Ahmad Basarah Ungkap Alasan Perlunya Pemindahan Ibu Kota Negara Dipagari PPHN

Minggu, 29 Agustus 2021 – 20:10 WIB
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah. Foto: Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyampaikan, payung hukum yang lebih kokoh sangat diperlukan untuk menjamin rencana pemindahan ibukota negara tetap berkelanjutan.

Untuk itu, dia pun merespon positif rencana Presiden Joko Widodo menyerahkan surat presiden (Surpres) terkait RUU Ibu Kota Negara kepada DPR.

BACA JUGA: Pemerintah Diingatkan Soal Ibu Kota Negara yang Baru, Penting!

Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu beharap, gagasan besar tersebut mendapat dukungan partai politik dan semua elemen masyarakat demi kebaikan bangsa.

“Gagasan besar Presiden Jokowi ini harus dijadikan contoh. Untuk memastikan kesinambungan rencana pembangunan ibu kota negara baru itu, bangsa kita sangat membutuhkan payung hukum yang lebih kokoh," jelas Ahmad Basarah saat dihubungi, Minggu (29/08).

BACA JUGA: Bamsoet Dorong Pelaku Usaha Korea Bantu Pembangunan Ibu Kota Negara di Kaltim

Payung hukum yang lebih kokoh dimaksud itu adalah hadirnya ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN.

Menurut Ahmad Basarah, tanpa PPHN tidak akan menjamin presiden terpilih pada Pemilu 2024 benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan ibu kota negara.

BACA JUGA: Ahmad Basarah: Tidak Ada Agenda MPR Memperpanjang Masa Jabatan Presiden

"Mengingat UUD 1945 dan UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak memberi sanksi apapun kepada presiden berikutnya atas tidak dilanjutkannya sebuah program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh presiden sebelumnya," ungkapnya.

Dia mengatakan, dukungan partai dan seluruh masyarakat atas rencana pemindahan ibu kota negara itu idealnya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR melakukan amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN.

Amandemen terbatas ini, kata Ahmad Basarah, hanya ingin memasukkan satu ayat pada pasal 3 yang intinya memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN atau GBHN.

Selain itu, amandemen terbatas juga akan menambah ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden jika bertentangan dengan PPHN.

Ahmad Basrah sangat berharap niat MPR melakukan amandemen terbatas ini tidak dicurigai punya motif apapun. Apalagi dicurigai ingin mengubah konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode.

"Tidak sama sekali. Presiden boleh berganti, tapi rencana pembangunan jangka panjang nasional harus terus berkesinambungan dan dipagari oleh konstitusi," tegasnya.

Ketua DPP PDI Perjuangan ini menyampaikan pandangan dan harapannya tersebut pada forum Stadium General Kongres II Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA-KAMMI) di Jakarta, Sabtu (28/8).

Dia menegaskan jangkar pembangunan Indonesia modern sudah seharusnya dikembalikan kepada cita-cita luhur pendiri bangsa yang menghendaki pembangunan nasional didasarkan atas pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana (PNSB) atau Garis-garis besar daripada haluan negara.

"Bung Karno di era Orde Dasar dulu pernah melaksanakan PNSB dan GBHN. Kemudian pada era Orde Baru, Pak Harto melanjutkannya dengan terminologi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)," ungkapnya.

Namun pasca reformasi, kata Ahmad Basarah, MPR melucuti sendiri kewenangannya untuk membuat dan menetapkan konsep pembangunan jangka panjang nasional ini.

"Maka sekarang saatnya kita kembali pada PPHN," tandas Doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang itu.

Jika negeri ini memiliki PPHN, lanjut Ahmad Basarah, seluruh rakyat indonesia lewat wakil-wakil mereka akan leluasa memastikan presiden terpilih untuk melaksanakan road map dan blue print pembangunan nasional melalui PPHN.

Melalui PPHN itulah presiden terpilih menjabarkan program pembangunan lima tahunnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang telah disusun dan dijabarkan langsung sejak pembentukan visi, misi dan program calon presiden yang akan ikut pemilu presiden.

Ahmad Basarah mencontohkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membuat Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda, namun proyek tersebut dibatalkan dan badan ini dibubarkan oleh Presiden Jokowi.

Ada 17 lembaga lain yang dibubarkan berdasarkan Perpres 82/2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

"Mengapa Presiden Jokowi bisa menghentikan apa yang sudah direncanakan dan dilaksanakan presiden sebelumnya, itu karena UU SPPN tidak mengatur hal itu apalagi memberi sanksi," bebernya.

Dia tidak ingin tanpa PPHN, presiden terpilih di tahun 2024 melakukan tindakan yang sama.

Rakyat akan merugi karena triliunan anggaran untuk program pembangunan Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan Timur itu bisa saja mangkrak seperti rencana pembangunan infrastruktur Selat Sunda maupun pembangunan Wisma Atlet di Bogor.

"Arah pembangunan nasional kita akan seperti tari Poco-poco, maju selangkah mundur dua langkah, dan seterusnya," pungkas Ahmad Basarah. (mar1/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler