jpnn.com - JAKARTA - Pengamat Timur Tengah yang juga alumnus Universitas Kuftaro Damaskus, Syria, M. Zainal Aziz menyatakan, masuknya sekelompok WNI ke wilayah Turki dan Syria merupakan fenomena yang awalnya luput dari perhatian pemerintah.
Sebelum kabar 16 WNI yang ditemukan di perbatasan Turki, pemerintah seakan luput untuk terus memperhatikan perkembangan kelompok radikal yang masih subur berkembang di tanah air.
BACA JUGA: PPP Kubu Djan Faridz Pastikan Hak Angket untuk Yasonna Tetap Jalan
”Rakyat cenderung disuguhi isu internal yang berlangsung berbulan-bulan. Itu yang menjadikan informasi terkait ISIS tidak pernah menjadi perhatian,” ujar Zainal saat dihubungi kemarin.
Mantan ketua tanfidziyah Nahdlatul Ulama Lebanon tersebut mengatakan, para WNI yang rela membawa serta keluarga mereka demi bergabung dengan ISIS berasal dari jaringan radikal lama.
BACA JUGA: Elit Terus Ribut, Dua Kerugian Besar Ini Akan Diderita Golkar
Mulai kelompok Lamongan, Ciamis, Bangkalan, hingga Solo mendominasi profil mereka yang berangkat menuju Turki dan Syria. ”Ini bukan hanya faktor ideologi. Ini juga terkait dengan faktor ekonomi,” ujarnya mengingatkan.
Sementara itu, mantan kombatan Poso Rafiq Syamsuddin mengungkapkan, di Poso gerakan-gerakan ISIS memang banyak menyasar para mantan kombatan. Ironisnya, upaya tersebut terkesan tak mendapatkan pembendungan serius dari pemerintah.
BACA JUGA: Ingin Gabung ISIS, Harus Kantongi Rekomendasi Tiga Kelompok Ini
”Pemerintah sebenarnya tahu itu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya terlalu percaya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Red), ya akhirnya tidak ada hasilnya,” tegas pria yang kini menjadi pengusaha radio tersebut.
Rafiq mengatakan, selama ini proyek deradikalisasi BNPT di Poso terkesan seperti tambal sulam.
”Adanya proyek bagi-bagi uang untuk mereka yang dianggap pernah nakal. Padahal, itu tidak menyelesaikan masalah,” ucap pria yang pernah tertangkap dengan tuduhan aksi terorisme tersebut.
Adik terpidana mati kasus bom Bali Amrozi, Ali Fauzi, menyebutkan, membendung WNI yang bergerak mengikuti ISIS sebenarnya jauh lebih mudah daripada menangkal mereka yang bergabung dengan JI.
”Tingkat kerahasiaan ISIS berbeda dengan JI. Kalau JI itu supersilent,” ujar alumnus kamp Mindanao tersebut saat dihubungi kemarin.
Menurut Ali, mungkin Badan Intelijen Negara (BIN) maupun BNPT sudah bisa mendeteksi mereka yang akan bergabung dengan ISIS di Syria. Persoalannya, tidak ada payung hukum untuk menangkap mereka. ”Berbeda dengan di Malaysia. Mereka bisa menangkap warganya yang hendak berangkat dengan tuduhan makar,” terangnya.
Bagaimana upaya BNPT mengikis pengaruh ISIS? Tim ahli BNPT Wawan Hari Purwanto mengatakan, ada sejumlah pelajar Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS. Sesuai data BNPT, mereka merupakan pelajar Indonesia yang belajar di Yaman, Sudan, Arab Saudi, dan Mesir. ”Pelajar-pelajar di kawasan Timur Tengah,” ucapnya.
BNPT mulai mendeteksi arus pelajar Indonesia bergabung dengan ISIS beberapa bulan lalu. Dengan itu, BNPT berupaya mengantisipasi. Caranya, mereka bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang ada di setiap negara di Timur Tengah. ”Dengan mereka kami berkampanye agar bisa mencegah pelajar bergabung,” ujarnya.
BNPT sendiri memprediksi jumlah WNI yang telah bergabung dengan ISIS mencapai 500 orang. Ratusan orang itu campuran dari pelajar hingga orang yang telah berkeluarga. ”Perlu ditegaskan, ratusan orang ini sebenarnya bukan musuh. Mereka harus kita ajak untuk berkomunikasi sehingga bisa mengerti satu sama lain,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala BIN Marciano Norman menerangkan, modus terbaru untuk bisa bergabung dengan ISIS memang menggunakan biro perjalanan. Untuk itu, BIN sedang menyelidiki kemungkinan terlibatnya biro perjalanan tersebut. ”Masih pendalaman,” katanya. (bil/bay/gun/idr/c9/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Empat Motivasi WNI Gabung ISIS
Redaktur : Tim Redaksi