jpnn.com, JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu menyentil politikus Partai Gerindra Fadli Zon terkait kicauannya soal sejarah serangan umum 1 Maret 1949.
Menurut Adian Napitupulu, pada agresi militer Belanda ke 2, Soekarno-Hatta memilih tetap bertahan di Yogyakarta yang sejak 4 Januari 1946 menjadi ibu kota negara.
BACA JUGA: Minyak Goreng Langka, Fadli Zon Sebut Alasan Pemerintah Segudang
Berikutnya, Soekarno Hatta ditangkap pada 19 Desember 1948 saat Belanda berhasil menguasai Yogyakarta.
Kemudian Soekarno Hatta dibuang Belanda ke Brastagi hingga Bangka.
BACA JUGA: Permintaan Adian Napitupulu Kepada Negara Sangat Tegas Soal yang Satu ini
"Beberapa waktu sebelum Soekarno-Hatta ditangkap, mereka memang sempat memandatkan pada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)," ujar Adian dalam keterangannya, Rabu (9/3).
Namun, Soekarno-Hatta ketika itu juga mempersiapkan rencana antisipasi kemungkinan terburuk.
BACA JUGA: Ada Aksi di KPK, Adian Napitupulu Langsung Mendatangi Erick Thohir
Soekarno-Hatta mempersiapkan Exile Goverment atau pemerintahan dalam pengasingan di New Delhi, India, yang dipimpin oleh A.A Maramis dan Dr Soedarsono.
Kemudian, Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), 22 Desember 1948.
Dia lewat PDRI membagi wilayah Sumatra menjadi lima pemerintahan militer, tetapi hingga awal Mei 1949 kabinet PDRI tidak kunjung terbentuk.
Dengan demikian, maka secara de facto dan de jure, Sultan Hamengkubuwono IX tetap menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.
"Fakta sejarah Sultan Hamengkubuwono IX selain Raja Yogyakarta juga menjabat sebagai menteri pertahanan saat itu, dikuatkan juga oleh kehadiran Sultan Hamengkubuwono IX dalam perundingan Roem Roeyen pada April 1949."
"Dalam perundingan itu Sultan Hamengkubuwono sebagai Sultan dan Menteri Pertahanan mengatakan secara tegas, Jogjakarta is de Republiek Indonesie," katanya.
Adian kemudian menyoroti kicauan Fadli Zon di Twitter yang menyebut Humas Pemprov DI Yogyakarta keliru.
Dia mengatakan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai kepala pemerintahan, Sjafroeddin Prawiranegara.
Kabinet Hatta sudah berakhir dengan penangkapan Soekarno-Hatta-Sjahrir-H Agus Salim.
Maka dibentuklah Kabinet PDRI.
"Pernyataan Fadli Zon ini salah besar. Dokumen sejarah justru menguatkan pernyataaan Humas Yogyakarta yang menyatakan serangan Umum 1 Maret 1949 digagas Menteri Pertahanan Indonesia sekaligus Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Serangan Umum dipimpin oleh Panglima Besar Jendral Soedirman, serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta.
"Kesalahan Fadli Zon mungkin berangkat dari salah baca terhadap tanggal dan bulan dalam dokumen sejarah."
"Karena sesuai dokumen, pengangkatan Syafruddin Prawiranegara oleh PDRI sebagai menteri pertahanan baru dilakukan dua bulan setelah serangan umum, yaitu 16 Mei, sebagaimana dokumen sejarah berupa surat yang di tandatangani R Marjono Danubroto selaku sekretaris PDRI saat itu, 19 Mei 1949."
Aktivis 98 ini kemudian memaparkan peran Soeharto dalam serangan umum 1 Maret 1949.
Menurutnya, sebatas pelaksana perang. Yakni, pelaksana yang diperintahkan berperang oleh atasan, bukan penggagas, inisiator atau pemilik ide, apalagi pemegang peran sentral.
"Bahkan, sesungguhnya perintah perang pada Soeharto tersebut sudah diberikan sekitar dua bulan sebelum serangan umum 1 Maret."
"Melalui Perintah Siasat Panglima Divisi III /Gub Militer III TNI yaitu Kolonel Bambang Sugeng sejak 1 Januari 1949 dengan nomor 4/S/cop.I. yang isi nya memerintahkan Cdt Daerah I (Lt.kol Moch Bachrun), Cdt daerah II (Lt.kol Sarbini) dan Cdt Daerah III (Lt.kol Soeharto) untuk mulai melakukan perlawanan serentak sejak 17 Januari 1949," katanya.
Adian kemudian mengatakan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi, meluruskan sejarah terkait gagasan, ide dan perintah tentang Serangan Umum 1 Maret.
Selain itu, keppres juga sebuah upaya menjaga nama Soeharto dengan membatasi agar tidak terjadi klaim berlebihan terhadap peristiwa sejarah.
"Kenapa saya katakan menjaga, karena klaim berlebihan seolah Soeharto menjadi tokoh sentral yang menjadi sutradara sekaligus aktor pemeran utama dalam serangan umum 1 Maret, bisa saja kemudian ditafsirkan Soeharto seolah telah meniadakan struktur negara."
Yaitu presiden, wakil presiden hingga menteri pertahanan dan meniadakan struktur TNI yang ada di atasnya saat itu, antara lain Panglima Besar Soedirman dan Panglima Divisi III selaku atasan Letkol Soeharto.
"Menurut saya yang menarik untuk dipertanyakan apa motif Fadli Zon mengarang sejarah, seolah ingin menjadikan Soeharto sebagai tokoh utama serangan umum 1 Maret?" katanya.
Adian mempertanyakan langkah Fadli apakah sebagai upaya balas budi pada Soeharto yang mengangkatnya menjadi anggota MPR 1997 atau untuk menjerumuskan Soeharto?
"Ya, agar dianggap sebagai Letkol yang melakukan perang tanpa perintah presiden, menhan, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kolonel Bambang Sugeng selaku panglima Divisi III wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta," katanya.
Sekjen Persatuan Nasional Aktivis 98 ini lebih lanjut menyebut sulit menyimpulkan motif sebenarnya dari Fadli Zon, tetapi membuat banyak pihak membuka kembali dokumen sejarah.
Baik itu tentang 1 Maret, maupun catatan kekerasan, memori luka, daftar nama korban penculikan, penembakan misterius, Tanjung priok 1984 serta deretan luka lainnya.
"Pernyataan Fadli Zon memaksa kembali menggali ingatan demi ingatan masa lalu yang selama ini mulai memudar oleh waktu dan kedewasaan dari usia sebagai bangsa," katanya.
Adian kemudian mengingatkan, daripada Fadli Zon meminta pemerintah merevisi Keppres Nomor 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, lebih baik dia merevisi kembali ingatan, bacaan dan alur logika sejarah, agar tidak terjadi seperti kata pepatah, kerbau punya susu, sapi punya nama.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang