jpnn.com, JAKARTA - Pakar otomotif Institut Teknologi Bandung Yannes Martinus Pasaribu memprediksi pasar mobil listrik baterai (BEV), tahun ini di Indonesia akan berkembang signifikan.
Hal itu tidak lepas dari penetrasi merek-merek otomotif baru asal Tiongkok.
BACA JUGA: Pasar Mobil Listrik Premium Diprediksi Akan Lesu Pada 2025
Pendorong agresivitas
“Faktor utama yang mendorong proyeksi ini adalah makin kompetitifnya harga jual yang ditawarkan oleh merek-merek baru China yang bermutu tinggi, desain keren, dan fitur teknologi terbaru, hal yang tidak mungkin dilakukan baik oleh produk Jepang maupun Eropa,” kata dia dihubungi Antara di Jakarta.
BACA JUGA: Hadir di Indonesia, Xpeng Tunjuk ERAL Sebagai APM, 2 Mobil Listrik Disiapkan
Merek-merek Tiongkok tersebut diprediksi akan menguasai segmen entry-level dan menengah, dengan harga lebih bersaing dibandingkan produk Jepang maupun Eropa.
“Segmen terbesar pasar yang ada di Indonesia itu, sebagai catatan, ada di entry level, kisaran Rp150 juta hingga Rp500 jutaan,” Yannes menambahkan.
BACA JUGA: Penjualan Mobil Listrik Diprediksi Akan Ungguli Kendaraan Konvensional Pada 2025
Strategi harga agresif dari pabrikan Tiongkok berpotensi mendisrupsi pasar yang sebelumnya didominasi merek Jepang, termasuk Eropa yang lebih fokus pada segmen premium.
"Model bisnis yang telah mapan dan fokus pada segmen premium menyulitkan mereka untuk bermanuver ke segmen entry-level," jelas Yannes.
Menurut dia, harga jual yang terjangkau akan membuka akses mobil listrik bagi kalangan konsumen yang lebih luas, adopsi yang lebih masif di berbagai lapisan.
Proyeksi harga yang makin kompetitif juga diperkirakan akan memacu penurunan harga rata-rata mobil listrik di Indonesia.
Hal itu tentunya akan menguntungkan konsumen dengan memberikan lebih banyak pilihan dan harga yang kian terjangkau.
Daya Saing Jepang dan Eropa Melemah
Lebih lanjut, Yannes mengungkap, ketidakmampuan pabrikan Jepang dan Eropa bersaing di segmen harga kompetitif disebabkan oleh berbagai faktor.
Di antaranya lemahnya riset dan pengembangan untuk mengikuti tren kendaraan yang diinginkan generasi milenial dan Gen Z.
Selain itu, struktur biaya yang lebih tinggi, seperti upah buruh dan rantai pasokan yang lebih kompleks, turut memperburuk daya saing mereka.
Terlebih lagi, fokus mereka yang terlalu lama menduduki segmen premium membuat mereka kesulitan untuk bermanuver ke pasar entry-level yang lebih besar di Indonesia.
Beberapa pabrikan otomotif Jepang dan Eropa juga menghadapi kesulitan keuangan.
Di sisi lain, produsen Tiongkok yang telah mengakuisisi merek global seperti beberapa di antaranya Volvo (oleh Geely) dan MG, menunjukkan agresivitas dalam memperluas pangsa pasar mereka.
“Jadi, ini merupakan kombinasi kompleks dari faktor ekonomi, strategi bisnis, dan regulasi yang berbeda, serta transformasi besar dalam industri otomotif global yang kini sedang berlangsung cepat,” ujar Yannes.
“Yang tidak siap akan tergulung gelombang perubahan ini,” tambah Yannes.
Sementara itu, para pemain Tiongkok terus memperkuat komitmen mereka dengan membangun pabrik perakitan, pabrik komponen, serta jaringan 3S (Sales, Service, Spare Parts) di Indonesia.
Dengan investasi besar yang terus berlanjut dan strategi harga yang kompetitif, mobil-mobil Tiongkok memiliki potensi besar untuk mendominasi pasar otomotif Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
Namun, menurut Yannes, untuk benar-benar menyamai kedudukan Jepang, konsistensi dalam menjaga kualitas, membangun citra merek yang kuat, dan merespons kebutuhan pasar secara berkelanjutan sangat lah krusial.
“Jika merek-merek besar China tersebut mampu mempertahankan momentum positif ini, bukan tidak mungkin mobil-mobil China akan menjadi pemain dominan dan mengubah peta persaingan otomotif Indonesia dalam beberapa tahun ke depan,” imbuh Yannes. (ant/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SAIC dan Volkswagen Bersiap Merilis 3 Mobil Listrik Baru
Redaktur & Reporter : M. Rasyid Ridha