jpnn.com, JAKARTA - Ahli waris perusahaan otomotif besar Indonesia memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh empat Pemohon, yaitu Arsjad Rasjid (Ketua Umum Kadin Indonesia), Said Perdana Bin Abubakar Said (Pemohon II), Indra P Said (Pemohon III), dan Daud Kai Rizal (Pemohon IV).
Selaku Termohon adalah Ery Said, putra tunggal mendiang Eka Rasja Putra Said yang meninggal pada 16 September 2022 dan ibunya almarhum Eka yang semasa hidupnya menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Krama Yudha, merupakan putra pendiri PT Krama Yudha H. Sjarnoebi Said.
BACA JUGA: Majelis Hakim Diminta Tidak Menghukum Ahli Waris PT Krama Yudha
Perkara PKPU tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 7 September 2023 yang diketuai oleh Dewa Ketut Kartana, S.H., M.Hum.
Kuasa Hukum Termohon Damianus Renjaan menilai Putusan tersebut sangat keliru karena para Termohon PKPU belum memperoleh penetapan sebagai ahli waris. Namun, seolah dipaksa untuk bertanggung jawab melakukan pembayaran bonus berdasarkan Akta 78 yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh para Termohon PKPU sebagai ahli waris.
BACA JUGA: Gugatan Kepada Ahli Waris PT Krama Yudha Dinilai Cacat Hukum
Damianus mengaku para termohon akan mengikuti proses hukum yang berlangsung.
“Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Namun, yang menjadi catatan penting kami adalah sampai saat ini belum ada penetapan siapa ahli waris almarhum Pak Eka, sehingga pengadilan niaga seharusnya tidak gegabah menjatukan putusan PKPU terhadap klien kami,” ujar Damianus.
BACA JUGA: Kuasa Hukum Berharap Majelis Hakim Jadi Pengadil yang Profesional
Dia menjabarkan Akta No 78 yang dijadikan dasar permohonan PKPU saat ini sedang digugat keabsahannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena seharusnya akta tersebut tidak berlaku lagi sejak meninggalnya almarhum Sjarnoebi Said.
Dalam Pasal 3 Akta tersebut telah dinyatakan bahwa pemberian bonus tersebut hanya dilakukan sepanjang Alm. Sjarnoebi said masih menjadi pemegang saham mayoritas.
Namun yang bersangkutan telah meninggal dunia sejak tahun 2001, sehingga sejak saat itu beliau bukan lagi menjadi pemegang saham. Hal inilah yang tidak dipertimbangkan Majelis Hakim.
Dalam Akta No. 78 tersebut juga telah dinyatakan bahwa pemberian bonus tersebut tidak wajib dilakukan setiap tahun melainkan hanya diusahakan.
Frasa “diusahakan” membuktikan bahwa tidak ada jatuh tempo pembayaran, namun Majelis Hakim dengan gampangnya memperhitungkan seolah ada tunggakan pembayaran bonus sejak tahun 2002 sampai 2022.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan tentang profesionalitas Majelis Hakim, apalagi perkara ini melibatkan Termohon PKPU sebagai ahli waris dan Warga Negara Asing yang juga berhak atas keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.
Pengamat Kebijakan Publik yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai tren masalah utang piutang yang diselesaikan melalui skema PKPU menunjukkan perlu dilakukan reformasi hukum.
“Ini penting karena terkadang keputusan (hukum) dilandasi oleh kepentingan politik,” katanya.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai PKPU terindikasi dijadikan modus kejahatan untuk merebut perusahaan.
“Banyak kasus PKPU besar kemungkinan terjadi karena ada permainan di lembaga peradilan,” ujar Defiyan Cori.
Di sistem peradilan niaga, lanjut dia, saat ini cenderung dimanfaatkan pihak-pihak bermasalah dengan hukum.
"Kongkalikong di lembaga peradilan. Sehingga ada indikasi terdapat oknun-oknum memperdagangkan PKPU di peradilan," katanya.
Sebab, dalam penyelesaian PKPU, negara harus melihat secara komprehensif. Peradilan niaga perlu diawasi.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari