jpnn.com - ADRIAN B. LAPIAN beroleh gelar, "Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim Asia Tenggara". Karya monumentalnya, buku setebal bantal bertajuk Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Kapalnya Diamuk Badai, Nakhoda Legendaris ini Dengar Adzan, Masuk Islam Deh...
Adrian Bernard Lapian digigit anjing. Waktu itu, dia masih sekolah di Louwerierschool (setara SD) di Tomohon, Sulawesi Utara.
Dia berharap anjing itu rabies. Dengan begitu, dia bisa berlayar ke Jawa. Sebab, yang punya serum antirabies, pada saat itu hanya Institut Pasteur, Bandung.
BACA JUGA: Ketika Teknologi Nenek Moyang Indonesia Diuji di Laut
Apa mau dikata, anjing itu sehat. Bukan main kecewanya Lapian. Mimpi berlayar ke Jawa pun sirna.
Dari Wartawan Jadi Sejarawan
BACA JUGA: Bukan Kisah Jalur Sutra...
Beranjak remaja, hasratnya kesampaian juga. A.B. Lapian berlayar ke Jawa.
Pada 1950, putra dari Bernad Wilhelm (BW) Lapian, Gubernur Sulawesi yang berkedudukan di Makassar itu masuk kuliah di jurusan Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung).
Tiga tahun kemudian, kuliah tak lagi menarik. Dia memilih jadi wartawan di The Indonesia Observer, sebuah surat kabar ibukota.
Sebagai wartawan, A.B. Lapian meliput Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955.
Nah, saat mengampuh desk luar negeri di surat kabar itu, dia mulai tekun mempelajari hubungan antarnegara. Lapian pun mulai menyibak-nyibak lembaran sejarah.
Eh, dia malah kegandrungan. Pada 1956, Lapian mendaftar jadi mahasiswa sejarah di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Di sini dia jumpa dan berkenalan dengan Sartono Kartodirdjo, satu-satunya lulusan jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, kala itu.
Sebenarnya santer kabar bahwa jurusan sejarah mau tutup. Para dosennya pulang ke Belanda.
Lapian hirau. Tahun 1965, "karya pertamanya berjudul Beberapa Tjatatan Mengenai Djalan Dagang Maritim ke Maluku Sebelum Abad XVI, dimuat di Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (MISI)," tulis MF Mukthi, dalam Warisan Nakhoda Pertama, termuat di Historia.
Tajuk itu sama dengan skripsinya.
Lapian meretas jalan baru. Sebab, kajian sejarah maritim ketika itu kurang populer.
Karena kajiannya inilah, Yos Sudario tertarik mengajak A.B Lapian ikut merintis Seksi Sejarah di tubuh Angkatan Laut, pada 1962.
"Mulanya Yos Sudarso menggunakan paviliun rumahnya untuk menjadi kantor Seksi Sejarah Angkatan Laut," kata Kolonel Ronny Turangan, Kasubdisjarah Mabes TNI AL, kepada JPNN.com, di kediamannya, Cibubur, Selasa (29/3).
Yos Sudarso gugur dalam pertempuran laut saat merebut Irian Barat.
Periode 1964-1965, Lapian diangkat jadi Kepala Seksi Sejarah Angkatan Laut. Dia mulai berkantor di Mabes AL Gunung Sahari dan memelopori penerbitan seri Pustaka Bahari.
Laut Sakti Rantau Bertuah
Saat aktif bersama Angkatan Laut, A.B. Lapian ikut sejumlah ekspedisi pelayaran. Tak sekadar mangarungi lautan, dia menyelami sejarahnya.
Alhasil, pada April 1987 lahirlah Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Sebuah disertasi untuk mendapatkan gelar doktor di Universitas Gadjah Mada.
Disertasi setebal 471 halaman nan memukau itu, hadir dengan segudang literatur yang tak hanya berbahasa Melayu, juga Portugal, Belanda, Inggris, Macao, Prancis, Amerika, Filipina.
Dia memang mafhum banyak bahasa asing.
Setahun kemudian, saat Konferensi International Association oh Historian of Asia (IAHA) me-15 di Jakarta, A.B. Lapian dianugerahi gelar Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim Asia Tenggara.
Seolah tak pernah memunggungi lautan, saat pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa di Universitas Indonesia, 4 Maret 1992, Lapian menyatakan;
Jika berbicara tentang sejarah Nusantara, mau tak mau aspek kelautan patut diperhatikan.
Pidato itu diberinya judul, "Sejarah Nusantara Sejarah Bahari". (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Jadinya Bila Kapal di Relief Candi Borobudur itu Dilayarkan...
Redaktur : Tim Redaksi