Mulai tahun depan, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN rencananya akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen.

Tapi pemerintah juga mengatakan akan memberikan stimulus kepada warga kelas menengah, yang saat ini akan dibahas dan dihitung sehingga kemungkinan besar kenaikan PPN akan diundur.

BACA JUGA: PPN 12 Persen Menunggu Keputusan Presiden Prabowo

"Ya, hampir pasti diundur," ujar Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia, Rabu kemarin, seperti yang dikutip dari Detik.com.

Apa alasan pemerintah Indonesia menaikkan PPN dan siapa yang paling terdampak? Kita akan membahasnya dalam artikel ini.

BACA JUGA: Usia Penonton Konten Pornografi di Australia Semakin Muda

Kenapa PPN dinaikkan?

Dalam rapat dengan komisi XI DPR, pertengahan November lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dengan menaikkan PPN akan menjaga "kesehatan" Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setelah pandemi COVID-19.

"Kita perlu untuk menyiapkan [kenaikan PPN] agar bisa dijalankan dengan penjelasan yang baik sehingga kita bisa, bukan membabi buta, APBN dijaga kesehatannya," ujarnya pada pertengahan bulan November.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Israel Menyetujui Gencatan Senjata Dengan Hizbullah

"APBN harus berfungsi dan mampu merespon seperti global crisis, pandemic, itu kita gunakan APBN."

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2023 yang sudah diaudit, pendapatan negara lewat penerimaan pajak dalam negeri adalah sebesar Rp 2.089,7 triliun, dari total realisasi penerimaan APBN Rp 2.783,9 triliun.

Dari total penerimaan pajak dalam negeri, PPN menyumbang lebih dari Rp 749 triliun di tahun 2023.

Sebelum tarif PPN naik dari 10 ke 11 persen, penerimaan PPN di tahun 2021 adalah sebesar Rp 548 triliun.

Menurut Dr. Prianto Budi Saptono, ketua pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), pendapatan tambahan dari PPN memberikan pemerintah keleluasaan fiskal, karena bisa melakukan belanja negara tanpa harus menutupi defisit anggaran dengan utang.

"Masyarakat memang yang jelas nanggung, tapi kemudian pemerintah bisa memberikan insentif ke masyarakat," ujarnya kepada Tri Ardhya dari ABC Indonesia.

Insentif yang dimaksud adalah pengeluaran negara secara langsung yang bisa dinikmati oleh rakyat atau dalam bentuk bantuan langsung tunai.Apakah kenaikan PPN tepat?

Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen.

Namun dari data Worldwide Tax Summaries yang dirilis konsultan keuangan dunia, Pricewaterhouse Coopers (PwC), Indonesia akan jadi negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina (12 persen), sementara Brunei Darussalam berada di posisi terendah karena tidak punya tarif PPN.

Andry Satrio Nugroho, peneliti dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan kenaikan PPN saat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 akan semakin melemahkan daya beli masyarakat.

"Kami juga mengukur melalui pengukuran computable general equilibrium, di mana konsumsi rumah tangga ini pastinya akan tergerus ketika PPN 12 persen ini dinaikkan. Kurang lebih akan menurunkan 0,26% konsumsi rumah tangga," jelas Andry.

"Kita tahu sendiri 60 persen dari perekonomian Indonesia, di-generate dari konsumsi rumah tangga, sehingga efeknya akan ke pertumbuhan ekonomi."

Andry menambahkan ketika PPN naik jadi 12 persen dan tidak ada pembenahan dalam importasi, masyarakat akan beralih ke produk impor yang lebih murah.

Bila ini terjadi, produk domestik tidak terserap sehingga menyebabkan industri tertekan dan berdampak pada efisiensi tenaga kerja.

Tapi Dr. Prianto dari IKPI mengatakan kenaikan tarif PPN merupakan langkah yang tepat.

“Kenapa tepat? Karena memang pemerintah kan butuh dana besar. Caranya apa? Memperluas objek, meningkatkan tarif."

"Dengan penerimaan pajak yang punya pertumbuhan lebih besar dari PDB (Produk Domestik Bruto), negara punya keleluasaan untuk membagi, meredistribusi pajak itu dalam bentuk government spending," jelas Dr Prianto.Apa kata warga?

Daniel Tarigan, salah satu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),  mengaku meski tidak terdampak langsung oleh kenaikan PPN, bisnisnya akan terpengaruh dengan makin melemahnya daya beli masyarakat.

"Memang sekarang tuh susah, daya beli turun... omzet enggak bisa seperti dulu, angkanya enggak setinggi dulu," jelas Daniel, yang bekerja sebagai dosen jurusan bisnis dan pemilik usaha cuci baju.

Tapi ia berpendapat pengusaha memiliki "bantalan ekonomi dan tabungan", sehingga bisa mencari peluang bisnis lain.

"Sebenarnya menurut saya yang kasihan bukan kita pengusahanya, yang kasihan karyawannya ... yang hidup dari gaji ke gaji."

Rio Janis, warga Bogor yang tinggal di Jakarta, menganggap kebijakan kenaikan PPN ini "agak aneh", karena menurutnya dengan kenaikan ini, masyarakat akan mengerem pengeluarannya.

"Agak aneh ya menurut saya kebijakannya, karena dulu sehabis pandemi pemerintah pernah gencar menyerukan ke masyarakat agar masyarakat lebih giat lagi berbelanja," katanya.

"Tapi dengan kebijakan ini justru bikin masyarakat balik untuk mengerem kegiatan belanja mereka."

Sejumlah warga juga mengaku jika kenaikan tarif PPN mau tidak mau mengubah gaya hidup mereka.

Seperti dikatakan Ruth Tambunan, ibu dua anak, yang mengaku sudah mengubah gaya hidup sejak tarif PPN naik dari 10% jadi 11%.

"Ada perubahan lifestyle, mengurangi jajan-jajan yang enggak perlu, tapi kebutuhan rumah tangga lain tetap seperti biasanya," ujarnya.

Ruth mengaku memiliki rasa kepercayaan yang rendah kepada pemerintah untuk urusan pajak dan pengelolaan pendapatan negara.

"Ke pemerintah sih aku jauh dari percaya, bisa dibilang 50:50," ujarnya.

"Harapannya besar tapi karena baru pergantian presiden dan parlemen jadi kita wait and see ... mau dibawa ke mana negara Indonesia," tambahnya.

Sebagai dosen praktisi, Daniel berpendapat daripada membebani masyarakat dengan kenaikan PPN, pemerintah seharusnya menaikkan 'tax ratio' dengan terlebih dahulu menertibkan mereka yang belum atau kurang bayar pajak.

Daniel juga mengatakan agak sulit nantinya untuk mengawasi soal kenaikan PPN karena akses informasi yang terbatas.

Karenanya, ia berharap pemerintahan di bawah Presiden Prabowo, dapat menjadi lebih transparan soal pembelanjaan pajak.

"Saya sangat berharap sekali pak presiden bisa lebih berani karena dukungan politik sudah dimiliki ... saya sebenarnya menunggu gebrakan yang lebih kuat," katanya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa Saja Bali Nine, yang Akan Dipindahkan ke penjara Australia?

Berita Terkait