Big Dusta

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 18 Maret 2022 – 13:45 WIB
Contoh platform media sosial yang menjadi bahan pengumpulan big data. Foto/ilustrasi: Ayatollah Antoni/JPNN.com.

jpnn.com - Filsuf Yunani, Plato (428-348 SM)  menuturkan kisah ‘’Manusia Gua’’ yang seumur hidupnya terbelenggu di dalam gua dan hidup dalam bayang-bayang yang tidak nyata.

Apa yang dia saksikan hanyalah bayangan atau refleksi dari benda-benda yang muncul akibat pantulan cahaya api dari luar gua. 

BACA JUGA: Pendeta Saifuddin

Plato berkisah: Maka adalah sebuah gua, yang mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja.

Akan tetapi, mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. 

BACA JUGA: Penundaan Pemilu 2024: Big Data Luhut Binsar Vs PDI Perjuangan

Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. 

Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua.  

BACA JUGA: Sebenarnya Pak Luhut Pakai Big Data atau Big Dusta?

Bayangan hitam yang bergerak di dinding gua diyakini sebagai kebenaran.

Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dibawa keluar. 

Dia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. 

Akan tetapi, pantulan cahaya api dan sinar dari luar gua membuat matanya silau dan sakit. 

Dia lebih suka melihat bayangannya sendiri. 

Lama kelamaan dia bisa melihat api dan lalu dia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang. 

Kemudian, dia keluar dan melihat matahari yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat. 

Dia melihat sungai, padang, dan benda-benda di sekitarnya.

Setelah beberapa waktu, dia akan beradaptasi. 

Matanya menyesuaikan diri, demikian pula dengan badannya. 

Dia menyadari bahwa ada kenyataan yang melampaui bayangan dalam gua. 

Ada realitas yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan di balik pencitraan yang dibungkus dengan harapan, buaian, dan retorika yang menyesatkan.

Dalam sekejap pengetahuannya bertambah, dia tidak lagi menjadi orang gua yang naif. 

Ketika melihat kembali ke dalam gua, orang ini akan menyadari bahwa kenyataan yang dipercaya selama ini salah. 

Semua yang dia lihat dan dengar itu bukan kenyataan sebenarnya, melainkan sekadar bayangan atau citra dari kenyataan yang lebih tinggi.

Lalu, dia kembali ke gua lagi, dan hal pertama yang akan dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. 

Akan tetapi, kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu kebiasaan mereka akan ilusi. 

Ada kemungkinan dia akan dikucilkan karena pandangannya tentang kenyataan berbeda dengan mereka yang masih terbelenggu oleh rantai. 

Ada kemungkinan bahwa apabila hendak membebaskan teman-temannya, dia akan dibenci karena menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. 

Ada juga kemungkinan bahwa dia akan dipandang rendah. 

Karena matanya sudah beradaptasi dengan dunia luar, dia tidak lagi pandai mengamati bayangan di dinding.

Pada akhirnya, di mata orang-orang yang belum tercerahkan, persinggungan si orang bebas dengan dunia luar tidak ada gunanya. 

Boleh jadi dia akan dianggap sebagai orang linglung atau sakit jiwa. 

Alih-alih mendapatkan ucapan terima kasih, dia justru akan dibunuh oleh orang-orang gua.

Alegori gua merupakan salah satu bagian paling terkenal dalam sejarah filsafat barat. 

Plato menulis dalam bukunya yang terkenal ‘’Republik’’ berisi pelajaran dasar mengenai politik, demokrasi, kebebasan, dan kenegaraan.

Dialog-dialog panjang dalam ‘’Republik’’ mendedah filosofi politik Plato mengenai prinsip-prinsip kewarganegaraan yang masih relevan dengan kondisi saat ini.

Di kehidupan modern saat ini, alegori gua berubah wujud menjadi simulacra, sebuah kondisi di ruang yang penuh dengan simulasi atau reduplikasi suatu objek seperti produk barang, sehingga antara yang asli dengan yang kawe tidak dapat dibedakan, bahkan akhirnya simulasi itu menghasilkan realitas tersendiri.

Pencitraan politik dibuat sebegitu teliti dan jelimet sehingga publik tidak bisa lagi membedakan mana yang akting dan mana yang nyata.

Simulacra telah menjadikan akting dan nyata menjadi sama-sama nyata, tidak ada perbedaan sama sekali.

Publik yang berusaha keluar dari realitas semu terus-menerus terperangkap oleh kerangkeng dan rantai di dalam gua, sehingga mereka tidak bisa lagi tergerak. 

Para pundit dan ahli berbicara di media dengan berbuih-buih membela pencitraan itu. 

Mereka lebih mirip kaum sofis yang cerdik pandai dan piawai bersilat lidah, padahal menyesatkan. 

Para sofis itu menjual kebenaran dan keahlian kepada siapa pun yang mau membayarnya. 

Tidak ada pemihakan kepada kebenaran.

Eikasia, begitulah Plato menyebutnya. 

Sebuah pendapat tentang kenyataan yang disampaikan orang lain yang dinilai ahli, padahal pendapat pakar itu keliru atau menyesatkan karena di balik batu ada udang yang bersembunyi.

Para buzzer dan influencer memengaruhi opini publik sampai menjadi silau dan tidak mampu lagi melihat realitas yang sesungguhnya. Para ahli atau expert sudah mati, "the death of expertise’’. 

Para profesor dan guru besar kalau suara dari buzzer dan influencer yang lebih dipercaya para manusia gua.

Plato mengingatkan agar kita berusaha menemukan kebenaran sejati, noesis, pengetahuan dari penglihatan jiwa bukan sekadar penampilan mata. 

Menemukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak sekadar membebek dan menjadi Pak Turut yang sudah kehilangan daya kritis.

Kita hidup pada era manusia gua, dan para pakar kehilangan otoritasnya. 

Kebohongan sudah menjadi kebenaran karena propaganda, dan manusia gua hidup dalam situasi post-truth.

Semua orang menjadi seolah-olah ahli dan kebenaran menjadi hampa. 

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengeklaim  big data 120 juta suara yang menghendaki pemilu ditunda dan masa jabatan Jokowi diperpanjang. 

Banyak kalangan menyangsikan data itu. 

Luhut tidak mau membuka sumber data itu. 

Ketika ditanya apakah Luhut tidak berbohong, dengan tegas dia menjawab tidak. 

Luhut tidak berbohong. 

Dia tahu permainan apa yang sedang dia mainkan. 

Inilah kondisi post-truth

Luhut tidak bohong dengan big data 120 juta orang itu. 

Itulah post-truth.

Sejarah mengulangi dirinya sendiri dengan berbagai modifikasi. 

Presiden Soekarno diberhentikan tahun 1967, empat tahun setelah MPRS mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup pada 1963.

Sehebat apa pun Bung Karno, akhirnya dia terjebak dalam gua yang akhirnya membuatnya celaka. 

Mungkin Bung Karno tidak sepenuhnya nyaman dengan gagasan presiden seumur hidup karena dia khawatir dicap sebagai diktator.

Namun, orang-orang di sekitar Bung Karno berkepentingan agar Soekarno tetap menjadi presiden dan dengan begitu mereka tetap mendapatkan privilese politik.

Kejatuhan Pak Harto juga hanya beberapa bulan setelah pelantikannya sebagai Presiden RI periode 1998-2003.

Pak Harto juga sudah berkali-kali menyatakan niatnya berhenti. 

Namun, para pembantunya meyakinkan rakyat masih menghendaki Pak Harto lanjut. 

Para menteri di sekitar Pak Harto menjadi pembisik maut laksana para buzzer zaman now. 

Mungkin, ketika itu Pak Harto juga disodori ‘’big data’’ dalam bentuk butek alias kebulatan tekad yang direkayasa ‘’pejah gesang nderek Pak Harto’’. Di mana-mana muncul kebulatan tekad mendukung Pak Harto jadi presiden lagi.

Berbagai forum direkayasa, mulai dari forum profesional sampai forum petani dalam bentuk kelompencapir. 

Itulah ‘’big data’’ zaman old yang disodorkan kepada Pak Harto yang kemudian menerimanya dengan agak enggan.

Bung Karno, Pak Harto, dan Jokowi, sangat mungkin terikat dalam rantai di dalam gua, dan tidak bisa melihat kondisi riil di luar gua. Apa yang dilihatnya hanyalah pantulan cahaya dari luar yang direkayasa.

Big data yang disodorkan Luhut adalah pantulan cahaya itu. 

Luhut mengaku tidak bohong. Dia tahu sekarang era post-truth

Big data atau big dusta tidak ada bedanya. (*)


Redaktur : Boy
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler