jpnn.com - SEJAK didirikan 33 tahun lalu, Panti Tresna Werdha Himo-Himo yang terletak di Kelurahan Tabona, Kota Ternate Selatan itu menjadi rumah bagi sejumlah kaum lanjut usia (lansia). Dari melaksanakan aktivitas sehari-hari, meninggal dan bahkan menikah, Himo-Himo menjadi saksi bisu kehidupan kakek nenek yang sepi dari sentuhan anak, cucu dan keluarga itu.
Ika Fuji Rahayu, Ternate
BACA JUGA: Sensasi Menyusuri Sungai di Tengah Hutan
Aisyah tengah asyik memasukkan sebatang jarum ke pinggiran jilbab yang sedang dijahitnya. Kedua bola matanya kerap disipitkan ketika melihat lekuk-lekuk jahitan. Jarak antara mata dengan jahitannya begitu dekat. Maklum, di usia senjanya, kemampuan indera penglihatannya telah jauh menurun.
Aisyah merupakan salah satu penghuni Panti Tresna Werdha Himo-Himo. Bersama 62 rekan sesama lansia lainnya, ia menghabiskan hari-hari tuanya di panti sosial yang didirikan Kementerian Sosial pada 1982 itu. Saat ini, Himo-Himo telah dialihkelolakan ke Dinas Sosial Provinsi Malut sejak 2002 lalu.
BACA JUGA: UNIK: Begini Ritual Maulid Adat di Sesait
Aisyah bukan lansia terlantar. Nenek berusia 68 tahun itu masih memiliki anak dan cucu yang berdomisili di kampung halamannya di Desa Tauro, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. Namun sepeninggal mendiang suaminya dua tahun lalu, ia lebih memilih tinggal di Himo-Himo, tepatnya di Wisma Teratai.
Rupanya, perempuan yang biasa disapa Nenek Ica ini merasa lebih nyaman hidup di panti jompo ketimbang merepotkan anak dan menantunya di kampung. Nenek Ica baru akan pulang ke kampung halamannya ketika menjelang bulan Ramadan.
BACA JUGA: LUAR BIASA: Pantai Eksotis Nan Indah Seminyak Bali Jelang Tahun Baru 2016
“Biasanya dua bulan sebelum puasa Nenek Ica sudah minta izin mau pulang kampung. Padahal hitungannya puasa masih sangat lama,” ungkap Taeba Hi. Langkara, Pengasuh Wisma Teratai, seraya tersenyum geli.
Selain tak harus pusing dengan biaya hidup lantaran disubsidi negara, pelayanan yang diterima oleh penghuni panti juga menjadi alasan mengapa para orang-orang di usia senja ini lebih memilih bertahan di panti yang terdiri atas delapan wisma itu. Pelayanan berupa makan, pemeriksaan kesehatan rutin, pengobatan bagi yang sakit, hingga pengadaan kebutuhan sehari-hari dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan yang memang diperlukan oleh orang-orang yang berada pada usia yang tak lagi produktif ini. Sementara di rumah, belum tentu kebutuhan ini dipenuhi oleh anak cucu mereka.
“Saya tara (tidak, red) mau kasih repot anak-anak. Saya bafikir (memikirkan, red) anak mantu nanti (yang akan direpotkan jika ia tinggal bersama keluarganya, red),” tutur Aisyah lirih seperti dilansir Harian Malut Post (Grup JPNN.com).
Berbeda dengan Aisyah yang nampak enjoy berada di Himo-Himo, sahabat karibnya, Sumiyati, terlihat sedih dengan keberadaannya di panti sosial itu. Sumiyati yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur, itu mengaku rindu dengan anak dan kampung halamannya. Anak Sumiyati sendiri tinggal di Surabaya. Namun karena keterbatasan biaya, sang anak tak bisa membawa pulang Sumiyati yang datang ke Maluku Utara melalui program transmigrasi. Ia juga kerap menangis. Emosi perempuan berusia 60 tahun itu terkadang memang kurang stabil.
“Saya dulu di Subaim (daerah transmigrasi di Halmahera Timur, red). Suami saya meninggal di Ternate,” kisah Sumiyati dalam bahasa Jawa.
Tak banyak yang bisa dikupas dari Sumiyati. Selain kemampuan berkomunikasinya yang terbatas, sebagian ingatannya juga tak lagi bisa diandalkan. Ia mengaku diantar ke panti oleh warga Salero. Sumiyati hidup terlantar lantaran tak memiliki keluarga di Malut. Uniknya, di Himo-Himo, Sumiyati dinikahi oleh sesama penghuni panti lainnya, Ibrahim Tasman.
Sayangnya, Ibrahim sedang tak berada di tempat ketika Malut Post menyambangi Himo-Himo.
“Bram (panggilan Ibrahim, red) sedang kerja di pasar. Narik gerobak orang,” kata Sumiyati.
Diakui Taeba, ada penghuni panti yang kerap meninggalkan panti untuk mencari uang tambahan. Biasanya para penghuni ini hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan yang tak menguras banyak tenaga. Pihak panti sendiri tak bisa melarang mereka, sebab larangan hanya akan menghasilkan perdebatan.
”Yang penting sorenya mereka pulang ke sini. Dan pekerjaan yang dilakukan juga tidak berbahaya. Seperti Wa Ina (salah satu penghuni panti, red), misalnya, yang suka nyapu di Polres Ternate. Biasanya mereka mencari tambahan uang rokok saja seperti Bram ini,” katanya.
Pernikahan Ibrahim dan Sumiyati dilangsungkan secara sederhana di Mushalla Himo-Himo. Yang menikahkan mereka adalah imam mushalla, Abdurrahman M. Zen. Tak ada pesta pora, hanya syukuran kecil-kecilan di mana pengelola panti membeli makanan untuk dinikmati oleh seluruh penghuni panti. Pun tak ada pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mendapatkan buku nikah. Yang penting ada penghulu dan saksi, dan ijab kabul dinyatakan sah secara Islam.
“Saya senang-senang saja ada yang mau menikah. Ketika mereka datang ke saya dan menyatakan mau menikah, maka kita siapkan semua kebutuhan yang diperlukan, termasuk mahar untuk pengantin perempuan,” kata Kepala Panti Tresna Werdha Himo-Himo, Drs. Achmad.
Karena sebagian besar penghuni panti adalah lansia terlantar, maka salah satu tugas yang kerap dilakukan pihak panti adalah melakukan penguburan ketika ada penghuni yang meninggal. Lansia terlantar ini rata-rata berasal dari luar Malut, seperti Sulawesi, Jawa, hingga Sumatera. Mereka awalnya merantau ke Malut untuk bekerja, namun seiring bertambah usia dan simpanan uang yang dimiliki tak cukup untuk kembali ke tanah asal, maka orang tua-orang tua ini ditampung oleh Himo-Himo.
“Biasanya juga mereka telah putus kontak dengan keluarga di tempat asal, sehingga keluarga di sana mungkin mengira mereka sudah meninggal,” ujar Achmad yang telah tiga tahun bertugas di Himo-Himo.
Keberadaan Himo-Himo di Kota Ternate sendiri sangat disyukuri Achmad. Meskipun hanya sebuah kota kecil, namun fenomena lansia terlantar tak dapat dipungkiri juga terjadi di Ternate. Dengan adanya Himo-Himo maka permasalahan sosial para lansia ini dapat sedikit teratasi.
“Lansia terlantar sama pentingnya dengan anak terlantar, ataupun warga lainnya yang memiliki permasalahan sosial serupa. Dan kita tidak bisa memungkiri bahwa fenomena ini (lansia terlantar, red) memang benar-benar ada di Ternate. Bayangkan jika kota ini tidak memiliki panti jompo, maka para lansia ini mau dikemanakan?,” katanya.(kai/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengejar Ombak, Tenggelam, Muncul, Langsung Teriak Senang
Redaktur : Tim Redaksi