Ada Pihak Ketiga di Balik Kriminalisasi Hanifah Husein, Tindakan Polisi Cacat Hukum

Selasa, 04 Oktober 2022 – 05:07 WIB
Bareskrim Polri. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kuasa Hukum Hanifah Husein, Marudut Sianipar menilai kliennya diduga ditekan oleh oknum penyidik Bareskrim untuk mengembalikan saham kepada PT BL.

Padahal, kata dia, kehadiran kliennya justru sebagai penyelamat PT BL yang saat itu terlilit hutang karena tidak mampu membayar kewajiban untuk royalti dan juga jaminan reklamasi.

BACA JUGA: Dugaan Kriminalisasi Anggota DPRD Langkat, Sahroni Sentil Kadiv Propam Polri

Bahkan pihaknya memiliki bukti dugaan keterlibatan pihak ketiga yang ingin menguasai PT Batubara Lahat yang notabene telah diselamatkan PT Rantau Utama Bhakti Sumatra dari kebangkrutan. "Ada dugaan pihak ketiga yang kemudian muncul ingin merebut tambang BL tersebut dengan menggunakan perangkat negara, ini ilegal lho. Jelas kehadiran pihak ketiga ini mengganggu atau ingin mengambil batubara dari lahan BL dan mencoba mengintervensi perjanjian induk yang sudah di dibuat oleh RUBS dan juga BL," kata Marudut di Jakarta.

Hal itulah, kata dia, menjadi bukti bahwa Hanifah Husein dan tersangka lainnya dikriminalisasi oleh oknum penyidik Bareskrim Polri.

BACA JUGA: Datangi KPK, Pihak Gereja Kingmi Minta Firli Cs Hentikan Kriminalisasi Bupati Mimika

Kami juga sudah mengupayakan apa yang disebut dengan restorative justice. Hanya saja penyidik mengatakan bahwasanya terlepas masalah saham itu sudah dikembalikan, penetapan status tersangka atau penanganan perkara ini harus tetap lanjut padahal kasus ini adalah delik aduan bukan delik umum.

"Jadi jelas, PT BL bersama oknum penyidik dan pihak ketiga ini, diduga ingin mencoba untuk membatalkan seluruh perjanjian yang telah disepakati dan menurut kami aksesnya adalah melalui laporan pidana yang berujung pada serangkaian kriminalisasi. Bahkan tekanan dari oknum penyidik dan psudah cukup mengganggu psikis dari klien kami, sehingga keputusan pemidanaan yang diambil tentunya juga menjadi tidak jernih," ujarnya.

BACA JUGA: Tokoh Muda Papua Minta Masyarakat Tidak Terprovokasi Isu Kriminalisasi Lukas Enembe

Sementara itu, Guru Besar Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad menilai soal penetapan tersangka terhadap Hanifah Husein atas dugaan penggelapan saham PT Batubara Lahat (BL) sangat sarat kriminalisasi dari aparat.

Dia menilai, sebenarnya para petinggi PT RUBS, termasuk Hanifah Husein justru bermaksud membantu PT BL, namun malah dikenakan masalah hukum. "Saya kira ini suatu tindakan hukum yang penuh kecacatan, kesewenang-wenangan. Secara formil maupun materiil terjadi pelanggaran," kata Suparji.

Suparji menjelaskan, kasus ini sebenarnya adalah sebuah peristiwa perdata, karena sudah sah secara hukum apalagi didukung bahwa seluruh akta yang dibuat oleh notaris, sehingga berlaku asas pacta sunt servanda, dengan itikad baik untuk dilaksanakan. Sehingga dalam konteks ini tidak terpenuhi unsur-unsur pidananya.

Menurutnya, jika kemudian persoalan ini dikonstruksikan menggunakan Pasal 372 dan 374 KUHP, Suparji memastikan bahwa harusnya unsur-unsurnya tidak terpenuhi, apalagi saham sudah dikembalikan oleh PT RUBS kepada PT BL sebagaimana mestinya.

"Bila memang terkesan unsur awalnya ada, yakni proses transaksi yang bukan berasal dari kejahatan. Tapi kan kemudian semuanya jadi terang-benderang dan jelas. Dalam artian tidak ada penggelapan maupun penggelapan dalam jabatan. Jadi unsur dalam 372 dan 374 sama sekali tidak terpenuhi," ujar Suparji.

"Padahal banyak yurisprudensi di Mahkamah Agung, yang ketika terjadi peristiwa perdata, ya selesaikan secara keperdataan. Ini menjadi fakta-fakta yang mengkonfirmasi terjadinya tindakan hukum yang menyalahi kewenangan, aturan dan secara formil tidak terpenuhi untuk proses hukumnya. Kemudian tidak cukup alat bukti untuk penetapan tersangka," ucap Suparji.

Sementara pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto mengatakan dugaan kriminalisasi ini karena tidak ada pengawasan yang kuat. Sehingga kepolisian kerap melakukan abuse of power, kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.

Adapun abuse of power Polri bentuknya beragam, biasanya dimulai dengan intimidasi, kriminalisasi, dan tak menutup kemungkinan sampai kekerasan fisik, yang muara masalahnya karena lemahnya pengawasan.

Ia meminta masyarakat harus benar-benar menjadi fungsi pengawasan atas kinerja Polri, bekerja sama dengan para pemilik modal yang berintegritas untuk bergandengan tangan mengawal reformasi di kepolisian. "Kalau itu bisa dilakukan, harapannya penegakan hukum bisa on the track dan keadilan akan dirasakan bersama-sama," ujar Bambang.

Menurutnya, kasus ini secara hukum ada upaya penyanderaan terhadap seseorang, apalagi polisi terlebih dahulu meminta mereka menghubungi pihak ketiga.

"Kondisi ini sudah di luar aturan perundang-undangan, tidak sesuai SOP dan Polri justru melanggar aturan-aturan yang mereka buat. Bisa menimbulkan multitafsir. Kok bisa sebuah perbuatan pidana selesai, bilamana tersangka menghadap ke pihak ketiga. Terjadi juga penyanderaan sekian jam, padahal hanya boleh 1x24 jam seseorang diperiksa," ujarnya.

Lebih lanjut Bambang menyampaikan bahwa kriminalisasi berkedok penyerobotan paksa yang dialami Hanifah Husein bukanlah satu-satunya yang terjadi saat ini, ada beberapa korban lain yang mengalami hal yang sama, antara lain kasus Titan Energy.

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri telah menetapkan tiga petinggi PT RUBS sebagai tersangka sejak Agustus 2021, yakni Hanifah Husein dan dua lainnya, WW serta PBF atas dugaan penggelapan saham PT BL.

Kasus kriminalisasi Hanifah Husein juga menjadi topik webinar yang dihadiri oleh IPW, Kompolnas, para pakar hukum serta pengamat pada hari Jumat 30 September 2022. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler