jpnn.com, JAKARTA - DPD RI menyampaikan catatan kritis terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang telah usai dengan seluruh prosesnya yang dinamis.
Pansus/Panja/Tim Perumus/Tim Sinkronisasi pun telah memberikan upaya terbaik yang bisa dilakukan secara demokratis.
BACA JUGA: DPR Mengesahkan RUU IKN Menjadi UU, Fraksi PKS MenolakÂ
Anggota Pansus RUU IKN Dr. Agustin Teras Narang mengatakan DPD RI menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap draf Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota ini.
Teras yang juga anggota DPD RI dari Dapil Kalimantan Tengah ini menyampaikan beberapa catatan DPD RI. Pertama, DPD RI menghargai usul inisiatif pemerintah yang mengambil frasa Nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara.
BACA JUGA: Begini Tanggapan Wakil Ketua DPD Mahyudin soal RUU IKN yang Segera Disahkan
“Namun, DPD RI menilai belum ada penjelasan yang lebih komprehensif terkait landasan sosiologis, filosofis dan historis yang menjadi dasar pemilihan frasa nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara,” ujar Teras.
Kedua, DPD RI sepakat dengan bentuk Pemerintahan Daerah Khusus, namun terkait dengan Istilah dan pengaturan Otorita, DPD RI belum dapat memahami.
BACA JUGA: Soal RUU IKN, Bang Uchok: Masa DPR Mau Dipaksa Pemerintahan Jokowi Hanya Tukang Stempel
Menurut Teras, DPD RI mengingatkan bahwa Otorita bukan merupakan bagian dari jenis pemerintahan yang ada di dalam UUD 1945. Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI 1945 mengatur kepala pemerintah daerah terdiri atas Gubernur untuk pemerintah provinsi, Bupati/Walikota untuk pemerintah kabupaten/kota.
“Oleh karena itu, DPD menilai bahwa penggunaan istilah otorita beserta pengaturannya tidak tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota negara,” ujar Teras.
Ketiga, DPD RI mengingatkan bahwa terkait rencana induk yang menjadi Lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Ibu Kota Negara belum dibahas secara komprehensif dalam forum tripartit.
Menurut Teras, meski DPD RI memberikan catatan kritis, namun tetap sangat menghargai keputusan-keputusan hukum dan politik yang berkembang dalam pembahasan RUU ini.
DPD RI juga meminta agar catatan-catatan DPD RI dalam DIM yang disampaikan dalam proses pembahasan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam risalah pembahasan RUU tentang Ibu Kota Negara ini.
Selanjutnya DPD RI memandang perlu untuk mengingatkan pemerintah bahwa rencana pemindahan Ibu Kota Negara merupakan pekerjaan besar bangsa Indonesia di tengah-tengah kondisi pandemi Covid-19 yang masih membayangi.
“Banyak aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara,” ujar Teras.
Beberapa aspek tersebut meliputi antara lain kepastian terhadap lahan yang akan digunakan tidak akan menimbulkan konflik pertanahan baik dengan Pemerintah Daerah maupun masyarakat (adat) yang ada di dalamnya.
Selain itu, desain tata ruang wilayah yang jelas dan memperhatikan kepentingan serta aksesibilitas daerah-daerah penyangga. Kemudian kejelasan dan kemampuan pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara baik yang bersumber dari APBN maupun non-APBN.
Aspek lain yang menjadi catatan DPD RI terkait kejelasan sistem dan struktur Pemerintahan DKI Jakarta pasca-pemindahan Ibu Kota Negara.
Hal ini diperlukan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kemudian kejelasan terkait pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset negara yang ada di Jakarta. Aset-aset Pemerintah yang ada di Jakarta merupakan kekayaan negara. Oleh karena itu, jika dilakukan pemindahan Ibu Kota Negara harus ada kejelasan bagaimana aset tersebut dikelola dan dimanfaatkan.
“Kejelasan desain pemindahan kantor pemerintahan dan lembaga-lembaga negara serta Aparatur Sipil Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Negara yang baru,” kata Teras.
DPD RI, menurut Teras, mendorong desain transisional penyelenggaraan pemerintahan untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah yang ditinggalkan dan Pemerintahan baru di Ibu Kota Negara terutama yang terkait dengan administrasi pemerintahan, kepegawaian, pengelolaan dan pemanfaatan aset, kesiapan infrastruktur, dan suprastruktur.
Selain itu, DPD RI menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat, masyarakat adat dan pemerintah daerah sekitar/daerah penyangga Ibu Kota Negara.
Hal ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan melainkan juga sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan masyarakat daerah dan pemerintahannya yang memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi.
Menurut Teras, pemindahan Ibu Kota Negara bukan hanya membangun dan melakukan pemindahan infrastuktur kantor pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur, namun juga merupakan sebuah transformasi baik pada sistem kerja birokrasi pemerintahan, sumber daya manusia, ekonomi dan lingkungan, serta sosial-budaya.
Selain itu, pemindahan Ibu Kota Negara juga tidak sekadar hanya pemindahan pusat pemerintahan, tetapi membangun kota yang baru, membangun peradaban yang baru sebagai urban community.
Oleh karena itu, banyak dampak yang mungkin timbul akibat dari proses pemindahan Ibu Kota Negara tersebut, antara lain dampak lingkungan dan sumber daya hayati, dampak sosial – budaya, dampak ekonomi dan geopolitik.
“Mengingat banyak hal yang harus dipertimbangkan serta dampak yang mungkin ditimbulkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, DPD RI meminta agar proses pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, namun harus dengan cermat dan penuh kehati-hatian dalam setiap tahapan proses pemindahan Ibu Kota Negara,” ujar Teras.
Lebih lanjut, Eks Gubernur Kalimantan Tengah ini menyampaikan sikap DPD RI menjadi bagian penting upaya bersama untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan.
Selain itu, dapat menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah perkotaan lainnya di Indonesia.
“DPD RI berharap upaya yang telah dilakukan dalam melaksanakan amanat rakyat daerah dan konstitusi ini bermanfaat untuk kemajuan daerah dan bangsa Indonesia khususnya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia serta menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Teras.
Teras mengakhiri penyampaian catatan kritis DPD RI terhadap RUU IKN dnegan mengutip pesan Bapak Bangsa, Soekarno.
“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”.(fri/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Friederich