jpnn.com - PUBLIK tercengang, Letnan Kolonel Inf. TNI Agus Harimurti Yudhoyono, sosok muda dari bidang militer yang moncer tiba-tiba banting setir ingin maju sebagai cagub di Pilkada DKI Jakarta.
Padahal Agus sudah mengantongi banyak penghargaan karena kariernya di militer yang cemerlang. Pria yang genap berusia 35 tahun pada 10 Agustus lalu itu pernah meraih penghargaan Nanyang Outstanding Alumni Award dari almamaternya di Singapura, S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (NTU)
BACA JUGA: Awas! Umbar Kemesraan di Medsos Bisa Dipidana
Itu hanya salah satunya. Saat memungkasi pendidikan di Akmil pada 2000 silam, Agus adalah penerima pedang Tri Sakti Wiratama dan medali Adhi Makayasa, penghargaan yang juga diterima ayahnya saat lulus Akmil pada 1973.
Dalam wawancara dengan JPNN 2013 lalu, Agus menunjukan cintanya yang mendalam untuk militer dan TNI.
BACA JUGA: Mau Tahu Prestasi Agus Yudhoyono Selama di TNI? Simak di Sini...
Kecintaanya pada TNI bahkan sudah terpupuk sejak masih kecil. Namun, semua yang dia sampaikan tentang TNI tersebut pada akhirnya hanya akan jadi kenangan karena Agus sudah siap mundur demi kursi politik. (flo/jpnn)
Bagaimana cerita Agus tentang karier militernya ketika itu? Berikut cuplikan wawancara JPNN dengan suami Annisa Pohan tersebut pada 2013 lalu:
BACA JUGA: Jokowi Tegaskan Tolak Revisi PP 99
Beberapa waktu lalu Anda mendapat penghargaan dari Nanyang Technology University sebagai alumnus yang berprestasi. Pemikiran apa yang ingin anda tularkan sebagai orang muda?
Pertama-tama saya bersyukur. Artinya diapresiasi oleh sebuah universitas yang kebetulan saya juga pernah menjadi mahasiswanya di sana tahun 2005-2006.
Kemudian ternyata tanpa sepengetahuan saya, mereka melakukan semacam nominasi untuk ini. Mereka juga selalu memantau para alumninya di mana pun itu berada. Ada sekitar 180 ribu alumni NTU dan tersebar di 127 negara termasuk di Indonesia, termasuk saya.
Dan dari itu semua mereka melihat. Ternyata apa yang saya lakukan khusus di bidang militer, karena saya perwira di militer, dianggap telah membawa berbagai hal positif. Tidak hanya untuk profesi saya, tidak hanya untuk TNI, tapi juga untuk masyarakat Indonesia dan bahkan di luar Indonesia.
api saya mengatakan kepada mereka (NTU) bahwa saya sebetulnya merepresentasi saja. Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa institusi saya, yang membesarkan saya TNI, tanpa seragam yang saya kenakan.
Dan saya mengatakan bahwa ini representasi dalam arti inilah yang dilakukan TNI terutama TNI AD yang setiap saat berusaha untuk menjadi institusi yang lebih professional, institusi yang lebih berarti untuk masyarakat Indonesia. Dan juga lebih berperan untuk perdamaian dunia. Dan itu semua saya dedikasikan untuk itu.
Kalau tadi ditanya apa yang ingin ditularkan setelah mendapat penghargaan ini, saya berharap dan saya ingin berbagi semangat untuk terus melakukan sesuatu yang positif, sesuatu yang baik. Do the best in anything we do tanpa ada harapan-harapan tertentu untuk bisa diapresiasi, dapat penghargaan.
Tapi sekali lagi saya ingin sebarkan virus positif dalam arti, mari apapun yang kita lakukan, sekecil apapun, bernilai baik tentu akan memiliki bakat tersendiri dan positif di tengah masyarakat kita.
Dan jangan skeptis, “saya bingung mulai dari mana” karena banyak masalah dari luar yang harus dihadapi, tapi always remember kalau kita punya sebuah komitmen, dedikasi untuk berbuat sesuatu itu baik meskipun kecil, nanti pasti ada nilainya.
Apa yang menginspirasi Anda sehingga memilih bidang militer sejak muda?
Saya terus terang ya, terinspirasi oleh apa yang saya lihat. Yaitu tentu ayah saya sendiri, seorang perwira aktif di militer ketika itu yang memiliki rekam jejak yang sangat baik sebagai seorang perwira dan juga capaian-capaian tersendiri yang cukup fenomenal.
Termasuk kakek saya, almarhum Sarwo Edhie Wibowo dan juga keluarga besar saya banyak yang militer, termasuk paman saya Pramono Edhie Wibowo, mereka semua menjadi inspirasi saya. Sejak kecil saya ingin masuk militer sebenarnya, masih SD, karena saya akrab dengan kehidupan militer.
Apalagi karena tinggalnya di barak atau di lingkungan militer begitu, penuh dengan mereka yang selalu menggunakan seragam militer dan saya semakin ingin melanjutkan cita-cita itu. Jadi begitu lulus SMP, saya langsung masuk SMA Taruna Nusantara di Magelang yang juga semi-militer. Pada akhirnya saya menentukan pilihan masuk di akademi militer.
Saya berpendapat semua pekerjaan itu baik dan mulia tapi saya memilih militer. Itu semua lahir dari diri saya sendiri. Tidak ada paksaan, tidak ada keinginan dari luar, dan orangtua mendukung.
Sebagai seorang tokoh muda, apa yang Anda lihat dari persoalan pemuda saat ini?
Sebelumnya ini saya tidak bicara permasalahan, tapi saya melihat apa yang baiknya dulu. Yang baiknya adalah pemuda Indonesia secara umum lebih cerdas saat ini, lebih berwawasan. Kita berterimakasih dengan teknologi yang hadir di tengah-tengah kita dengan luar biasa. Teknologi kan sekarang sudah di genggaman tangan kita. Bahkan bukan hanya di genggaman tangan kita, sekarang juga ada smartwatch, selain smartphone.
Jadi akhirnya orang kalau dulu berpikir dengan memegang satu buku dia bisa ketahui dunia, karena buku adalah jendela dunia, tapi sekarang dengan gadget kita bukan hanya tahu dunia tapi jagat raya. Semuanya bisa kita ingin ketahui hanya dalam waktu hitungan detik dengan teknologi gadget. Jadi seharusnya generasi berikutnya harus semakin cerdas, semakin pintar dalam arti memiliki wawasan yang luas.
Dulu kita mungkin untuk mengetahui ilmu geografi ya harus lihat buku sekolah dulu, oh ternyata di dunia ada sekian ratus negara, benderanya apa saja, lalu kita harus ke perpustakaan. Itu setelah kita belajar dulu. Harus menghabiskan waktu beberapa lama untuk mendapatkan itu. Sekarang ditanya ibukota negara, sekian detik sudah dapat. Langsung dengan demografi, politik dan militer segala macam. Dapat semua.
Jadi kalau generasi muda ke depan tidak lebih pintar, aneh menurut saya. Tetapi yang saya concern, bukan khawatir ya tapi saya ingin kita semua berpikir bahwa jangan sampai kepintaran itu tidak dibarengi sebuah karakter yang kuat.
Karena orang pintar tanpa karakter bisa menjadi monster. Berbahaya. Tapi dengan karakter yang baik meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus digunakan untuk kepentingan yang baik pula.
Dengan bahan yang sama seseorang bisa membuat nuklir untuk senjata pemusnahan massal tapi dengan komposisi yang sedikit berbeda bisa dijadikan tenaga pembangkit listrik. Itu sama bahan dasarnya tapi digunakan oleh aktor yang berbeda otaknya. Satu untuk kebaikan, satu untuk memusnahkan orang. Itu contoh.
Hal lainnya, kita ingin anak muda kita tidak mudah menyerah. Nah kadang-kadang kita makin menjadi generasi yang instan. Maunya serba cepat. Enggak tahan, enggak bisa menunggu sebentar. Contoh kecil kalau Wi-Fi drop saja, aduh..., kita sudah kesal. Itu sekarang menjadi generasi instan. Nah dalam proses perjalanan kita itu butuh step by step. Dalam proses apapun filosofinya sama, tidak ada sesuatu yang berhasil dengan baik jika diselesaikan secara instan. Harus disiapkan, ditempa, di matangkan. Ya itulah filosofi pedang harus ditempa, makin ditempa makin kuat.
Generasi yang instan yang inginnya shortcut, kadang-kadang menjadi generasi yang lemah mentalnya. Dia tidak cukup kuat menghadapi permasalahan ataupun tantangan. Akhirnya the old generation kadang-kadang mengeluh melihat ini. Dulu kita tanpa apa-apa kita siap.
Kita dengan segala keterbatasan kita bisa melawan penjajah. Kenapa anak muda sekarang cengeng? Kenapa sedikit-sedikit mengeluh? Kenapa pesimis? Kenapa selalu melihat selalu negatifnya? Nah ini harus ada striking to the balance, jadi pintar boleh tetapi punya karakter yang kuat.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Simak, Inilah Pesan Koalisi Cikeas untuk Ahok-Djarot
Redaktur : Tim Redaksi