Ada yang Patah Kaki dan Terluka Parah

Minggu, 10 Desember 2017 – 00:12 WIB
Femke Den Haas mengevakuasi anjing yang ditinggalkan pemiliknya di Dusun Geliang, Karangasem, Bali, pada Kamis lalu (7/12). Foto: Syahrul Yunizar/Jawa Pos

jpnn.com - Femke Den Haas sudah dua bulan menghadapi bahaya erupsi Gunung Agung demi menyelamatkan hewan yang ditinggal mengungsi oleh pemiliknya.

SAHRUL YUNIZAR, Karangasem

BACA JUGA: Case Gunung Agung, Safety dan Security Indonesia Makin Solid

BERJARAK tidak kurang 7,5 kilometer dari puncak Gunung Agung, Dusun Geliang di Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, bagaikan tak berpenghuni Kamis (7/12).

Kadang bertemu dengan warga, tetapi sangat jarang. Mereka adalah warga yang nekat masuk zona bahaya untuk sekadar melihat kondisi rumah yang ditinggal mengungsi.

BACA JUGA: Pengungsi Gunung Agung Keluhkan Kebijakan PLN Segel Listrik

Dengan jarak kurang dari 8 km, radius yang masuk zona bahaya, puncak kawah Gunung Agung tampak jelas dari dusun tersebut.

Karena dekat, efek letusan Gunung Agung begitu terasa di sana. Mayoritas pepohonan di kampung berpenghuni sekitar 80 kepala keluarga tersebut mati karena kena hujan abu yang panas.

BACA JUGA: Warga Dekat Gunung Agung Terpaksa Panen Lebih Awal

Meski hujan abu besar sudah lebih dari sepekan berlalu, sisanya masih bisa dilihat dengan jelas.

Sepanjang jalan menuju dusun yang berbatasan langsung dengan hutan pinus di lereng gunung dengan ketinggian 3.142 meter itu masih berwarna abu-abu.

Pepohonan meranggas karena daunnya gugur. Hanya rumput liar yang beberapa daunnya masih menghijau.

’’Waktu hujan abu semalaman, besoknya semuanya mati,’’ kata Kepala Dusun Geliang Nengah Artana kepada Jawa Pos.

Sejak status Gunung Agung naik menjadi awas pada 22 September lalu, sudah dua kali warga Dusun Geliang mengungsi.

Terakhir, mereka berbondong-bondong meninggalkan rumah pada 27 November lalu ketika Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meningkatkan status gunung tertinggi di Bali tersebut dari level III ke level IV. Ternak dan peliharaan ditinggalkan karena tidak ada waktu untuk membawanya serta.

Hewan-hewan yang ditinggal di kampung tidak sanggup bertahan hidup. Ada yang mati kelaparan. Ada pula yang keracunan.

Menyadari kondisi yang semakin buruk, Artana pun menghubungi relawan penyelamat satwa. Dia meminta satwa yang bisa diselamatkan dari dusunnya segera dievakuasi.

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) langsung merespons permintaan Artana. Bersama jaringan relawan satwa yang bergerak selama Gunung Agung bergejolak, mereka mengirimkan tim ke Dusun Geliang.

Sekitar pukul 08.00 Wita, mereka sudah bertolak dari Denpasar. Dua jam berikutnya, tim sudah berada di crisis center di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

Ketika Jawa Pos menyambangi tempat tersebut, dua mobil sudah siap dibawa menjalankan misi. Satu SUV dan satu bak terbuka.

Lengkap dengan bala bantuan yang sudah disiapkan. Selain personel, ada kandang dan pakan satwa.

Femke Den Haas memimpin operasi penyelamatan. Perempuan berambut cokelat itu sudah makan asam garam dalam misi penyelamatan satwa di lokasi bencana. Pendiri JAAN tersebut berada di Bali sejak dua bulan lalu.

Sepanjang perjalanan menuju Dusun Geliang, dia sibuk berkoordinasi dengan Artana. Memastikan lokasi tujuan agar bisa memilih jalur tercepat. Maklum, jarak dari crisis center ke Dusun Geliang tidak kurang dari 30 kilometer.

Jarak sejauh itu harus mereka tempuh secepatnya. Sebab, tempat yang mereka tuju masuk kawasan rawan bencana (KRB). Artinya, harus kosong dari aktivitas apa pun.

Namun, karena Femke dan rekan-rekannya adalah relawan, pemerintah memberikan jalan. Tentu saja dengan catatan. ’’Kalau dari pusat vulkanologi ada informasi tremor semakin kencang, kami keluar,’’ ucapnya.

Perempuan kelahiran 1977 itu memastikan, dirinya dan tim bergerak dengan pengawasan. Mereka selalu menyetel alat komunikasi sehingga seluruh perkembangan Gunung Agung dari waktu ke waktu terpantau.

Femke menyatakan, sebenarnya ada juga rasa khawatir. ’’Tapi, bukan alasan bagi kami untuk tidak bergerak di lapangan,’’ tegasnya.

’’Menyelamatkan satwa tidak kalah penting dari menyelamatkan manusia,’’ tandasnya.

Apalagi, tidak sedikit warga yang tinggal di sekitar Gunung Agung yang mengandalkan hewan ternak sebagai sumber mata pencaharian.

Maka menyelamatkan hewan-hewan itu berarti juga menyelamatkan penghidupan pengungsi.

Dengan begitu, kegusaran pengungsi berkurang. Hewan ternak sudah aman. Demikian pula hewan peliharaan seperti anjing dan kucing.

Mereka tidak perlu lagi bolak-balik ke rumah untuk memberi makan apabila hewan peliharaan sudah dievakuasi.

Begitu tiba di Dusun Geliang, Femke bersama tujuh sukarelawan yang ikut bergerak hari itu langsung menyebar. Mereka menaruh makanan hewan di setiap rumah yang sudah ditinggalkan pemiliknya.

Dari perbatasan dusun dan hutan, para relawan bergerak cepat. Tidak boleh berlama-lama berada di zona bahaya.

Namun, mereka juga harus memastikan setiap hewan yang diselamatkan tidak disengat terik matahari berjam-jam.

’’Ayo, anjingnya jangan sampai kepanasan terlalu lama,’’ ujar Femke sembari menuangkan pakan hewan dari karung ke ember-ember kecil.

Satu per satu rumah disinggahi. Ketika melihat hewan telantar, mereka langsung berkoordinasi dengan Artana. Itu dilakukan untuk memastikan hewan tersebut tidak bertuan.

Salah satu prinsip para relawan adalah tidak sembarangan membawa hewan dari rumah atau kampung yang ditinggalkan pengungsi. Jika tidak ada izin, mereka tidak membawa hewan tersebut.

Hanya, mereka menyiapkan pakan supaya hewan-hewan itu tidak kelaparan. Prinsip tersebut bisa mereka dobrak jika menemukan hewan dalam kondisi gawat.

’’Misalnya, sakit parah dan harus cepat diobati,’’ ucap Femke.

’’Tapi, kami tinggalkan stiker. Supaya pemiliknya bisa menghubungi kalau merasa kehilangan. Jadi, mereka tidak bingung cari,’’ beber perempuan yang aktif menjadi relawan penyelamat satwa di Indonesia sejak 2002 itu.

Sepanjang misi penyelamatan di sekitar Gunung Agung, dia sudah melihat banyak hewan tidak berdaya karena ditinggal warga.

Bahkan, ada yang patah kaki dan terluka parah. Ada pula anjing kelaparan yang diselamatkan Femke dan timnya.

Karena tempat penampungan sementara hanya untuk hewan ternak, hewan peliharaan tanpa pemilik sementara dirawat masing-masing relawan. Untuk yang ada pemiliknya, hewan dibawa ke lokasi pengungsian.

Tentu saja dengan syarat. Yakni. pemiliknya memastikan sudah menyiapkan tempat untuk hewan peliharaan mereka di lokasi pengungsian. Dengan demikian, keselamatan hewan tersebut tetap terjamin.

Sejatinya hari itu para relawan sudah siap mengevakuasi 30 anjing. Tapi apa daya, hanya dua ekor yang memenuhi syarat. Mau tidak mau sisanya hanya diberi pakan supaya mereka tidak kelaparan sampai beberapa hari ke depan.

Lebih dari dua bulan mereka bergerak, sudah tidak terhitung hewan yang diselamatkan. Namun, Femke memastikan, seluruhnya terdata dengan baik.

Diberi identitas. Itu berlaku untuk hewan yang berpemilik maupun tidak. Dengan demikian, mereka mudah mengembalikan ke pemiliknya apabila Gunung Agung sudah aman. (*/c5/ang)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Abu Vulkanis Gunung Agung tak Boleh Diremehkan, Ini Buktinya


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler