jpnn.com, JAKARTA - Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Silatnas Apdesi) 29 Maret lalu diwarnai dengan adanya deklarasi dukungan perpanjangan jabatan presiden tiga periode dari para kepala desa.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Baharudin Thahir menilai dukungan tersebut tidak dalam konteks acara silatnas tersebut.
BACA JUGA: Jokowi Melarang Menteri Bicara 3 Periode, Bagaimana Rencana Deklarasi APDESI?
Menurut dia, kepala desa yang menjadi instrumen pemerintahan, memiliki otonomi, dan bagian dari kekuasaan memberi kesan ikut campur dalam politik praktis.
"Menariknya adalah ada yang mengatakan ini tidak salah, begitu. Ini benar saja dilakukan karena tidak diatur dalam hukum. Tidak ada satu pun aturan yang melarang mereka ikut dalam kegiatan seperti itu," kata Bahar, Sabtu (9/4).
BACA JUGA: Penjelasan Mendagri Tito Terkait Isu Jokowi 3 Periode di Silatnas APDESI
Fenomena itu dinilai menjadikan kepala desa sebagai alat atau bagian dari politik.
Bukan hanya kali itu, lanjut Bahar, ketika pilkada gubernur dan bupati, kepala desa juga dimanfaatkan untuk tujuan politik.
BACA JUGA: Junimart Minta APDESI Ditegur, Mendagri Tito Menolak, Begini Alasannya
Menurutnya, dalam segi etika ada pemanfaatan ruang-ruang kosong oleh politik praktis di tingkat desa dan itu tidak diatur dalam regulasi.
"Ketika bypass dari pusat ke desa tentang sehubungan seperti itu walaupun dalam konteks organisasi, apakah itu dibenarkan?" ujar Bahar.
Guru Besar Universitas Terbuka Hanif Nurcholis menjelaskan desa hanya sebuah komunitas kecil pada awalnya dan kepala desa merujuk pada pembantu penguasa pusat.
Teori administrasi negara primitif menunjukkan negara sebagai personifikasi dewa, loyalitas bawahan kepada atasan melalui suap, serta tujuan negara yaitu keagungan raja dan keluarganya dengan upacara dan simbol kebesaran.
"Pemerintah itu penguasanya, kepala desa itu kaki tangan penguasa ditambah dengan kepala badan hukum komunitas, dan rakyat desa sebagai wong kecil. Wong cilik yang dieksploitasi," ucap Hanif.
Dia mengatakan pola feodal itu sudah tertanam ratusan tahun membentuk mentalitas kepala desa sebagai penjilat penguasa, bukan pelayan kepentingan rakyat desa.
Menurutnya, Apdesi yang diketuai oleh Surtawijaya berpegang pada etika administrasi negara primitif warisan negara Mataram dan Hindia Belanda, bukan administrasi negara modern yang lebih berkembang.
Hanif menyebut para kepala desa mau dimobilisasi penguasa dengan gembira dan bangga untuk mendukung Jokowi menjabat tiga periode.
Artinya, para kepala desa di bawah kepemimpinan Surtawijaya telah melawan norma konstitusi.
Kemudian, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyebut deklarasi kepala desa untuk Jokowi tiga periode sebagai bentuk politisasi.
"Saya ingin mengatakan ini jelas politisasi. Politisasi dalam upaya untuk perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi," ujar dia.
Azyumardi menjelaskan deklarasi tersebut melanggar Undang-Undang Desa dan etika politik karena berkampanye lebih dulu.
"Jelas itu bagian dari rekayasa politik dan menurut saya, ini akan terus terjadi, walaupun presiden bilang supaya menteri-menteri berhentilah membicarakan itu," kata Azyumardi. (mcr9/jpnn)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Dea Hardianingsih