Ahli Tegaskan Perkara Bioremediasi Ranah UU LH

Selasa, 24 September 2013 – 01:15 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pakar Hukum dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf dihadirkan sebagai saksi ahli  pada persidangan perkara dugaan korupsi bioremidiasi PT Chevron Pasific Indonesia yang membelit terdakwa General Manager Sumatera Light South PT CPI Bachtiar Abdul Fatah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/9).

Asep berpendapat, jika terdapat pelanggaran hukum atas kerusakan atau pencemaran lingkungan, maka pelaku dikenakan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup.

BACA JUGA: Optimistis Besok Ruhut Bisa Dilantik jadi Ketua Komisi III

“Ketika ada pelanggaran lingkungan hidup, misalnya dalam pasal 59 maka penyelesainnya adalah pidana lingkungan hidup dengan UU Nomor 32 tahun 2009, seperti di antaranya juga Pasal 102,” kata Asep.

Menurutnya, untuk bisa menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur dalam UU LH setelah perusahaan itu mempunyai izin untuk mengolah limbah B3, maka pemerintah akan menilai apakah perusahaan tersebut mentaati sejumlah ketentuan sebagaimana diatur UU.

BACA JUGA: Polri Harus Beri Jaminan Keamanan 24 Jam Sehari

"Kalau memang ketaatannya rendah, jauh dari
yang ditentukan UU, maka pemerintah akan meningkatkan pengawasannya untuk memastikan peningkatan tingkat kepatuhannya,” ujarnya.

Namun, ia menambahkan, jika satu perusahaan sudah menjalankan apa yang disyaratkan UU LH dan pemerintah telah melakukan pengawasan, diskusi, pemberian proper, dan lainnya, maka hal itu
menunjukan adanya upaya nyata dalam pengendalian pengelolaan limbah.

BACA JUGA: Kubu Luthfi Tuding Jaksa KPK Ulur Waktu

Dijelaskan Asep, dalam UU nomor 23 tahun 1997 tentang Pencemaran, sulit membuktikan terjadinya pencemaran. Sehingga, lanjutnya, dalam UU Nomor 32 tahun
2009, baru dimasukan standar tentang pencemaran untuk membuktikan bahwa telah terjadinya pencemaran air, tanah, dan udara.

Asep merinci, pencemaran tersebut dirumuskan dalam dua jenis norma, yakni delik formal dan delik materiil.

Bachtiar mengaku bingung atas perkara yang melilitnya hingga bergulir di pengadilan pasca gugatan praperadilan atas sah tidaknya penahanan dan penetapan tersangka terhadapnya dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. “Kami ajukan praperadilan, ada dua poin putusan, penahanan tidak sah dan penetapan status tersangka saya tidak sah,” ungkap Bachtiar.

Setelah putusan itu, ada dua panggilan dari penyidik Kejaksaan Agung, tapi Bachtiar tidak memenuhi kedua panggilan tersebut. “Saya berkonsultasi, tidak ada alasan untuk menghadiri panggilan itu untuk di P21 kan. Keputusan praperadilan menyatakan status tersangka saya sudah gugur. Kita bersurat ke Kejagung untuk menyatakan keberatan untuk dinyatakan P-21 tadi. Saya dipanggil 2 kali dan kami balas juga,” paparnya.

Karena tidak memenuhi panggilan, jaksa menjemput paksa Bachtiar. Bachtiar dibawa ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung dan diminta menandatangani sejumlah surat.

“Waktu itu saya ditekan, saya terpaksa tanda tangan sesuatu meski dengan nota tidak setuju. Saya gak mau tanda tangan. Tapi kata jaksa, ini hanya berita jalan ke PN Jaksel. Saya pikir kalau surat jalan tidak ada masalah. Pada saat P-21-kan saya tidak mau dan akhirnya saya dipaksa mendatangani surat kedua oleh Rudi Hartono dan langsung menunjukan satu surat lagi, surat penahanan dan saya tidak punya pilihan, sehingga saya tanda tangan saja. Tidak ada alasan kenapa saya ditahan, saya sempat nanya,” urainya.

Bachtiar juga mengaku, pasca gugatannya dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penyidik tidak melakukan penyidikan ulang. “Saya tidak pernah diperiksa ulang,” ucapnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saksi Kasus Rudi Hanya Ditanya soal Tupoksi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler