Ahli i3l Sebut Pemanfaatan Produk Bioteknologi di Indonesia Sangat Rendah

Minggu, 31 Oktober 2021 – 21:00 WIB
Pemanfaatan produk dari bioteknologi di dalam negeri masih sangat rendah. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ahli Bioteknologi dari Indonesia International Institute for Life Sciences (i3l) Mario D. Bani mengatakan pemanfaatan produk dari bioteknologi di dalam negeri masih sangat rendah.

Menurut dia, konsumen Indonesia belum sadar akan potensi tersebut, sehingga permintaan produk bioteknologi juga sangat rendah.

BACA JUGA: MPR Serap Hasil Riset ITB Terkait Bioteknologi dan Pengembangan Industri

"Di Amerika dan Australia sudah memiliki pasar yang besar, sehingga bioteknologi dikembangkan dengan skala besar," beber Mario di Jakarta, Minggu (31/10).

Di sisi lain, lanjut Mario, bioteknologi sangat bermanfaat bagi permasalahan lingkungan.

BACA JUGA: Perusahaan Bioteknologi China Akui Tidak Becus Lakukan Tes COVID-19

Mario menyebut bioteknologi justru menyuguhkan berbagai peluang, dengan dampak positif yang berkesinambungan.

"Bioteknologi mampu jadi solusi jangka panjang," kata dia.

BACA JUGA: Simak, Penjelasan Abdul Razak Tentang Eko Nano Bioteknologi

Mario mencontohkan pada Maret 2016, ilmuan Jepang mempublikasikan penemuan bakteri Ideonella sakaiensis.

Bakteri itu ditemukan di lokasi pengolahan sampah plastik di Osaka.

Ideonella sakaiensis beradaptasi dengan kodisi lingkungan dan mampu mengurai polyethylene terephthalate (PET), salah satu unit kimia yang digunakan dalam memproduksi botol plastik.

"Bayangkan jika ada spesies bakteri lain asli Indonesia bisa ditemukan di lokasi pembuangan sampah seperti Bantar Gebang, Bekasi. Itu adalah salah satu contoh solusi ditawarkan bioteknologi," beber dia.

Selain itu, Mario mengatakan penemuan lain adalah pada Phytomining (phyta: tumbuhan, mining: menambang) adalah salah satu metode dalam bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan tumbuhan untuk mengambil mineral tertentu.

Tanaman itu bisa menyerap kobalt, nikel, dan besi dari perut bumi tanpa perlu membuat lubang besar menganga di tanah.

"Hal ini sudah mulai diteliti secara lebih mendalam oleh ilmuan di Australia," ungkap dia.

Australia memanfaatkan tanaman asli Crotalaria novae-hollandiae, yang telah beradaptasi untuk memanfaatkan kobalt dari dalam tanah. Untuk bisa mendapatkan kobalt murni dari tanaman tersebut, proses ekstraksi dan purifikasi lanjut masih harus dilakukan.

"Bayangkan, jika ada tumbuhan atau mikroorganisme asli Indonesia yang mampu mengekstraksi emas, tembaga, atau nikel dari dalam tanah tanpa perlu membuka lokasi tambang baru," ungkap Mario.

Namun, sayangnya hal itu belum terjadi di Indonesia.

Mario menyebut Indonesia baru memanfaatkan sebagian kecil dari bioteknologi seperti tempe, tape, atau makanan dan minuman terfermentasi lainnya.

"Di dalam tempe, misalnya, terdapat jamur, seperti Rhizopus oligosporus, yang tumbuh di permukaan kacang kedelai dan mengubah struktur, aroma, dan rasa kacang tersebut menjadi tempe," kata Mario. (mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
bioteknologi   Lingkungan   tempe   Ekonomi   i3l   Nikel  

Terpopuler