jpnn.com, JAKARTA - Advokat Zuhesti Prihadini menuntut keadilan setelah dirinya terlibat dugaan tindak pidana. Dia menjalani jeratan pidana lantaran diduga mendapatkan perintah dari atasannya langsung.
Zuhesti dianggap melanggar tindak pidana hingga berujung bui selama enam bulan. Namun hukumannya itu sudah dijalani dan kini Zuhesti sudah bebas murni sejak April 2024.
BACA JUGA: Bela Suswono, Advokat Betawi Sebut Candaan Janda Kaya Tak ada Unsur Penistaan
Kuasa hukum Zuhesti, Hari Wijayanto mengatakan kliennya dijerat pidana seusai mendapat perintah penanggung jawab kantor hukum inisial LL di Jakarta, Philipp Kersting untuk memimpin Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) atau RUPS tandingan. Hal itu dinilai bertentangan melanggar hukum.
BACA JUGA: Peradi Jalin Kerja Sama dengan BINS Untuk Beri Pembekalan ke Advokat
"Bu Hesti dan Philipp ini mewakili Staedtler Noris asal Jerman yang sebagai pemilik mayoritas saham disana namun demikian hal tersebut tidak terjadi karena ada perbedaan pendapat para pemegang saham sehingga akhirnya sebagai penanggung jawab atau partner Luther Indonesia ini saudara Philipp Kersting mengadakan RUPS tandingan," ujar Hari Wijayanto di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (11/11).
Dia menjelaskan pidana yang menjerat kliennya ini lantaran tertulis dalam berita acara rapat tertulis bahwa Zuhesti merupakan sosok pimpinan rapat tandingan tersebut.
BACA JUGA: DPC Peradi Jakbar Konsisten Gelar PKPA Untuk Lahirkan Advokat yang Benar
Singkat cerita, Zuhesti akhirnya diputus bersalah oleh PN Tangerang atas perilakunya bersama Philipp. Namun demikian, pihak perusahaan yang mempekerjakan Hesti tak memerhatikannya setelah dipenjara.
"Rasa ketidakadilan itu mulai terjadi. Kemudian selama Ibu Hesti ada didalam penjara tentunya hal ini sangat mengganggu sangat berdampak terhadap keluarga Bu Hesti, terhadap suami, anak yang belum dewasa yang saat itu masih usia sembilan tahun yang paling tua dan anak nomor dua umur tujuh tahun," kata Hari.
Di sisi lain, Hesti juga mendapatkan PHK dari kantornya itu secara sepihak. Surat PHK Hesti dikirim ke rumah pribadi menggunakan ojek daring.
Hari menyebut rasa tidak adil juga muncul melalui surat PHK itu. Sebab, Hesti dibui karena mengikuti perintah atasannya untuk melakukan RUPS tandingan.
"Jadi, kalau dibilang Ibu Hesti melakukan tindak pidana yaitu karena diperintahkan atasannya. Artinya atasannya mewakili perusahaannya," ucap dia.
Dalam surat PHK-nya tak ada tanggal diterbitkannya, tetapi tertulis Hesti sudah di-PHK sejak 31 Maret 2024.
Hari menyebut atasan Hesti yaknu Phillip justru tak kena PHK. Padahal dia juga mendapatkan hukuman pidana selama satu tahun dalam kasus dugaan yang sama.
"Kami melihat ada sisi lain, sisi lain karena ada gender ketidaksetaraan. Makanya kami pun mengambil inisiatif membuat minta keadilan melalui Komnas Perempuan untuk menjamin apa hak-hak yanh diterima Bu Hesti," kata Hari.
Hari berharap setelah ini, ada iktikad baik dari pihak perusahaan untuk berbicara lebih jauh terkait dengan peristiwa yang dialami Hesti.
Kubu Hesti ini juga sudah mengadu kepada Ombudsman RI. Pengaduan ini meminta agar diberi upaya yang terang demi menuntaskan keadilan untuk Hesti.
"Mengenai upaya-upaya hukum lain, memang ada upaya-upaya lain dalam memperjuangkan keadilan ini ke ombudsman kami sudah jalani," kata Hari. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pergerakan Advokat Dukung Gerakan Cuti Bersama Hakim di Seluruh Indonesia
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga