jpnn.com, JAKARTA - Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), dikabarkan melakukan pemecatan sepihak kepada sejumlah tenaga ahli pada Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) Stunting.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut dinilai cacat hukum, karena melanggar UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan.
BACA JUGA: Di Provinsi Ini Sudah 18 Perusahaan Melakukan PHK akibat Corona
Tudingan itu disampaikan Kuasa Hukum Tenaga Ahli Stunting, Ridho SH pada 30 Maret 2020 lalu. Dalam keterangan tertulis, menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Setwapres sangat tidak manusiawi. Apalagi, pemecatan tersebut dilakukan saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19.
"Ini lembaga negara, pemerintah. Masa justru mencontohkan hal yang tidak baik kepada publik. Apalagi alasan pemecatan yang dilakukan terkesan mengada-ngada dan tidak sesuai prosedur ketenagakerjaan," ungkap Ridho di Jakarta, Senin.
BACA JUGA: Kalau Ada Perusahaan PHK Karyawan, Sungguh Terlalu!
Ridho menjelaskan, alasan Setwapres melakukan pemecatan terhadap enam orang tenaga ahli stunting karena mereka dianggap memiliki kinerja buruk. Namun, lanjut Ridho, saat ditanya seperti apa proses evaluasi kinerja tersebut, Setwapres tidak mampu menunjukkannya.
Lazimnya, jika seorang pekerja dinilai berbuat kesalahan atau dianggap memiliki kinerja yang buruk maka pemberi kerja wajib melayangkan surat peringatan (SP) kepada pekerja tersebut dengan tenggat waktu tertentu untuk melakukan evaluasi dan perbaikan.
BACA JUGA: Peduli Stunting, FWPJ Gelar Turnamen Golf Hari Gizi Nasional
Namun hal ini tidak pernah diterima kliennya, baik SP 1, 2 , maupun 3. Mereka tiba-tiba dipanggil satu persatu oleh juru bayar yaitu PT LPPSLH, dan langsung dipecat begitu saja. Padahal mereka dikontrak selama 30 bulan, dan baru akan berakhir tahun 2021 mendatang.
Ridho menerangkan, status para tenaga ahli stunting seperti tertera dalam kontrak kerja adalah sebagai karyawan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Artinya, kata dia, sudah seharusnya seluruh tenaga ahli tersebut menyelesaikan pekerjaannya sampai dengan jangka waktu berakhir kontrak.
Akibat kejadian tersebut, kata Ridho, para tenaga ahli stunting korban pemecatan mengalami tekanan psikologis yang hebat. Apalagi, ditengah situasi darurat bencana non alam Covid-19 ini.
"Mereka punya anak, istri, punya keluarga, dan rata-rata merupakan tulang punggung keluarga. Apa ini bisa disebut manusiawi? Setahu saya, sampai hari ini belum ada satu pun dari mereka yang mendapatkan pekerjaan," ungkap Ridho.
Atas masalah ini, pihaknya telah melakukan upaya perundingan dengan Setwapres yang diwakili oleh PT LPPSLH, tetapi tidak ada titik temu.
Rencananya, perkara akan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) agar para korban memperoleh keadilan.
"Kami menuntut ganti rugi atas kerugian materil akibat PHK sepihak ini senilai Rp3,5 miliar," tandasnya.
Klarifikasi Setwapres
Pada hari ini, Jumat (3/4), Plt Deputi Bidang Pembanguan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres Abdul Muis, memberikan klarifikasi atas tudingan yang disampaikan kuasa hukum Tenaga Ahli Stunting Setwapres korban PHK, Ridho SH.
Dalam klarifikasi mengacu siaran persnya, Abdul Muis menegaskan bahwa tenaga ahli tersebut bukanlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Sekretariat Wakil Presiden.
Para tenaga ahli tersebut direkrut oleh pihak donor dalam rangka pelaksanaan program hibah yang diterima Pemerintah Indonesia untuk penyelenggaraan program percepatan pencegahan stunting pada tahun 2019 melalui PT. LPPLSH.
"Tugas tenaga ahli sesuai kontrak kinerjanya adalah membantu dalam menyusun program serta kegiatan penting terkait lainnya," kata Abdul Muis.
Menurutnya, Setwapres adalah koordinator program nasional pencegahan stunting, yang merupakan prioritas pemerintah. Bersama pihak donor, Setwapres membuat standar kinerja tenaga ahli sesuai kebutuhan dan target capaian program pencegahan stunting yang telah ditetapkan.
"Untuk itulah diperlukan adanya tenaga ahli yang sesuai kinerjanya diberikan remunerasi yang sangat baik, di atas rata-rata gaji ASN," lanjut Muis.
Salah satu target kinerja yang dipersyaratkan adalah kemampuan tenaga ahli untuk menyusun konsep program yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, ketidakmampuan dalam menyusun konsep program mengakibatkan output tugas tidak tercapai.
Selain itu, kemampuan untuk bekerja sama dengan semua pihak serta kepatutan berperilaku dalam melaksanakan tugas juga menjadi bagian dari penilaian.
"Berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, pemberitaan yang disampaikan oleh kuasa hukum para mantan tenaga ahli tersebut tidak tepat dan sangat sepihak. Hal ini dapat merugikan nama baik Setwapres dan menunjukkan tidak adanya itikad baik. Setwapres akan mengikuti proses penyelesaian masalah ini sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam