Advokat Negarawan

Oleh: Elias Sumardi Dabur

Jumat, 28 Februari 2020 – 23:10 WIB
Advokat, Elias Sumardi Dabur. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Para advokat yang berkumpul pada Musyawarah Nasional (Munas) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Suara Advokat Indonesia pada 28 Februari - 1 Maret 2020 perlu menoleh pada peringatan Anthonny Kroman, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Yale, Amerika Serikat.

Dalam buku, The Lost Lawyer: Failing Ideals of the Legal Profession (Harvard University Press, 1995), Anthonny Kroman mendedahkan suatu krisis spiritual yang mempengaruhi profesi hukum. Dia menghubungkan hal ini dengan keruntuhan yang dia sebut sebagai keluhuran advokat-negarawan.

BACA JUGA: Tantangan Bagi Advokat Baru

Profesor Kroman menyimpulkan, hampir 200 tahun, aspirasi para advokat Amerika dibentuk oleh ketaatan mereka pada nilai-nilai ideal dari keutamaan professional. Sementara itu, pada generasi belakangan, ideal ini hilang, merongrongrong identitas advokat sebagai komunitas dan membuat kehilangan maknanya bagi mereka yang memilih kehidupan di jalur hukum.

Dia mengemukakan sejumlah alasan yang turut berkontribusi bagi menurunnya martabat kebijaksanaan dan spirit publik dari profesi hukum. Sebagiannya, dipengaruhi kecenderungan para advokat untuk tampil glamour, serba mewah dan dorongan untuk kenikmatan hidup lebih besar daripada karakter dan kebijaksanaan yang telah lama menjadi kebajikkan profesional para advokat. Sebagiannya lagi, disebabkan oleh sederetan kekuatan institusional, termasuk meledaknya jumlah firma hukum dan birokratisasi pengadilan.

BACA JUGA: PERADI SAI Pimpinan Juniver Girsang Gelar Munas III, 4 Kandidat Bakal Bersaing Jadi Ketua Umum

Pergeseran Ideologi

Deprofesionalisasi atau krisis spiritual dalam istilah Kroman, gejalanya sudah mulai tampak pula dalam praktik hukum advokat di tanah air. Kecenderungan ini bisa dibaca dari keprihatinan beberapa advokat senior yang menilai adanya komersialisasi pendidikan advokat (Frans Hendra Winarta),  meledaknya jumlah advokat tanpa disertai dengan tingginya mutu (Luhut Panggaribuan) dan adanya  kecenderungan tumbuhnya industri hukum (Profesor Mahfud Md).

BACA JUGA: Kasum TNI: Jajaran Penerangan TNI Terdepan Dalam Publikasi Kegiatan

Industri hukum itu merujuk pada proses di mana aparat penegak hukum (advokat, polisi, jaksa dan hakim)  mencari-cari kesalahan orang. Sedangkan, orang yang bersalah di atur agar menjadi tidak bersalah.

Krisis jati diri advokat bisa dicermati dari tulisan Agus Raharjo dan Sunarnyo. Dalam artikel di Jurnal Media Hukum dengan judul “Penilaian Profesionalisme Advokat Dalam Penegakkan Hukum Melalui Pengukuran Indikator Kinerja Etisnya” (2014), keduanya menyimpulkan terjadinya pergeseran ideologi yang dilakukan advokat dalam praktik penegakan hukum dari officium nobile menuju ke komersialisasi layanan bantuan dan jasa hukum.

Mereka menilai terjadinya pergeseran ini menyebabkan perubahan perilaku advokat dalam pemberian jasa hukum dengan mengutamakan mereka yang mampu untuk membayar. Materialisasi kehidupan tampak berimbas pada integritas moral dalam penegakan hukum.

Tantangan Eksternal

Elemen lain yang mempengaruhi citra mulia profesi advokat muncul pula dari masyarakat dan sistem peradilan kita. Dalam praktik, publik terutama klien sering menafsirkan secara keliru fungsi advokat yang memperjuangkan hak dan kepentingan klien. Fungsi ini ditafsirkan seolah menjadi suatu kewajiban bagi advokat untuk melakukan apapun yang memungkinkannya memenangkan perkara kliennya.

Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Advokat, yang mengatakan bahwa advokat akan bertindak jujur, adil, bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya.

Selain persepsi yang keliru, tantangan advokat dalam menjalani perannya datang dari unsur penegak hukum lainnya, misalnya hakim. Kewenangan besar hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, ditambah prosedur kerjanya yang diam, tertutup, dan terlindungi, membuat hakim rawan menyalahgunakan kewenangannya. Cela ini memungkinkan terciptanya transaksi perkara. 

Peran Organisasi Profesi

Di tengah lanskap tantangan-tantangan ini, bagaimana PERADI dan organisasi advokat (OA) lainnya terus mendorong bahwa menjadi advokat itu bukan tujuan di dalam dirinya semata, mengemban atribut sebagai advokat saja tidak cukup.

Kontribusi paling penting yang dapat kita berikan sebagai advokat adalah berjuang untuk melestarikan ideal-ideal dari profesi kita, mempromosikan kebebasan, demokrasi, HAM, mengutamakan kebenaran dalam memberi informasi dan mencerahkan masyarakat serta memperjuangkan hak msyarakat untuk menyuarakan kebenaran.

Oleh karena itu, beberapa langkah berikut ini mesti menjadi tugas kepengurusan PERADI ke depan: Pertama, internalisasi profesi sebagai officium nobile, komitmen moral pribadi, tanggung jawab publik dan kode etik mesti ditanamkan secara benar pada saat pendidikan advokat. Kedua, OA menjalankan tugas dan wewenang pengawasan secara sungguh, termasuk pembentukan Dewan Kehormatan profesi di cabang-cabang.

Ketiga, agar OA punya persepsi yang sama terkait kode etik, OA yang saat ini berjumlah kurang lebih sepuluh asosiasi mesti sepakat berpegang pada Kode Etik Advokat Indonesia yang sama.

Keempat, OA harus bisa mendorong kerjasama dengan penegak hukum lainnya dalam upaya untuk menyempurnakan penyelenggaraan sistem peradilan (the administration of justice).

Langkah-langkah ini, mudah-mudahan, mampu membimbing advokat untuk tampil sebagai advokat negarawan, advokat yang mengedepankan kualitas karakter, kebijaksanaan di atas kompetensi teknis dan mendorong lahirnya advokat dengan devosi spirit publik hukum yang kuat.(***)

Penulis adalah Advokat


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler