jpnn.com - PHILIP Beale berpikir, "inilah yang menjadi jembatan terapung di atas gelombang…" saat mematut-matut relief kapal bercadik di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada 1982.
Seketika itu juga Philip bermimpi, "membuat kembali kapal itu. Dan, melayarkannya menyeberangi Samudera Hindia."
BACA JUGA: Teka-teki Relief Borobudur, Perahu Bercadik dan Legenda Jalur Kayu Manis
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
Dua puluh tahun kemudian, setelah mengkajinya masak-masak, Philip, veteran Angkatan Laut Inggris itu jumpa Nick Burningham, seorang Arkeolog Maritim di Italia.
BACA JUGA: Antara PWI dan AJI...Ini Tragedi dalam Sejarah Pers di Indonesia
Sejak September 2002, Philip melibatkan Nick. Mereka sama-sama melakukan kajian intensif. Baik dari segi teknik, pun akademik.
Berbekal relief dua dimensi tanpa skala, minim catatan teknis, sulit untuk mengetahui berapa ukuran sebenarnya dan terbuat dari bahan apa kapal itu?
BACA JUGA: Bukan SP 11 Maret, Tapi 12 Maret! Ini Faktanya...
Mereka pun menelusuri jejak sejarah.
Kesimpulannya, kapal bercadik di relief Candi Borobudur itulah yang melayari rute kayu manis (cinnamon route).
Jalur Kayu Manis
Jarak tempuh Jalur Kayu Manis atau cinnamon route, lebih kurang 27.750 km. Sama dengan mengelilingi separuh bumi.
Dari Kepulauan Indonesia-Samudera Hindia-Maldives-Madagaskar-Cape Town hingga Ghana.
Sejauh ini, kajian ilmiah membuktikan, bahwa kayu manis terbaik di dunia, berasal dari Kerinci, Sumatera.
Berdasarkan jarak itu, Philip dan Nick memperkirakan barang dan bekal yang dulu dibawa, dengan asumsi kapal singgah di sejumlah pulau, dan menambah muatan yang habis sepanjang pelayaran.
Rempah-rempah seberat 2 ton. Air tawar 1500 liter. Kemudian 1 ton kayu bakar, beras 900 kg, 0,5 ton makanan dan bumbu.
Tempat yang dibutuhkan untuk barang-barang tersebut ditaksir mencapai 13 meter kubik.
Bila jumlah awak berkisar antara 20 hingga 30 orang, untuk tempat tidurnya dibutuhkan lagi area seluas 18 meter persegi.
Peralatan dan barang-barang bawaan pribadi para awaknya sebutlah 0,5 ton.
Maka hasil yang diperoleh, kapal itu berbobot 30 gross ton (GT). Panjang 18,29 meter. Lebar 4,5 meter. Tinggi 2,25 meter.
Mulailah dibuat sketsa. Siapa sangka, perhitungan itu cocok pula dengan jumlah dan ukuran dayung pada relief Candi Borobudur. Masing-masing dayung diperkirakan berukuran 1 hingga 1,5 meter.
Belajar Lagi
Pendek kisah, perahu bercadik rampung dibangun.
Siapa nakhoda yang berani melayarkannya, menapaktilasi jalur kayu manis?
Sempat muncul beberapa nama pelaut, namun begitu mengetahui rupa kapal, mereka memilih mundur teratur.
Tak ada yang mau. Dan, sampailah giliran I Gusti Putu Ngurah Sedana, seorang kapten di Angkatan Laut Republik Indonesia.
Putu yang ketika itu berusia 33 tahun datang langsung mengecek ke lokasi, saat kapal dibuat.
"Tempatnya jauh. Dari Jawa nyeberang pulau. Jalan kaki, naik kapal lagi, baru sampai," Putu bernostalgia kepada JPNN.com, baru-baru ini.
Perahu bercadik dibuat di Pulau Pagerungan Kecil, Sumenep, Madura.
Putu jumpa dengan pembuat kapal itu. "Namanya Pak Asaad. Sudah almarhum," kenangnya.
Assad Abdullah al-Madani. Pamornya sebagai pembuat perahu tradisional Indonesia tak diragukan lagi.
Asaad dan kawan-kawan membangun perahu itu sebagaimana cara-cara yang dipakai nenek moyang dulu.
Seluruhnya kayu. Tanpa sebatang pun paku, tak sedikit pun besi.
Cadik ganda dan poros penggulung layar dari bambu. Tali temalinya dari sabut kelapa, serat nanas dan ijuk. Layarnya pakai kain tetoron.
Begitu melihat kapalnya, Putu terkesiap. "Ini pak? Tak ada mesinnya?"
Putu tak surut. Dicobanya melayarkan. Bolak-balik ke Banyuwangi, Bali, lalu ke Jawa lagi.
"Sambil belajar lagi menggunakan layar tradisional. Biasanya kan saya bawa kapal layar modern," tuturnya.
Akhirnya, untuk membuktikan jiwa kebaharian nenek moyang orang Indonesia, Putu menyabung nyawa menakhodai perahu bercadik ke Pantai Barat Afrika. Meniti Jalur Kayu Manis. Jalur perdagangan nenek moyang orang Indonesia di zaman baheula.
Perahu perwujudan dari relief Candi Borobudur itu pun berlayar mengelilingi separuh dunia. Dan, pelayaran itu merubah kehidupan Putu.
Dia masuk Islam setelah mendengar suara ghaib, ketika diayun badai di pertemuan samudera Hindia dan Atlantik. --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebelum Supersemar Diteken, Bung Karno Marah Sampai Lempar Asbak
Redaktur : Tim Redaksi