jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu menduga penolakan terhadap proses penawaran perdana saham (initial public offering/IPO) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terlalu tendensius dan berlebihan.
Penolakan tersebut juga bisa saja ditumpangi kepentingan yang ingin mendiskreditkan BUMN, bahkan menuju 2024.
BACA JUGA: Aneh, Jika Ada Pihak yang Khawatir Pertamina Geothermal Energy jadi Lebih Transparan
“Secara logika, dengan menjadi emiten, tentu kinerja, transparansi, dan efisiensi PGE akan meningkat. Jika ada yang mengkaitkan IPO PGE ini seolah sebuah langkah privatisasi, maka tentu itu tidak tepat karena yang dilepas tidak lebih dari 25 persen. Apalagi jika IPO ini dipolitisir seolah penjualan aset negara pada swasta tentu tuduhan yang tidak objektif dan berpotensi ditunggangi," kata Adian.
Adian pun mengajak masyarakat lebih objektif dan tidak tendensius, sehingga tidak mudah disulut dengan isu privatisasi yang tidak logis.
BACA JUGA: Lewat 2 Program Ini Ganjar Bikin Jateng Jadi Provinsi Pelopor Ramah Anak
Apalagi, sambung Adian, terdapat beberapa poin yang jika dicermati dengan akal sehat, justru memperlihatkan bahwa IPO PGE memang sangat positif.
Pertama, jelas Adian, jumlah saham yang dilepas hanya 25 persen. Tidak sampai setengah.
BACA JUGA: IPO Tingkatkan Daya Saing Pertamina Geothermal Energy
Komposisi tersebut menunjukkan, bahwa pemegang saham mayoritas masih tetap berada di tangan Pertamina. Dengan demikian, seluruh garis kebijakan organisasi, juga tetap di bawah kendali Pertamina yang notebene Badan Usaha Milik Negara.
“Logikanya saja, bagaimana mungkin publik sebagai pemilik 25 persen saham, bisa mengambil alih dari Pertamina yang masih memiliki mayoritas saham, yaitu 75 persen? Tolong tunjukkan hitung-hitungannya kalau memang 25 persen bisa mengambil alih yang 75 persen,” tegas Adian.
Kedua, imbuhnya, adalah prinsip transparansi bersifat mandatori bagi emiten.
Dengan prinsip tersebut, tidak ada celah bagi PGE untuk menutup-nutupi atau merekayasa laporan keuangan.
Artinya, semua serba fair, setiap transaksi akan terlihat dan diawasi. Jika terdapat upaya kecurangan tentu bisa dengan mudah terbaca oleh publik.
“Yang seperti ini, bagus atau tidak? Sehat atau tidak? Makanya kalau ada yang menolak IPO PGE, tentu dipertanyakan movitasi pihak tersebut,” seru Adian.
Ketiga, perusahaan yang bergerak di sektor panas bumi, yang notabene merupakan backbone energi baru terbarukan (EBT), PGE membutuhkan dana tidak sedikit. Dan salah satu sumber pendanaan tersebut, adalah melalui IPO.
“Jangan lupa dengan IPO, PGE tidak perlu membayar kewajiban pembayaran utang. Yang dilakukan hanya sharing keuntungan dengan investor,” tegasnya.
Keempat, perusahaan panas bumi yang beroperasi di Indonesia tidak hanya PGE, tetapi ada juga perusahaan swasta lainnya dengan total pengusahaan tidak kurang dari 49 perusahaan, termasuk perusahaan swasta.
Dari data itu maka isu swastanisasi tentu semakin tidak berdasar karena perundang-undangan memang membuka peluang bagi pihak swasta untuk mengelola panas bumi tidak hanya saham saja.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada