Akademisi Mengkritisi UU PSDN dan Komcad, Ada Kata Membahayakan

Jumat, 03 Juni 2022 – 07:40 WIB
Diskusi membahas UU PSDN dan Komcad yang diadakan kerja sama Prodi HI FISIP UIN Jakarta dan IMPARSIAL di Jakarta, Kamis (2/6). Foto: source for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Faisal Nurdin Idris mengkritisi UU  Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara.

Dia menilai argumentasi yang dibuat dalam naskah akademik UU PSDN yang salah satunya mengatur pembentukan Komponen Cadangan (Komcad), terlalu dipaksakan.

BACA JUGA: Pakar Kritik UU PSDN dan Minta Anggaran Difokuskan Untuk Modernisasi Alutsista

"Dengan definisi ancaman seperti yang disebut dalam UU PSDN ini, maka spill-over penggunaan Komcad menjadi sangat luas dan berbahaya. Pemerintah harus mendengarkan masukan dari masyarakat sipil secara luas," ujar Faisal dalam keterangan pers pada Kamis (2/6).

Pendapat itu disampaikan Kaprodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta itu dalam diskusi Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi", kerja sama Prodi HI FISIP UIN Jakarta dan IMPARSIAL, di Aula Madya, Kampus UIN Ciputat Jakarta  (2/6).

BACA JUGA: Sembari Menunggu SK PPPK, Honorer Daerah Ini Tetap Digaji, Alhamdulillah

Faisal juga memandang ada banyak dampak negatif yang berpotensi muncul dari penerapan UU PSDN yang dinilai minim penghormatan terhadap hak-hak individu.

Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa menjamin hak-hak privasi warga negara, termasuk menghormati hak untuk menolak dimobilisasi untuk perang atau operasi tertentu atas dasar keyakinan atau kepercayaan mereka (conscientious objention).

BACA JUGA: Wali Kota Bandar Lampung Tak Berniat Mempersulit SK PPPK Guru, tetapi

Sementara itu, Fery Kusuma selaku pegiat HAM menilai di dalam negara hukum demokratis, sebuah UU mensyaratkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sedangkan UU PSDN menurutnya tidak punya atau tidak melindungi hak asasi manusia.

Peneliti Centra Initiative itu bahkan menilai banyak ketentuan atau jaminan HAM dalam UUD yang dilanggar oleh UU PSDN. Terlebih lagi, sejarah masa lalu mencatat pernah ada Pam Swakarsa atau para milisi di berbagai daerah, salah satunya di Papua.

"Artinya, pembentukan Komponen Cadangan juga berpotensi kembali membentuk para milisi seperti yang terjadi di masa lalu, untuk berhadapan dengan mahasiswa atau masyarakat kita sendiri," ucap Fery.

Pada kesempatan yang sama, Junaidi Simun selaku peneliti CSRC UIN Jakarta menilai pengaturan dimensi ancaman di dalam UU PSDN terlalu luas, sehingga tidak fokus dan cenderung multitafsir.

Lalu, anggaran yang dialokasikan untuk pembentukan Komcad juga sangat besar, sekitar Rp 1 triliun per tahun. Dana itu menurut dia sebaiknya untuk kepentingan memajukan ekonomi, pendidikan dll.

"Dalam proses pembahasan UU PSDN ini juga sangat minim partisipasi publik, saya tidak mendengar civitas akademika di UIN ini diundang atau terlibat dalam pembahasan UU PSDN ini," ujarnya.

Kekhawatiran juga disampaikan peneliti Senior Imparsial Al Araf yang menilai proses pembentukan UU tersebut sangat minim partisipasi publik sehingga UU PSDN dipandang cacat formil.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu mengatakan dimensi dan kategori ancaman ancaman dalam UU PSDN juga terlalu luas, sehingga berpotensi digunakan untuk kepentingan politik tertentu.

"Kita ingat dahulu pemerintah menggunakan warga sipil untuk menghadapi kelompok sipil lain, seperti yang terjadi di Timor Leste. Komponen Cadangan juga berpotensi disalahgunakan sebagaimana yang terjadi di Timor Leste," kata Al Araf.

Dia lantas menyinggung keberadaan Pam Swakarsa yang pada 1998 dibuat untuk menghadapi para aktivis demokrasi. Serupa dengan itu, dia menilai Komcad berpotensi menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat karena ancaman yang luas.

Al Araf menyebut bila alasannya untuk memperkuat pertahanan nasional, maka yang utama perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat TNI yang jelas-jelas dibentuk untuk menghadapi perang. Terlebih lagi sekitar 50 persen alutsista TNI tidak layak pakai.

Menurut dia, seharusnya anggaran tersebut dapat difokuskan untuk memperkuat alutsista TNI, melatih dan mendidik prajurit TNI agar lebih profesional.

"Yang tidak kalah penting menyejahterakan prajurit TNI , bukan malah menghabiskan uang dengan membentuk komponen cadangan," tutur Al Araf. (rls/fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler