Ada Masalah pada UUPA, DPD RI Siapkan Revisi

Selasa, 18 Januari 2022 – 18:43 WIB
Ketua Komisi I DPD RI Fachrul Razi. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Dalam implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), masih ditemukan beberapa masalah.

Persoalan yang ditemukan Komite I DPD RI, antara lain, perekonomian sangat bergantung pada APBN.

BACA JUGA: Simak, Catatan Kritis DPD RI Terkait RUU Ibu Kota Negara Nusantara

Kemudian, munculnya friksi dan konflik para elite Aceh menjelang pilkada, kurang harmonisnya relasi Pemerintah Daerah Aceh dengan pemerintah pusat, dan kurangnya pelibatan komponen rakyat Aceh.

''Hal ini jelas menjadi sedikit berbeda dengan undang-undang otonomi daerah lain, UU Pemerintah Aceh bersifat lex specialis,'' ujar Ketua Komite I Fachrul Razi.

BACA JUGA: Sepi Peminat, Apa Kabar Rumah DP Nol Rupiah?

Hal itu dikatakan Fachrul pada RDPU untuk membahas evaluasi atas pelaksanaan UUPA di gedung DPD RI, Selasa (18/1).

Komite I DPD RI memastikan, pada 2023, revisi UUPA bisa dibahas.

BACA JUGA: Ketua DPD LaNyalla Minta Nasib Jakarta Segera Diputuskan jika IKN Pindah

Karena itu, komite I menyusun draf bahan dan naskah akademik revisi UUPA.

''Komite I melihat persiapan pembahasan draf revisi UUPA lebih cepat agar tidak terkesan tergesa-gesa seperti UU Ciptaker yang belakangan ini disahkan,” sebutnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma menjelaskan, Aceh telah belajar dari Papua.

"UU ini untuk menyelesaikan konflik dan bagaimana tercipta win-win solution," ujarnya.

Pada kesempatan itu, antropolog Universitas Negeri Malikudssaleh (Unimal) Teuku Kemal Fasya mengatakan, sebagai historical necessity dan unsur political emergency, UUPA memang harus segera diubah.

"Revisi UUPA harus pada upaya sinkronisasi dan adaptasi nomenklatur baru, efisiensi dan efektivitas pelembagaan, serta memaksimalkan sisi lex specialis Aceh. Otsus harus diperpanjang dengan memperjelas formatnya," ujarnya.

Lain halnya Ketua Tim Pemantauan Implementasi UUPA Afrizal Tjoetra.

Dia menilai tantangan terletak pada kepercayaan di dalam masa konflik dan pascakonflik.

Dalam pembangunan di Aceh, ada dua UU yang memberikan kontribusi positif jika diselaraskan, yaitu UU tentang Keistimewaan Aceh dan UU tentang Kawasan Bebas Sabang.

“Praktiknya, UU tersebut tidak selaras, tetapi berjalan sendiri-sendiri. Menurut kami, andaikan dilaksanakan secara selaras dan komprehensif, akan memberikan dampak positif bagi Aceh," ungkapnya.

Sementara itu, Tim Penyusun dan Pembahas UU 23/2014 Halilul Khairi menyatakan, hakikat otonomi daerah untuk mengatur daerah dan diri sendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya.

Melalui Surat Nomor 188/22251 Tanggal 24 Desember 2021, perihal perubahan UU Nomor 11 Tahun 2006, gubernur Aceh hanya meminta perubahan atas dana otsus menjadi 2 persen tanpa batas waktu.

"UU Nomor 2 Tahun 2021 yang disahkan, Papua telah mendapat tambahan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,5 persen,'' ucap Halilul.

Jadi, pemerintah pusat sulit menolak usul dari pemerintah Aceh.

Namun, kerangka waktu akan menjadi bahan pembahasan.

Guru besar IPDN/Institut Otonomi Daerah (i-Otda) Djohermansyah Djohan menambahkan, pemerintah pusat bersama Pemda Aceh merevisi UUPA dengan memperhatikan putusan MK, kemajuan TI, dinamika masyarakat.

Dia menambahkan, UUPA sebaiknya direvisi setelah Pemilu Serentak 2024.

“Diharapkan, pemerintah pusat lebih serius, konsisten, ikhlas, membimbing, mengasistensi, memfasilitasi, memediasi, dan mengawasi UU Otsus Aceh," tutur pria yang akrab disapa Prof. Djoe tersebut. (mrk/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler