Agus Widjajanto dan Tim Luncurkan Buku Tentang Membangun Karakter Anak Bangsa

Jumat, 31 Mei 2024 – 05:26 WIB
Praktisi Hukum Agus Widjajanto bersama tim penulis meluncurkan buku 'Membangun Karakter Anak Bangsa Melalui Pemahaman Falsafah Leluhur dan Nilai Pancasila' di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2024). Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi Hukum Agus Widjajanto bersama tim penulis Dr Rusdin Tahir, Prof Dr Nandang, Prof Dr Wawan Wahyudin, Prof Dr Sam'un dan Dr Rahman meluncurkan buku 'Membangun Karakter Anak Bangsa Melalui Pemahaman Falsafah Leluhur dan Nilai Pancasila' di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2024).

Peluncuran buku digelar menjelang Peringatan Hari Lahir Pancasila pada setiap 1 Juni di Indonesia.

BACA JUGA: Agus Widjajanto: Sejak Reformasi, Indonesia Kehilangan Petunjuk Menuju Tujuan Bernegara

"Buku ini kami tulis sebagai bentuk keprihatinan yang mendalam sebagai anak bangsa atas kondisi bangsa,” kata Agus dan tim penulis kepada wartawan, Kamis (30/5/2024).

Bentuk keprihatinan dimaksud didasarkan pada kondisi bangsa yang dirasa telah kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa.

BACA JUGA: Petrus Sentil Jokowi saat Peluncuran Buku Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan

Padahal, menurut Agus, jati diri ini adalah ruhnya Indonesia. Namun, tergerus akibat pengaruh budaya dan doktrin asing.

Pengaruh budaya itu salah satunya terjadi karena kemajuan teknologi informasi. Kemajuan yang pada gilirannya membuat tidak ada lagi batas wilayah sebuah negara.

BACA JUGA: Habib Aboe: PII Banyak Membantu Membentuk Karakter Anak Bangsa

Semua orang bisa dengan mudah mengakses informasi tanpa filter melalui gadget. Padahal tidak semuanya benar.

“Informasi yang kadang sulit untuk disaring, tetapi diterima begitu saja. Akibatnya banyak nilai-nilai jati diri bangsa tergerus, juga ajaran luhur bangsa dan nilai-nilai Pancasila," ujar Agus Widjajanto.

Pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah itu mengungkapkan rasa kebangsaan perlahan, tetapi pasti luntur pada generasi muda.

Banyak generasi muda saat ini mulai tidak paham dan meninggalkan budaya sendiri sebagai sebuah bangsa yang sangat minim pengetahuan atas sejarah bangsanya.

Di sisi lain, peralihan kepemimpinan nasional dari Orde Baru ke Orde Reformasi seakan memberikan kesan bahwa semua orang mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya baik dalam mengekpresikan diri maupun mengeluarkan pendapat yang memang telah dijamin oleh konstitusi.

"Namun, banyak juga yang melupakan hakikat dari kebebasan itu sendiri, terutama menyangkut rasa bertanggung jawab dan menghormati hak orang lain yang menjadi ajaran luhur para pendiri bangsa," ujar Agus.

Ajaran yang mengajarkan secara bijak sesuai dengan nilai nilai luhur bangsa ini sebagai bangsa yang besar dan berbudaya tinggi.

Dia menyampaikan fenomena degradasi moral bukan hanya menyangkut budaya, tetapi seluruh aspek kehidupan baik politik, ekonomi, hukum serta sosial.

“Buku ini membuat ajakan agar segenap anak bangsa, di samping mengejar kemajuan dengan hal-hal baru, tetapi juga jangan melupakan etika luhur dan budaya bangsa sendiri agar tercipta keselarasan di semua lini kehidupan,” kata Agus Widjajanto.

Dia mengingatkan bahwa menjaga nilai-nilai luhur bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan seluruh pihak baik kaum pendidik, agamawan, budayawan dan setiap insan sebagai warga negara.

Agus berharap upaya membangun kembali karakter bangsa terus digalakkan agar bangsa ini kembali jati dirinya sesuai warisan leluhur dan para pendiri bangsa serta raja-raja nusantara yang agung di masa lalu.

Agus dalam bukunya menekankan hidup sejatinya adalah memberikan pencerahan kepada sesama sebagai lilin penerang kehidupan (urip kuwi sejatine urup).

Dia mengharapkan semua pihak kembali membumi kepada Ibu Pertiwi dan tidak pernah lupa budaya dan adat istiadat sendiri sebagai bangsa timur.

Tentunya sesuai nilai luhur Pancasila bukan hanya berkedudukan sebagai dasar negara saja, akan tetapi juga sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah mulai dilupakan oleh generasi muda anak bangsa.

Selanjutnya, karena budaya kita adalah paternalistik, semuanya harus dimulai dari para pemimpin yang memberikan suri teladan sekaligus panutan bagi semua anak bangsa.

Terakhir, Agus Widjajanto dan tim penulis mengingatkan kembali atas falsafah kepemimpinan Jawa yang diaktualisasikan pada zaman modern saat ini.

Falsafah yang dahulu diterapkan oleh Raja Raja Agung Nusantara yang memang mempunyai jiwa kepemimpinan agung, jiwa dan wawasan hati yang luas, perilaku yang menjunjung tinggi etika, moral, nilai-nilai agama dan hukum yang disepakati bersama.

"Tiada gading yang tak retak, tetapi setidaknya buku ini sebagai upaya mengembalikan  pemikiran terhadap sesama anak bangsa agar tidak melupakan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya besar. Semoga bermanfaat,” ujar Agus Widjajanto dan tim penulis.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler