Adian Minta Presiden Jokowi Batalkan Pinjaman Rp 8,5 Triliun untuk Garuda

Minggu, 14 Juni 2020 – 20:15 WIB
Adian Napitupulu kasih masukan kepada Jokowi. Foto: Fais Nasruloh

jpnn.com, JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu blak-blakan menuturkan materi pembicaraannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Jumat lalu (12/6).

Di antaran materi pembicaraan Adian dengan Presiden Ketujuh RI iru adalah soal rencana pemerintah mengucurkan pinjaman Rp 8,5 triliun dari negara bagi PT Garuda Indonesia.

BACA JUGA: Adian Napitupulu Dipanggil ke Istana, Bahas 2 Hal Penting dengan Jokowi

Menurut pentolan aktivis'98 ini, dirinya meminta Presiden Jokowi tidak mengambil opsi pemberian pinjaman Rp 8,5 triliun pada Garuda. 

Adian bicara blak-blakan dalam sebuah tulisan yang diberi judul, "Selamatkan Garuda Dengan PMN atau Investasi Pemerintah, Bukan Pinjaman Yang Tidak Ada Dasar Hukum."

BACA JUGA: Adian: Total Utang BUMN Jauh Lebih Besar Ketimbang Utang Malaysia

Tulisan anggota DPR dari daerah pemilihan Kabupaten Bogor ini diterima jpnn.com, Minggu (14/6). Berikut naskah lengkapnya:

Setelah pertemuan dengan presiden kemarin, banyak sekali pendapat, pandangan, komentar yang muncul. Ada yang positif ada yang negatif.

BACA JUGA: Dirut Garuda Indonesia: Kalau Cuma pas Untung Saja Terbangnya Ngapain?

Selama semua pro-kontra itu berbasis data dan argumentasi logis, lebih bagus lagi jika pro-kontra itu punya muatan ilmiah. Dengan demikian, demokrasi sungguh menjadi sangat indah.

Tetapi, demokrasi akan kehilangan keindahannya jika pro-kontra lahir dari dukungan berlebihan yang irasional maupun kebencian.

Ini salah satu dari sekitar lima atau enam materi pembicaraan saya dengan presiden, khususnya terkait dengan BUMN.

Setelah ngobrol tentang kondisi terkini, situasi nasional, corona, pertanahan, PHK di BUMN (Garuda, Aerofood dan INKA), rencana penutupan sekitar 2000  kantor cabang Mandiri, UMKM dan beberapa hal lainnya, kemudian saya menyampaikan pada presiden agar tidak mengambil opsi pemberian pinjaman Rp 8,5 triliun pada Garuda. 

Kenapa demikian? Karena menurut saya, pemberian pinjaman tidak ada dalam PP 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Untuk Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). 

Artinya, ketika negara memberi pinjaman pada Garuda, maka pemberian pinjaman itu bisa melanggar PP 23/2020 dan tentunya juga melanggar UU Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekenomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem keuangan menjadi Undang-Undang.

Jika dipaksakan, Garuda mungkin bisa selamat. Pemegang saham non pemerintah bisa selamat, tetapi presiden, posisinya bisa "tidak selamat".

Begini penjelasannya, Dalam PP 23/2020 hanya ada empat pilihan bagi pemerintah untuk melakukan penggelontoran anggaran dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional.

Pertama, Penyertaan Modal Negara.  Kedua, penempatan dana, ketiga investasi pemerintah. Keempat, penjaminan.

Penjelasan keempat hal itu dalam PP adalah sebagai berikut :

1.Penyertaan modal negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal badan usaha milik negara dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.

2. Penempatan dana adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menempatkan sejumlah dana pada bank umum tertentu dengan bunga tertentu.

3. Investasi pemerintah adalah,  penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

4. Penjaminan adalah, kegiatan pemberian jaminan oleh penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin pada penerima jaminan.

Dari empat pilihan itu, maka secara peraturan yang ada,  peluang membantu Garuda hanya dimungkinkan dalam bentuk PMN atau investasi pemerintah. Tidak ada kemungkinan bantuan lain pada Garuda selain kedua hal tersebut.

Namun yang mengherankan, kenapa Kementerian BUMN juga Kementerian Keuangan sepertinya menolak apa yang ada dalam PP? Padahal itu menguntungkan negara. Kementerian BUMN dan Keuangan sepertinya memaksa agar bentuk bantuan harus dana talangan, berikut hari disebut pinjaman/utang.

Saya mencoba mencari apa dasar hukum yang membuat Kementerian BUMN maupun Kementerian Keuangan merasa yakin pemberian pinjaman pada Garuda dimungkinkan dan punya dasar hukum. Kalau hanya berdasarkan pada PP 23/2020 jelas pinjaman tidak masuk satu dari empat pilihan tersebut di atas.

Lalu mungkin tidak pinjaman diberikan? Kalau sekadar bicara mungkin atau tidak, tentu bisa membuka debat kusir yang sangat panjang. Nah, untuk keluar dari perdebatan ada baiknya mencari dasar hukum dalam undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan menteri yang bisa menjelaskan lebih jauh tentang yang terkait dengan investasi pemerintah dan pinjaman.

Rujukan saya adalah UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 08/2007 tentang Investasi Pemerintah, serta Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 190/PMK.05/2011 tentang Sistem Akuntansi Investasi Pemerintah.

Dari uu, pp hingga permenkeu tersebut, menurut saya sekali lagi, sangat jelas bahwa bantuan yang bisa diberikan pada Garuda tetap tidak bisa dikategorikan pinjaman. Melainkan masuk kategori investasi yang berupa pembelian saham, obligasi, surat utang atau investasi langsung sebagai tambahan modal.

Di luar itu, pilihan lainnya ya PMN (Penyertaan Modal Negara). Dimana posisi pemerintah adalah sebagai pemilik modal. Bukan sebatas pemberi pinjaman. Tentunya dengan konsekuensi pemilik saham di luar pemerintah, sahamnya akan terdelusi. Sementara komposisi saham pemerintah semakin banyak. Mungkin bisa naik dari sekitar 60 persen menjadi 75 persen atau 90 persen. Bahkan bisa lebih.

Bila hal itu terjadi, maka seharusnya menteri BUMN dan menteri keuangan bangga dan senang jika saham negara bisa bertambah banyak di Garuda. Jadi, baiknya para menteri berjuanglah untuk PMN atau investasi pemerintah.

Bukan untuk pinjaman yang berpotensi melanggar PP 23/2020 dan UU 2/2020.

Bagaimana respons presiden saat saya menyampaikan hal itu? Presiden tidak marah, tidak menunjukan wajah kesal. Presiden mendengar, sembari membuat cukup banyak catatan dan berbicara menegaskan beberapa hal yang dirasa perlu. 

Ketika pembicaraan telah berlangsung sekitar 60 hingga 70 menit dan seluruh percakapan telah selesai, saya pamit pada presiden dan presiden berdiri lalu mengantar saya sampai ke pintu teras tempat golf car menjemput.

Bagaimana jika presiden mengambil keputusan lain yang berbeda dengan yang saya sampaikan? Menurut saya tugas saya adalah berbicara, mengingatkan, menyampaikan informasi. Bagaimana presiden menggunakan dan menyikapi apa yang saya sampaikan, itu 100 persen hak presiden.

Saya sebagai pendukung Jokowi dari saat maju sebagai Gubernur DKI, Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019, memiliki kewajiban moral dan sejarah untuk menjaga agar Jokowi tidak terjerumus dalam peluang terjadinya pelanggaran terhadap PP 23/2020 dan undang-undang. 

Saya tidak peduli ada yang mau marah, kesal, membully, mengecam atau menyebar fitnah apa pun. Bagi saya, kepedulian tertinggi sebagai pendukung Jokowi, sebagi pemilih Jokowi, sebagai warga negara sebagai rakyat Indonesia adalah memastikan uang negara untuk menyelamatkan negara dan rakyat. Bukan untuk menyelamatkan saham swasta di Garuda. (gir/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler