jpnn.com, JAKARTA - Ahli hukum acara perdata dari Universitas Nasional Prof. Basuki Rekso Wibowo dan ahli hukum agraria Universitas Indonesia (UI) F.X. Arsin Lukman dihadirkan dalam Sidang Perkara Perdata No : 423/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Bar.
Keduanya menyatakan seharusnya gugatan ditolak karena adanya beberapa cacat formal.
BACA JUGA: Saksi Ahli Singgung Gugatan Perdata Jika Penyidik Gagal Temukan Bukti Korupsi Timah
Dalam perkara itu para penggugat mengklaim sebagai ahli waris dan kuasa dari pemegang hak atas bekas tanah adat berdasarkan girik.
Sementara tanah tersebut telah diterbitkan sertifikat yang sebagiannya sertifikat hak milik atas nama Rosalina Soesilawati Zainal dan telah terdapat putusan inkrah p0erdata dan pidana yang memenangkan Rosalina.
BACA JUGA: Komisi III Ingin Sanksi Penyalahgunaan Senpi oleh Polisi Tak Cuma Etik, tetapi Pidana
Namunm, perkara tanah tersebut masih terus bergulir sampai saat ini seolah tanpa kepastian hukum. Gugatan yang diajukan oleh penggugat terhadap objek perkara tersebut telah berulang kali diajukan, meskipun telah diputus dan dinyatakan inkrah oleh pengadilan, tetapi penggugat tetap mengajukan gugatan dengan dalil yang sama.
Dalam Persidangan dengan agenda mendengar keterangan ahli tersebut, Prof. Basuki Rekso mengatakan pengadilan harus menyatakan tidak dapat menerima gugatan terhadap objek yang sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap.
BACA JUGA: Raih Sertifikat, Young Living Indonesia Jalankan Bisnis MLM Syariah
Endar Sumarsono selaku kuasa hukum dari tergugat mempertanyakan terkait sikap pengadilan seharusnya dalam menghadapi perkara tersebut.
Ahli menerangkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat seharusnya menolak perkara tersebut atas dasar nebis in idem sesuai dengan SEMA Nomor 07 Tahun 2012.
“Harusnya amarnya menolak, kan sudah ada putusan terdahulu, nebis in idem. Hal tersebut sesuai dengan SEMA Nomor 07 Tahun 2012 terkait dengan Rumusan Kamar Perdata Mahkamah Agung Tahun 2012, angka XVII," kata Prof. Basuki Rekso di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Menurut Basuki, orang yang sudah diputuskan tidak memiliki legal standing pada perkara yang sudah diputus sebelumnya sudah tidak bisa lagi menggugat dikemudian hari dengan alasan yang sama.
“Orang yang tidak memiliki legal standing mengajukan perkara yang sudah ditetapkan (diputuskan sebelumnya) sehingga dia tidak berhak lagi (menggugat), haknya untuk menggugat sudah tidak ada karena sudah ada putusan yang menegaskan tadi itu (tidak memiliki legal standing),” kata dia.
Dia menilai apabila majelis hakim hanya menangani perkara yang sama berulang kali tanpa kepastian, maka hal tersebut tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain itu tidak memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan.
“Proses hukum di pengadilan itu ujungnya adalah menjamin kepastian hukum tentunya selain keadilan, selain itu ada asas lain yaitu litis finiri oportet, yang artinya proses perkara itu harus ada ujungnya tidak berjilid-jilid tanpa kepastian hukum yang itu tentu tidak selaras dengan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan,” kata dia
Sementara itu, Ahli Agraria dari Universitas Indonesia (UI), Dr. F.X. Arsin Lukman menyampaikan dalam hukum pertanahan sudah diatur ketentuan batas waktu untuk menggugat.
“PP 24 Tahun 1997 Pasal 32, kurang lebih bahwa bila mana suatu bidang tanah telah terbit suatu hak penguasaan tanah sertifikat, maka ada waktu lima tahun untuk mengajukan klaim atau tuntutan atau gugatan semacam itu,” katanya.
Dengan demikian, lanjut Arsin Lukman, kalau ada 3 sertifikat, yakni terbit sejak tahun 1999, 2011, dan 2013, namun baru digugat pada 2024, itu sudah tidak bisa karena melebihi batas waktu atau kedaluwarsa untuk digugat berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Misalnya sekarang terbit 1999, 5 tahun artinya tahun 2004. Kemudian 2011 tambah 5 (tahun) jadi 2016 dan 2013 tambah 5 (tahun), 2018. Ya kalau baru digugat 2024, ya sudah lebih dari 5 tahun,” ucapnya.
Endar kemudian menanyakan konsekuensi hukum terkait pihak yang tidak melakukan upaya hukum setelah 5 tahun terbitnya sertifikat.
Arsin Lukman menambahkan bahwa apabila pihak yang merasa berhak atas suatu objek tanah tidak menggunakan haknya selama waktu 5 tahun sejak terbitnya sertifikat tanah, maka dianggap melepaskan haknya.
“Bahwa diberi kesempatan 5 tahun bilamana ternyata tidak digunakan si yang merasa mempunyai hak tadi dia bisa ditafsirkan melepaskan haknya untuk menuntut, itu Rechtsverwerking,” pungkasnya. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendikdasmen Belanja Masalah, Seluruh Guru di Indonesia Wajib Tahu, Ada soal Sertifikasi
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan