luhut tak merespons sebuah kritik dengan tindakan hukum.
Seharusnya Luhut membantah kritikan itu dengan data yang akurat. Seharusnya masyarakat mengawasi pemerintah, tetapi yang terjadi justru kebalikannya.
Kirminalisasi terhadap Haris dan Fatia bisa menyebabkan kepercayaan publik terhadap pemerintah hilang. Sebab, publik melihat hal ini sebagai pengendalian politik yang disponsori oleh oligarki.
Praktik double standard dan conflict of interest para elite politik sudah lama menjadi sorotan para aktivis. Kaitan oligarki politik dengan bisnis batu bara di Kalimantan diungkap dalam sebuah laporan hasil investigasi para aktivis.
Nama-nama elite politik papan atas disebut jelas dalam laporan itu. Dalam laporan bertajuk "Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara’’ (2018), aktivis Jaringan Tambang mengungkap bisnis batu bara menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik Indonesia, mulai dari level daerah sampai ke tertinggi nasional.
Pemain kunci di industri batu bara memainkan peranan penting dalam pemilihan presiden. Hal yang sama terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten.
Para kandidat mencari sumber pendanaan kampanye yang mahal kepada para pengusaha tambang.
KPK dan organisasi masyarakat sipil mencatat adanya kenaikan tajam jumlah izin pertambangan saat kampanye pilkada atau segera setelah pilkada selesai.
Kebutuhan terhadap modal politik yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak, serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar, menjadikan sektor itu terpapar korupsi politik akut.
Perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik, dan hal ini mendorong terjadinya perselingkuhan antara perusahaan, birokrat, dan politisi. Perselingkuhan seperti ini terjadi di level daerah sampai ke level pusat.
Para elite politik itu menyatukan kepentingan bisnis dengan kepentingan politik. Inisial elite yang disebut ialah ARB, pemilik perusahaan batu bara BR dan menjadi elite parpol anggota koalisi pendukung pemerintah.
Ada juga PS yang mempunyai grup bisnis N dan juga menjadi salah satu pemimpin partai anggota koalisi. Terdapat elite politik dengan konflik kepentingan yang besar di bisnis ini.
Mereka disebut sebagai politically exposed persons (PEP), karena ada konflik kepentingan dan ada kemungkinan melakukan abuse of power dengan cara dagang pengaruh. Menteri L tercatat sebagai pemegang saham PT TS.
Perusahaan itu memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat pertambangan batu bara dan PLTU. Beberapa elite lain terhubung dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga L, mantan menteri, pejabat tinggi, dan pensiunan jenderal.
Dalam menyatukan bisnis dan politik di sektor batu bara, L menggunakan struktur lama oligarki politik, yaitu istana kepresidenan, militer, dan partai politik. Dia juga menggunakan lanskap baru, yaitu desentralisasi dengan bekerja sama dengan elite dan penguasa lokal.
Di partai politik, L terkoneksi dengan ARB dan beberapa kadernya. Belakangan ini, kader-kader partai itu ditangkap KPK karena kasus korupsi lain.
Salah satu kader partai itu, IM, ditangkap ketika menjabat sebagai menteri sosial. Ada juga AS, wakil ketua DPR yang diadili karena kasus suap anggaran di Lampung.
Selain itu, ada nama-nama elite politik daerah, yaitu mendiang Syaukani Hasan Rais dan putrinya, Rita Widyasari. Bapak dan anak itu sama-sama terjerat kasus korupsi dan sang anak sekarang masih mendekam di penjara.
Hukum di Indonesia mewajibkan sebuah perusahaan untuk mengungkapkan pemilik sah perusahaan untuk didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM.
Namun, para elite yang masuk dalam kategori "pemilik manfaat" atau benifical owner itu sering tidak dimunculkan namanya, padahal mereka adalah pemain utama di balik bisnis itu.
Menghentikan dan membungkam oposisi, apalagi membunuh oposisi, adalah kejahatan demokrasi. Dalam alam demokrasi, suara oposisi adalah kicauan burung yang indah yang harus dibiarkan tetap bebas di alam lepas.
Novelis Amerika, Harper Lee, menulis novel "To Kill a Mockingbird’’ (Membunuh Burung Pengejek) pada 1960. Sampai sekarang, novel itu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Amerika karena ditulis dengan sangat indah dan memenangkan Hadiah Pulitzer yang bergengsi.
Novel itu bercerita mengenai Atticus Finch, seorang pengacara di kota kecil Alabama, yang selalu gigih membela hak-hak warga kulit hitam yang sering tertindas. Pesan utama dari novel itu ialah memperjuangkan demokrasi akan selalu berhadapan dengan jalan yang sangat sulit.
Suara perjuangan demokrasi itu terdengar seperti suara burung pengejek bagi kekuasaan. Bagi rakyat yang merindukan kebebasan, kicau mockingbird adalah alunan indah di alam bebas yang memberikan hiburan dan pengharapan.
Bagi kekuasaan yang korup, kicau burung mockingbird terdengar sebagai ejekan yang memerahkan telinga. Karena itu, si burung pengejek itu harus dibunuh.
To Kill a Mockingbird adalah pembunuhan terhadap demokrasi. Mockingbird tidak mengganggu siapa pun kecuali membuat musik untuk kita nikmati.
Mereka tidak merusak kebun orang-orang atau membuat sarang di pohon-pohon jagung. Mereka tidak melakukan apa pun kecuali menyanyikan suara hatinya untuk kita.
Itulah sebabnya berdosa kalau seseorang membunuh mockogbird. "Kalian boleh menembak burung bluejay kalau bisa, tetapi ingat, membunuh mockingbird adalah sebuah dosa.’’ (***)
Redaktur : Boy
Reporter : Cak Abror