jpnn.com, JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu menjawab pernyataan politikus Partai Gerindra Andre Rosiade.
Andre sebelumnya menduga ada maksud tertentu dari kritikan Adian Napitupulu soal Badan Usaha Milik Negara (BUMN), beberapa hari terakhir.
BACA JUGA: Adian Napitupulu Kritik Erick Thohir, Ujang: Karena Uang BUMN Gurih
Andre mengaku mendengar rumor Adian mengusulkan sejumlah nama ke Menteri BUMN Erick Thohir untuk posisi komisaris.
Namun, Erick Thohir malah mencopot sejumlah nama teman Adian yang terlebih dahulu duduk di BUMN. Misalnya, yang duduk di PTPN dan Damri.
BACA JUGA: Adian Napitupulu Dipanggil ke Istana, Bahas 2 Hal Penting dengan Jokowi
Adian menanggapi pernyataan anggota Komisi VI DPR itu lewat tulisan yang diberi judul 'Antara Sisi Positif Pernyataan Andre Rosiade dan Kotak Pandora BUMN'.
Dalam tulisannya, Adian mengingatkan Andre seorang anggota dewan yang dibayar rakyat untuk membahas peristiwa-peristiwa berupa data dan fakta.
BACA JUGA: KPK Telisik Hubungan Istri Nurhadi dengan Pria PNS di MA, Oh Ternyata
Bukan malah berkoar-koar soal hal yang disebut masih sebuah rumor.
Pentolan aktivis'98 ini juga mengingatkan, tugas Andre sebagai anggota DPR itu membuat undang-undang, menyusun anggaran dan melalukan fungsi pengawasan.
Dalam hal ini, kata Adian, pihak yang perlu diawasi adalah eksekutif.
Tugas dan fungsi Andre itu membuat UU, Menyusun Anggaran dan melakukan fungsi Pengawasan. Siapa yang diawasi? Eksekutif.
Bukan malah mengkritisi sesama anggota dewan yang sedang menjalankan tugas mengkritisi penggunaan anggaran oleh eksekutif.
Berikut tulisan lengkap Adian sebagaimana diterima jpnn.com, Selasa (16/6):
Adian marah karena temannya di berhentikan. Adian marah karena temannya tidak di akomodir. Kira-kira itu logika yang dibangun Andre.
Cara berpikir yang menuding kritik sebagai topeng kepentingan, merupakan metode untuk membungkam kekritisan.
Secara sederhana cara berpikir Andre menggunakan logika 'di balik kritik menteri ada kepentingan'.
Kalau itu cara berpikirnya, maka saya juga bisa menggunakan logika yang serupa. 'Di balik pembelaan pada menteri juga punya kepentingan'.
Kalau mengkritik dianggap karena belum dapat, maka bisa jadi membela itu karena sudah dapat (posisi).
Pernyataan Andre yang diakuinya masih berupa rumor itu sebenarnya bisa dilihat sebagai pernyataan bersayap bagai pedang bermata dua.
Bisa untuk menyerang saya, bisa juga menyerang orang yang seolah dibelanya.
Sesuatu yang masih berupa rumor tidak perlu dipublish dulu, karena Andre dibayar rakyat untuk membahas peristiwa yang berdiri di atas data dan fakta, bukan rumor.
Selain itu, sebagai anggota DPR, tugas dan fungsi Andre itu membuat undang-undang, menyusun anggaran dan melakukan fungsi pengawasan. Siapa yang diawasi? Eksekutif.
Apanya yang diawasi? Kebijakan dan pelaksanaan kebijakan eksekutif yang terkait dengan anggaran dan pelaksanaan undang undang dengan segala turunannya.
Kenapa anggaran dan undang undang? Karena DPR yang membuat anggaran dan undang-undang, sementara pemerintah yang menjalankan. Maka itu, DPR-lah yang harus mengawasi pemerintah. Kira kira demikian.
Tetapi apa yang terjadi, Andre justru mengawasi sesama anggota DPR yang sedang mengkritisi penggunaan anggaran oleh eksekutif. Nah lho, bingung kan?
Pasti akan lebih rumit lagi kalau akibat dari yang dilakukan Andre mengawasi anggota DPR yang lain menjadi kebiasaan, lalu hubungan sesama kolega di DPR saling mengawasi, saling intip, saling mencari salah dan kelemahan.
Andre memang beda, energinya berlebihan. Mulai dari mengawasi pemerintah, mengawasi PSK dan sekarang mengawasi suasana hati sesama anggota DPR yang Andre duga kecewa karena temannya diberhentikan dari BUMN.
Dahsyat luar biasa. Kalau fasis mengawasi pikiran, rasis mengawasi warna kulit. Kalau mengawasi hati kayaknya lebih kejam dari fasis dan rasis.
Tetapi kalau dipikir-pikir, ternyata saya menangkap sinyal dari Andre yang membuat saya bisa melihat sisi positif dari pernyataannya.
Andre sepertinya justru melemparkan umpan yang mengharapkan sambutan saya dalam bentuk paparan yang lebih luas.
Semacam ajakan, agar saya tidak hanya bicara kebijakan anggaran, tetapi juga berbicara kebijakan penempatan komisaris. Hmmmm ngeri-ngeri sedap nih.
Saya sih tidak masalah jika kita membahas kebijakan penempatan komisaris dengan catatan apakah kita siap membuka kotak pandora?
Ketika kotak pandora dibuka, maka semua tali temali masa kini dan masa lalu di setiap pemerintahan terbongkar hingga era Orde Baru. Nama-nama mafia migas akan kembali muncul ke permukaan, kait mengkait dengan puluhan ribu kepentingan bisnis dan politik di tiap pemerintahan terbuka lebar.
Karena jumlah komisaris dan direksi dari BUMN induk, anak dan cucu, bisa mencapai kira kira 6.000 orang.
Terbayang enggak, kalau masing masing direksi dan komisaris secara personal punya keterkaitan dengan bisnis dan politik, keterkaitan keluarga, terkait dengan partai, ada yang terkait dengan berbagai institusi negara.
Bahkan tidak sedikit yang diindentifikasi punya keterkaitan dengan Orde Baru.
Ada yang kakak dan adik jadi petinggi di dua BUMN berbeda. Ada anak tokoh, anak pejabat, anak pengusaha. Ada keluarga pengusaha, ipar menteri.
Ada yang dari perusahaan tambang swasta diangkat menjadi dirut BUMN transportasi, ada yang dirut perusahaan tambang swasta diangkat menjadi dirut BUMN tambang di jenis tambang yang sama.
Ada produser televisi swasta menjadi komisaris, ada tim sukses jadi komisaris, ada tim media sosial menjadi komisaris. Ada aktivis organisasi ini itu, ada juga yang mewakili putra daerah.... Hufff banyak sekali.
Apakah Andre mengajak saya membuka kotak pandora itu? Apakah Andre mengajak saya membuka luka di tiap era dan mengoreknya hingga bernanah di saat negeri terkepung wabah?
Masalah berikutnya, semua orang tahu bahwa yang mengatakan setuju atau tidak seseorang diajukan menjadi komisaris atau direksi, ya menteri BUMN dan jajarannya.
Artinya, orang awam juga tahu bahwa menteri sangat tahu tali temali, keterkaitan posisi ini itu dan bisnis itu ini. Apakah Andre bermaksud membahas semuanya sampai ke Menteri BUMN, karena pada akhirnya secara hirarki, ya menteri yang bertanggung jawab.
Dalam politik, semuanya mungkin. Lalu apakah mungkin Andre "menggunakan" saya untuk mengkritisi penempatan komisaris yang disetujui Menteri BUMN? Hmmmm macam main billiard, tembak sini, agar yang sana masuk lubang.
Mana yang ingin dibahas, direksi atau komisaris di BUMN anak, cucu atau cicit yang kepentingannya tidak terlalu sarat.
Atau di BUMN induk yang gajinya ratusan juta, tantiem sampai miliaaran rupiah, yang pasti lebih sarat kepentingan dan konon saat ini rata rata punya keterkaitan dengan perusahaan swasta raksasa lainnya.
Dengan bisnis tambang misalnya. Atau kita bahas kasus yang pernah diangkat salah satu najalah nasional terkait sebuah BUMN dan ratusan miliaar uang yang pindah tangan?
Menurut saya bahasan itu nanti saja dulu. Untuk sementara kita fokus pada potensi tidak tepatnya penggunaan uang negara dan peluang pelanggaran terhadap PP 23/2020 dan UU Nomor 2/2020.
Jangan sampai fokus beralih ke komisaris, lalu tiba-tiba bertriliuun uang dikucurkan tidak sesuai skema PP 23/2020.
Saran saya, sekarang tetap fokus pada anggaran dulu. Agar Rp 8,5 triliun untuk Garuda dan triliun-triliun lainnya bisa diselamatkan. Agar anggaran sebesar itu bermanfaat untuk negara dan rakyat di saat pandemi ini.
Semoga kalau bertriliun uang negara itu selamat, walau secara tidak langsung, tetapi mungkin bisa ikut menyelamatkan banyak orang di daerah pemilihan saya, juga di dapil Andre lho.
Kalay pemilik saham swasta itu sudah kaya raya, sebagai perusahaan go public, pakai sistem share rofit, share pain juga beres. Sekarang di masa pandemi ini, anggaran ke rakyat dulu saja.
Setelah selesai masalah anggaran, setelah pandemi berlalu, baru kita membicarakan apakah kotak pandora mau di buka atau tidak.
Bahkan kalau diskusi semakin meluas, maka boleh saja pembicaraan berlanjut pada Klkomisaris atau direksi yang punya keterkaitan dengan perusahaan yang punya catatan pelanggaran HAM, pelanggaran lingkungan hidup, perampasan tanah dan lain lain yang ternyata juga punya kerja sama bisnis dengan BUMN dari dulu. (gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang