Ahmad Syafiq: Covid-19 Juga Mengancam Penderita Stunting

Kamis, 23 April 2020 – 23:28 WIB
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Ahmad Syafiq. Foto: FKM UI

jpnn.com, JAKARTA - Covid-19 tidak hanya mengancam orang-orang yang masuk ke dalam kelompok risiko tinggi, tetapi juga anak-anak yang menderita stunting.

Hal ini diungkapkan Ahli Analisis dan Kebijakan Kesehatan dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Ahmad Syafiq dalam diskusi daring yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) pada Rabu (22/4).

BACA JUGA: PHK Sepihak Tenaga Stunting oleh Setwapres, Nih Faktanya

“Sebelum ada Covid-19, semua bicara stunting, tetapi sekarang tidak ada yang mengawal. Jangan sampai anak-anak yang tidak berisiko tinggi jadi kena Covid-19 karena stunting,” ungkap Syafiq.

Dia menjelaskan hal ini terjadi karena gizi juga berkaitan dengan imunitas tubuh. Untuk itu, Syafiq mengingatkan program gizi dan kesehatan untuk masyarakat rawan (vulnerable), khususnya terkait 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Program Percepatan Penanganan Stunting perlu dijaga.

BACA JUGA: Peduli Stunting, FWPJ Gelar Turnamen Golf Hari Gizi Nasional

Menurutnya, aspek gizi diharapkan masuk dalam pemodelan penanganan Covid-19 karena kekebalan tubuh sangat berkaitan dengan risiko terpapar Covid-19.

Syafiq menilai pemodelan skenario penangangan Covid-19 yang disusun oleh Tim Peneliti FKM UI sudah sangat komprehensif dan membantu, termasuk usulan FKM UI untuk melarang mudik.

BACA JUGA: Siapa Pasien Pertama Virus Corona yang Telah Mengubah Hidup Kita

Namun, Syafiq juga mengingatkan dinamika Covid-19 yang membuat adanya keterbatasan variabel yang masuk dalam pemodelan.

”Program gizi ibu hamil dan laktasi juga harus dikawal. Growth monitoring, penimbangan, dan suplementasi anak masih jalan atau tidak. Kalau jalan, ada tidak peraturannya, dan yang jelas tetap memperhatikan keamanan di situasi Covid saat ini,” jelas Syafiq.

Lebih lanjut, Syafiq juga menekankan agar pemerintah mempercepat kebijakan-kebijakan terkait penanganan Covid-19. Setidaknya ada empat tipe kebijakan yang diambil pemerintah yakni kebijakan distributif, regulatory, pengaturan diri, dan redistributif.

Pada tataran kebijakan distributif, pemerintah dinilai telah berusaha mengupayakan ketersediaan layanan untuk masyarakat, walau dengan berbagai keterbatasan yang ada. Meskipun begitu, adanya kritik soal rumah sakit rujukan juga dipandang sebagai suatu hal yang wajar.

Menurut Syafiq, seharusnya sudah tersedia rumah sakit khusus Covid-19 di seluruh wilayah. Sedangkan, dari segi regulatory, Syafiq menganggap pemerintah sudah mengupayakan pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, kebijakan PSBB dinilai masih belum efektif untuk saat ini, terbukti dengan mobilitas masyarakat yang masih cukup tinggi.

“Kebijakan pengaturan diri kurang masif informasinya. Pentingnya menjaga jarak, PSBB, menjaga agar tidak tertularkan dan menularkan juga masih kurang masif disosialisasikan kepada masyarakat,” ujarnya.

Dia juga menyatakan diperlukan petunjuk pelaksanaan (juklak) PSBB tingkat nasional.

Hal senada diungkapkan oleh Dosen FKM UI dan Tim Peneliti FKM UI – Bappenas untuk Pemodelan Skenario Covid-19 di Indonesia dr. Pandu Riono.

Pandu mendorong agar PSBB menjadi kebijakan nasional, bukan hanya diterapkan per wilayah. Hal ini berkaitan dengan pentingnya intervensi tingkat tinggi untuk dapat melandaikan kurva persebaran Covid-19.

Berdasarkan Covid-19 Modelling Scenarios Indonesia yang disusun Tim Peneliti FKM UI, ada tiga jenis intervensi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menangani Covid-19. Intervensi tinggi seperti melakukan tes massal cakupan tinggi dan mewajibkan pembatasan sosial berskala besar, diperkirakan mampu menekan angka persebaran Covid-19, dengan puncaknya diprediksi pada akhir Mei.

Dalam model tersebut juga terungkap prediksi setidaknya 2.4 juta kasus Covid-19 terancam memerlukan perawatan Rumah Sakit (pneumonia, perawatan kritis dan risiko tinggi kematian) jika tidak adanya intervensi dari pemerintah.

Pandu menyatakan kebijakan birokrasi perizinan PSBB yang dilakukan saat ini seharusnya ditiadakan. Ia menilai belum ada intervensi yang benar-benar serius. Pandu juga mengingatkan bahwa pemerintah harus memberi target terkait penanganan Covid-19.

“PSBB seharusnya asumsinya nasional, bukan lokal. Kenapa harus izin ke Kemenkes, seharusnya langsung nasional. Kemenkes itu memonitoring, mengevaluasi, dan memberi bantuan teknis,” tukas Pandu.

Ia pun menekankan pentingnya intervensi yang terukur dan dimonitoring serta target yang jelas dari pemerintah untuk penangangan Covid-19.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Policy Center ILUNI UI Mohammad Jibriel Avessina menyatakan bahwa saat ini timnya sedang menggodok policy paper. Tulisan ini merupakan hasil dari diskusi seputar Covid-19 yang telah dilakukan sejak awal Maret lalu, meliputi berbagai aspek mulai dari kesehatan, ekonomi, sosial, dan hukum.

“Tim Policy Center ILUNI UI akan menjadikan hasil diskusi ini dan masukan dari FKM UI sebagai bahan untuk policy paper yang akan kami ajukan kepada pemerintah,” kata Jibriel.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler