Ajukan PK, Ini Bukti Baru Mantan Jaksa Urip

Kamis, 18 September 2014 – 14:17 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Mantan Jaksa Urip Tri Gunawan yang merupakan terpidana perkara suap dan pemerasan terkait pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengajukan ‎peninjauan kembali (PK) terkait kasus yang menjeratnya. Persidangan PK itu mulai digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/9).

Dalam persidangan yang dimulai pukul 10.30 WIB, Urip membacakan sendiri nota permohonan peninjauan kembali dihadapan Ketua Majelis Hakim Supriyono dan dua hakim anggota Casmaya dan Muhlis.

BACA JUGA: KPK Diminta Bongkar Keterlibatan Bendum Golkar di Kasus e-KTP

Dalam novum yang dibacakannya, Urip menyinggung mengenai penyelidikan BLBI yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia mengatakan bahwa obyek penyelidikan ataupun supervisi yang dilakukan empat tim yang dibentuk KPK pada tahun 2008 sama dengan obyek penyelidikan yang telah dilakukan tim Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI.

Dalam rekomendasinya, sambung Urip, tim yang dibentuk KPK tidak menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan perkara kasus BLBI dalam tingkat penyidikan. Hingga kini tim penyelidik KPK tidak pernah menyatakan penyelidikan yang dilakukan Kejagung ditemukan bukti penyimpang sehingga perkara kasus BLBI ditingkatkan ke penyidikan dengan menetapkan tersangka.

BACA JUGA: Waduh...Belum Daftar CPNS tapi Teregister di Pemkot Palu

Berdasarkan bukti baru itu, Urip mengungkapkan terdapat cukup alasan yuridis bahwa dirinya sebagai jaksa penyelidik BLBI telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai jabatannya. Karena itu, putusan bahwa dirinya dijatuhi hukuman terkait melawan hukum tidak bisa dikenakan kepadanya.

"Pemohon PK/terpidana dijatuhi hukuman melanggar pasal 12 huruf b dan e Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan adanya sifat melawan hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban pada pasal tersebut, selama ini terbukti hanyalah berdasarkan asumsi bukan fakta. Oleh karena itu putusan Mahkamah Agung RI Nomor 243 K/PID.SUS/2009 tanggal 11 Maret 2009 harus dibatalkan," kata Urip dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/9).

BACA JUGA: Jokowi Diminta Akomodasi Aktivis Masuk Kabinet

Selanjutnya, sambung Urip, pada amar Putusan MA atas dirinya tidak mencantumkan kalimat perintah supaya ditahan atau dibebaskan. Sehingga putusannya tidak dapat dieksekusi atau batal demi hukum.  "Harus dinyatakan eksekusi tidak sah dan terpidana harus dikeluarkan dari yahanan demi hukum," ujarnya.

Dalam bukti berikutnya, Urip menyebut penuntut umum padak KPK tidak memiliki kewenangan eksekutorial. Menurut dia, kewenangan yang diberikan undang-undang kepada pegawai KPK selaku penuntut umum tidak termasuk mengatur tentang kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (eksekusi).

"Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetap menjadi kewenangan pada Kejaksaan RI berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI," ucap Urip.

Urip menyebut eksekusi yang dilakukan oleh penuntut umum KPK tidak sah. Ia mencontohkan hal ini lewat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain dengan terpidana mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Dalam kasus itu, majelis hakim menyatakan Antasari selaku pimpinan KPK secara kepegawaian tidak lagi terikat dengan jabatan atau profesi sebelum menjadi anggota KPK. Sehingga meskipun Antasari masih berstatus jaksa aktif pada saat kasus terjadi‎ maka tidak diperlukan ijin Jaksa Agung untuk melakukan tindakan hukum disetiap tahap pemeriksaan.

Berdasarkan hal itu, Urip mengatakan Jaksa pada Kejagung RI yang diperbantukan menjadi pegawai KPK sebagai penuntut umum tidak memiliki kewenangan sebagai eksekutor terkait putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sehingga berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap selama ini yang dilakukan penuntut umum KPK tidak sah. "Akibatnya eksekusi tersebut batal demi hukum," ucapnya.

Dalam novumnya, Urip membandingkan putusannya dengan perbuatan Artalita Suryani. Ia menyatakan dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, Artalita terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primair Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pertimbangannya, Artalita disebut sebagai pelaku aktif.

Menurut Urip, putusan tersebut bertentangan dengan putusannya yang disebut sebagai pelaku aktif. "Seharusnya pemohon PK Urip Tri Gunawan lebih tepat sebagai pelaku pasif, penerapan hukumnya bukan Pasal 12 huruf b dan e, melainkan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun," tuturnya.

Urip menyebut dalam perkaranya, terjadi kekeliruan dalam menerapkan hukum acara pembuktian dalam persidangan menyangkut keterangan saksi-saksi. Misalnya saja keterangan Reno Iskandarsyah sebagai satu-satunya saksi tanpa didukung keterangan saksi maupun alat bukti yang lain.

Keterangan Reno, lanjut Urip, dijadikan sebagai dasar pembuktian unsur-unsur dakwaan melanggar Pasal 12 huruf (e) yang didakwakan kepadanya. Menurutnya hal ini tidak bisa ditermina secara yuridis.

Fakta hukum lainnya yang sangat ironis, kata Urip, menyangkut kesaksian Sugeng Basuki yang mengaku sebagai penyidik KPK. Urip menyebut keterangan Sugeng itu mengandung unsur kebohongan. Sebab pada tanggal 13 Februari 2008 yang bersangkutan justru belum bekerja di KPK.

Dikatakan Urip, akibat sumpah palsu itu penyidik KPK lainnya Joni Isparianto mencabut berita acara pemeriksaan. BAP yang dicabut diakuinya, berisi tentang pengakuan saksi yang merekam video terkait keberadaannya dengan Reno.

"Kekeliruan ini tampak semakin nyata di mana jaksa penuntut umum memformulasikan tuntutan pidana terbukti pada Pasal 12 huruf b (penyuapan) sedangkan majelis hakim memutus terbukti pada Pasal 12 huruf e (pemerasan),"‎ ucap Urip.

Sebagai penutup, Urip menyatakan hukuman yang dijatuhkan kepadanya terlalu berat. Dari tuntutan 15 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair enam bulan kurungan diputuskan menjadi‎ pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair delapan bulan kurungan.

"Terhadap pidana penjara yang dijatuhkan terdapat ketimpangan yang menyolok dibandingkan pelaku tindak pidana korupsi yang lain, demikian pula denda yang diputuskan sangat berat tidak mampu kami bayar," tandasnya.

Sebelumnya, majelis hakim pengadilan tingkat pertama dan tinggi menjatuhkan hukuman maksimal selama 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider satu tahun kurungan kepada Urip. Urip terbukti memeras Artalyta yang merupakan orang kepercayaan obligor BLBI, Sjamsul Nursalim sebesar USD 660 ribu.

Kasasi yang diajukan oleh Urip juga kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, Urip tetap dipenjara selama 20 tahun.‎ (gil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Publik Salahkan SBY Jika Kepala Daerah Dipilih DPRD


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler