jpnn.com - Para pelaku trafficking (perdagangan manusia) tidak saja mengelabui petugas ketika mengirim para korban. Mereka juga merahasiakan daerah tujuan kepada korban agar alur perjalanan tidak terbaca. Modus operandi ini yang dilakukan jaringan pengiriman dua gadis belia asal Bitung, Mita (15) dan Andini alias Fani (16). Aksi ini berhasil digagalkan Malut Post dan Manado Post (Grup JPNN.com).
Laporan: Ismit Alkatiri dan Tommy Waworundeng, Jakarta
BACA JUGA: Sejak Bayi, Pendidikan Warga Dijamin Negara
PENUMPANG pesawat Batik Air dari Manado ke Jakarta, Jumat (30/5) malam tiba-tiba panik sesaat sebelum pesawat menuju runway (landasan pacu) di Bandara Sam Ratulangi. Kepanikan itu bersumber dari aksi dua gadis belia yang berlarian dan menangis di atas pesawat sambil membawa tas sesaat setelah pengumuman bahwa pesawat akan terbang menuju Jakarta.
Akibat aksi itu, pesawat pun berhenti dan keduanya didatangi pramugari. Setelah dicek, kedua gadis ini mengaku salah naik pesawat. Pramugari kemudian meminta tiket mereka dan menuju ke kokpit untuk koordinasi dengan pilot. Sementara itu, sejumlah penumpang termasuk Manado Post dan Malut Post (Grup JPNN.com) yang duduk tak jauh dari kursi kedua gadis tersebut berusaha menenangkan mereka.
BACA JUGA: Otodidak, Hadiahkan Foto Udara untuk HUT Kota Pahlawan
"Om, tolong kasing, Torang cuma dorang ada suruh nae pesawat. Dorang bilang torang dua cuma sampe Makassar baru ada yang jemput for terus ke Jayapura," keluh Mita.
Setelah diinterogasi, Mita dan Fani mengaku mereka dikirim seseorang dari Manado ke Jayapura via Makassar. "Torang so nyanda priksa tiket, dorang cuma bilang nae tu pesawat ini," jelas Mita lagi.
BACA JUGA: Bekas Feri Cepat, Ditembak karena Boros Bahan Bakar
Anehnya, ternyata tiket keduanya memang tujuan Jakarta tanpa transit Makassar. Artinya, kedua gadis ini berada pada pesawat yang tepat. Ini menunjukkan bahwa si pengirim kedua gadis ini sengaja membelikan tiket dengan tujuan Jakarta namun sengaja merahasiakan kepada keduanya tentang tujuan yang sebenarnya.
Kedua gadis ini sama sekali tak curiga karena sejak di bandara Sam Ratulangi, tiket yang mereka pegang tidak diperiksa sama sekali. Saat di bandara, mereka berdua diberikan boarding pass dan tiket. Ada orang yang sudah melakukan check in lebih dahulu. Ketika pramugari kembali membawa tiket dan mengatakan bahwa pesawat tidak diizinkan balik ke parkiran, Mita dan Fani semakin panik dan menangis. Mereka mengaku sudah ditipu orang yang mengirim mereka.
"Dorang yang beli akang tiket, trus bilang mau ke Makassar. Kiapa kong dorang kase ke Jakarta. Aduh kasiang, torang nda ada sudara di Jakarta.” katanya sambil terisak.
Malut Post, Manado Post dan beberapa penumpang termasuk Ibu Sonya, seorang wanita yang kemudian diketahui pegawai Pemkab Minahasa, berusaha menenangkan keduanya.
Kami sepakat akan membantu keduanya sesampai di Jakarta. Awalnya, kedua korban akan dititip bersama seorang ibu Sonya di tempat penginapan. Nanti, esoknya, setelah selesai urusan, keduanya akan diurus untuk kembali ke Manado. Tapi, setelah turun dari tangga pesawat, Manado Post dan Malut Post kembali interogasi keduanya.
Dari pengakuan keduanya, mereka direkrut oleh seorang pria dengan maksud akan dipekerjakan di Jayapura. Tidak jelas apa pekerjaan kedua remaja putus sekolah itu. Menurut Mita yang hanya tamat kelas 3 SD di salah satu kelurahan di Bitung, dia ditawari bekerja di Jayapura. "Dorang bilang mau karja di tampa bae-bae dan gaji lumayan," kata Mita.
Tapi, berapa gaji dan di mana tempat kerjanya, keduanya mengaku tidak tahu. Kepergian keduanya memang diketahui orang tua masing-masing. "Maar, kita pe mama cuma tau torang mau kerja di Jayapura," tambahnya.
Sebagai modal identitas mereka, keduanya dibuatkan KTP di dua kelurahan yang berbeda di Manado (Winangun dan Mahakeret Timur). Mita sendiri kaget, usia yang tertera di KTP-nya tercatat 19 tahun. "Kita baru 15 taong, dorang tulis 19 taong," ujarnya polos.
Menurut dia, sebetulnya yang akan berangkat 3 orang. "Satu kita pe sepupu. Maar dia nda jadi berangkat karena depe anak manangis," aku Mita.
Dia mengaku tergiur dengan tawaran pekerjaan karena ingin bantu biaya perawatan ibunya yang sakit-sakitan. Sementara Fani yang memang teman sepermainan Mita, dia juga mau dapat uang. Berbeda dengan Fani, Mita sendiri sebelum berangkat, pihak yang merekrutnya sempat tinggalkan uang Rp400 ribu pada ibunya.
"Kalu kita nda baminta doi panjar. Kita tako ley jang kong nda jadi karja dorang minta pulang," tukas gadis belia yang tinggal bersama ayahnya seorang pelaut di Bitung.
Pengakuan Mita dan Fani semakin memperkuat dugaan kalau mereka korban trafficking. Kebetulan, kedua korban juga dikasih sebuah handphone lengkap dengan nomor yang di dalamnya sudah ada nomor kontak pria dengan identitas tercatat sebagai "papi".
Hand phone itu yang memberi petunjuk adanya gelagat mencurigakan karena setelah tiba di Jakarta, langsung dihubungi papi dan beberapa nomor yang tidak dikenal. Keduanya juga meminta tolong kami untuk menyelamatkan mereka. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kami sepakat membawa kedua korban ke pihak berwajib untuk meminta pengamanan.
Langkah itu dilakukan atas arahan pihak Polda Sulawesi Utara (Kabid Humas AKBP Wilson Damanik) yang dihubungi sesaat setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ternyata, setelah memasuki ruang kedatangan, dugaan bahwa akan ada pihak yang menjemput keduanya semakin kuat. Sadar kalau mereka akan dijemput orang tak dikenal, kedua korban semakin panik. Handpohne yang diberikan orang yang mengirim keduanya tiba-tiba terhubung.
Namun, saat itu handphone tidak di tangan keduanya, melainkan sudah dipegang “tim penyelamat” dadakan yang terdiri dari 4 orang. Handpohe tersebut sengaja di-silent sehingga tidak akan ketahuan oleh penelepon. Telepon pertama yang masuk terbaca identitasnya, yakni “papi” yang diyakini pengirim kedua gadis itu.
Karena tidak diangkat, telepon kemudian masuk lagi dengan nomor yang berbeda. Saat itu, kedua gadis dan “tim penyelamat” sedang menuju pintu keluar ruang kedatangan, beberapa pria misterius memasang pandangan kepada kedua gadis.
Mereka juga menaruh handphone di telinganya sambil matanya awas pada setiap penumpang yang menuju pintu keluar. Pada saat yang bersamaan, handphone yang diberikan kepada kedua gadis dan dipegang oleh salah satu di antara kami juga terhubung dengan nomor tak dikenal. Sasana agak tegang karena tidak terlihat satu pun peugas di sekitar lokasi. Seampai di pintu keluar, terlihat seorang petugas sekuriti bandara, namun tidak tidak mau mengambil risiko melapor karena kondisi tidak meyakinkan. Ada yang panic di antara “tim penyelamat”.
Namun, dengan cara tersendiri Malut Post mengisyaratkan agar tidak memperlihatkan kepanikan itu. Maklum, penamplan kami sengaja “dipoles" untuk kelihatan seperti petugas. Akhirnya, skenario penyelamatan yang diputuskan sejak dari ruang pengambilan bagasi, yakni membawa keduanya ke Polresta Bandara Soekarno-Hatta yang akan dipakai. Tetapi, ternyata pihak penjemput yang sudah disiapkan ternyata tidak tinggal diam. Mereka berusaha mendekati kedua “mangsa”. Ketegangan pun terjadi. Bagaimana drama penyelamatan kedua gadis ini selepas dari bandara Soekarno-Hatta? (bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanaman Tepi Jalan yang Tokcer Lawan Kanker
Redaktur : Tim Redaksi