DI halaman Vila Esti Laras, Kaliurang, Jogjakarta, Kamis malam (20/8) itu, Wonder Woman berbincang hangat dengan Sinterklas. Di sudut lain, Wiro Sableng bersenda gurau dengan Minions.
-------------
DIAR CANDRA, Jogjakarta
------------
Hawa dingin di Kaliurang, kawasan wisata di lereng Gunung Merapi, saat malam yang terkadang bisa mencapai 15 derajat Celsius seperti tak dihiraukan. Sebanyak 150 orang meriung dengan hangat dan akrab.
Suasana pun makin gayeng saat Time Bomb milik Rancid dibawakan di atas panggung. Dengan konsep jamming, para musisi yang datang bergantian bermain di atas panggung.
BACA JUGA: Menengok Tapal Batas RI di Malinau, Prajurit Penjaga Paling Suka di Pondok Cinta
Apalagi ketika tiba-tiba ada pocong yang naik ke panggung dan main bas. Bukannya bikin takut, semua malah ngakak melihat aksi si "hantu" serbaputih tersebut.
Itulah sepotong kemeriahan dari GMHRPH (baca: Gemah Ripah), sebuah pesta kostum para pegiat seni Jogjakarta yang datang dari berbagai latar. Gemah Ripah adalah potongan peribahasa Jawa, gemah ripah loh jinawi. Artinya, tenteram dan makmur serta tanahnya subur.
Dihelat mulai 2013, ide awal acara tersebut datang dari beberapa kru band asal Jogja, ERWE, untuk mengadakan pentas musik akustik. Agar acara semakin anti-mainstream, disepakatilah yang hadir harus memakai kostum.
BACA JUGA: Baca Nih Contoh Toleransi Beragama dari Kedalaman 1.600 Meter di Bawah Tanah
Ketua panitia GMHRPH tahun ini, Ardyan Bagas Marestu, mengaku tak pernah menyangka bahwa GMHRPH #3 akan menyedot atensi sedemikian besar. Apalagi, untuk partisipasi acara itu, per orang harus mendonasikan Rp 100 ribu. "Uang peserta kembali ke peserta kok," katanya.
Uang yang terkumpul memang dibelanjakan untuk sewa vila, pesan katering, sampai sewa soundsystem. Sebenarnya sudah ada salah satu brand rokok yang berminat untuk mendanai pesta kostum tersebut. Namun, dengan semangat do it yourself, tawaran itu ditolak.
BACA JUGA: Pengusaha Tempe Ini Omzetnya Puluhan Juta, Modal Gadaikan SK PNS Tetangga
Untuk menggelar edisi tahun ini, biaya yang dihabiskan sekitar Rp 10 juta, lebih banyak Rp 4 juta daripada pergelaran tahun lalu. Perhelatan pertama menelan uang sekitar Rp 7 juta.
Promosi GMHRPH dilakukan sejak bulan lalu. Media sosial dan metode getok tular antar sesama pelaku seni ternyata cukup efektif. Awal bulan lalu pendaftaran sudah penuh.
"Sampai-sampai, kami harus menolak (pendaftar)," kata Ardyan.
Dalam GMHRPH edisi pertama dua tahun lalu, yang diundang adalah para pelawak, musisi, event organizer, dan wartawan. Sekuel kedua dan ketiga, peserta semakin variatif. Tapi, kata Ardyan, panitia tetap berusaha memfilter.
Misalnya, pendaftar A akan ditanya tahu acara tersebut dari siapa. Terus, nama yang disebutkan akan dihubungi untuk mengonfirmasi apakah benar kenal dengan si A. Kalau benar, si A boleh berpartisipasi.
"Tapi, kalau ternyata dia bohong, kami tolak," tegas Ardyan soal seleksi peserta yang non pegiat seni.
Kostum para peserta tahun ini juga semakin meriah. Apalagi ada penghargaan untuk kategori kostum terbaik, kostum terburuk, dan kostum favorit.
Karena bersifat senang-senang, hadiah yang diberikan pun berupa plakat sederhana. Plakat itu tak boleh disimpan selamanya. Sebab, statusnya bergilir. Kalau gagal mempertahankan gelar, tahun depan trofi itu berpindah tangan.
Gelar kostum terbaik akhirnya direbut Trihadi Yulianto lewat kostum Danbo. Danbo adalah karakter boneka kotak kardus asal Jepang. Nanang -panggilan Trihadi Yulianto- mengaku hanya bermodal Rp 15 ribu untuk membuat kostum yang dikenakannya itu.
Uang itu dihabiskan untuk membeli selotip dan lem. Sedangkan bahan dasar kardus didapat di lokasinya bekerja. "Saya dapat ide Danbo ini secara iseng," kata Nanang.
Suatu kali, dia menggambari kardus mi di tempatnya bekerja. Kardus tersebut lantas dibalik sehingga banyak bagian yang polos. Terus, dia menggambar muka senyum di situ. "Teman-teman saya ngakak dan bilang mirip karakter Danbo. Dari situ, saya pikir lucu juga kalau dipakai buat GMHRPH," tuturnya.
Nanang mengaku paling mengalami kesulitan saat membuat bagian lengan dan kaki. Sebab, jarang ada kardus yang panjang serta ukurannya pas buat tangan dan kaki. Tapi, dasar sudah niat, pria berusia 28 tahun itu memotong kardus besar, lalu diukur seukuran tangan dan kakinya.
Langkah selanjutnya menyelotip dan jadilah bagian kaki serta tangan Danbo. Proses pembuatannya, menurut Nanang, membutuhkan waktu sekitar dua hari dengan bantuan beberapa rekan di bengkel sepeda tempatnya bekerja.
"Kostumnya sudah hancur. Setelah acara, dipeluk sana-sini, diajak foto bareng, dan juga kena tumpahan minum," ucap Nanang.
Sementara itu, gelar terburuk menjadi milik kostum minions yang dikenakan Bima Patria Putera. Tapi, Bima justru menilai titel tersebut sebagai humor yang sukses. Sebab, selama ini dia biasa diledek seperti minions karena karakternya yang lucu.
Bima mengaku membeli pakaian lengan panjang sebagai pelengkap kostum di toko baju muslim. Diakuinya, agak susah mencari yang berwarna kuning, warna khas minions. Langkah selanjutnya adalah membeli legging kuning.
Sebagai tambahan aksesori kacamata minions, dia membuatnya dari saringan, kemudian dilengkapi lakban berwarna silver. "Total bikin kostum itu habis Rp 70 ribu," ucap freelancer di salah satu event organizer di Jogja tersebut.
Lain lagi alasan si pocong, vokalis band pengusung idiom punk Endank Soekamti, Erix Soekamti. "Kenapa pocong? Karena gampang bikinnya. Tinggal ambil seprai, iket di atas. Beres," ungkapnya.
Erix tak pernah absen mengikuti GMHRPH. Tahun pertama, bapak dua anak itu berpakaian Kamtis Army. Tahun lalu, dia mengenakan kostum Joker, villain bermuka seram yang menjadi lawan Batman.
Acara tahun ini diawali dengan upacara bendera. Kebetulan, GMHRPH berdekatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Baru kemudian acara fashion show.
Nama peserta yang dipanggil pembawa acara dipersilakan berlenggak-lenggok di atas panggung kecil berukuran sekitar 3 x 5 meter. Para juri terdiri atas jurnalis, seniman, serta kru band punk Jogja, Endank Soekamti.
Menurut Erix, dari tahun ke tahun, acara itu semakin seru. Para peserta datang dengan kostum yang juga kian "gila".
"Kalau tahun pertama dan kedua masih malu-malu, tahun ketiga malu-maluin alias tak lagi punya malu, hahaha...," jar Erix. Mungkin dia sedang membicarakan aksi si pocong saat jamming tadi. (*/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Duka Keluarga Korban Pembunuhan yang Belum Terungkap
Redaktur : Tim Redaksi