jpnn.com, JAKARTA - Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan saat ini ada 99 financial technology (fintech) pendanaan yang terdaftar dengan sekitar sembilan juta transaksi dari tiga juta nasabah.
Kebanyakan yang diberi pendanaan berasal dari kelompok pekerja, petani, nelayan, perajin, hingga UMKM.
BACA JUGA: AFPI Sediakan Posko Pengaduan demi Lindungi Nasabah Fintech
Pendanaan online oleh fintech yang terdaftar di OJK pada 2018 mencapai Rp 22 triliun.
Namun, perlindungan bagi para pengguna layanan P2P lending, baik peminjam maupun pemberi pinjaman, masih rendah.
BACA JUGA: Perdana Salurkan Bantuan untuk Korban Tsunami Selat Sunda
’’Jika memang ada pengaduan yang melibatkan anggota asosiasi, kami akan selesaikan. Akan tetapi, pengaduan yang di luar anggota atau perusahaan fintech pendanaan online yang tidak terdaftar seharusnya diselesaikan di Bareskrim atau cyber crime,” ungkap Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko kemarin (4/2).
Jika ditemukan pelanggaran, tindakan akan diberikan kepada anggotanya, mulai peringatan hingga pembekuan.
BACA JUGA: Apresiasi Nasabah, Uang Teman Gelar Untung Kilat Berlipat
AFPI telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) fintech P2P lending.
Beberapa aturan untuk melindungi konsumen, antara lain, larangan mengakses kontak dan penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman.
Dalam kode etik tersebut, AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.
Pusat data fintech juga sedang dikembangkan untuk mengindikasi peminjam nakal.
’’Jika tak lunas dalam 90 hari, utang akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah,’’ kata Sunu. (nis/c7/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Encrypblock Bakal Merevolusi Fintech
Redaktur : Tim Redaksi