Sampah plastik merupakan sumber polusi utama di India sehingga pemerintah telah memberlakukan larangan penggunaan produk plastik sekali pakai termasuk gelas dan sedotan.

Di negara terpadat kedua di dunia itu, pertumbuhan ekonomi yang cepat telah mendorong permintaan barang-barang yang datang dalam kemasan produk plastik sekali pakai.

BACA JUGA: Ke Mana Habisnya Uang?

India menggunakan sekitar 14 juta ton plastik setiap tahun, tetapi tidak memiliki sistem yang terpadu untuk mengelola sampah plastik.

Kondisi ini menyebabkan hampir 13 juta ton sampah plastik dibuang atau tidak didaur ulang oleh India pada tahun 2019 — jumlah tertinggi secara global, menurut Our World in Data.

BACA JUGA: Pemerintah New South Wales Tetapkan Status Bencana Alam Banjir, KJRI Sebut Belum Ada WNI yang Terdampak

Untuk memerangi polusi yang semakin parah, 19 barang plastik sekali pakai tidak lagi dapat diproduksi, diimpor, disimpan, didistribusikan, atau dijual di India sebagai fase pertama dari rencana nasional jangka panjang.

Tetapi apakah larangan nasional yang baru ini akan berhasil? Seberapa jauh itu akan efektif? Dan berapa banyak dari hampir 1,4 miliar orang di negara itu yang akan mematuhi aturan tersebut?

BACA JUGA: Penipu Online Berhasil Mencuri Sekitar Rp 20 Triliun dari Warga Australia di Tahun 2021

Jenis plastik apa yang dilarang?

Dalam sebuah pernyataan, Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan lastik sekali pakai yang dilarang antara lain gelas, sedotan, peralatan makan, ear bud, film kemasan, stik plastik untuk balon, dan kemasan untuk permen, es krim, dan bungkus rokok.

Pemerintah saat ini telah mengecualikan kantong plastik tetapi telah meminta produsen dan importir untuk meningkatkan ketebalan untuk mempromosikan kantong plastik yang bisa dipakai ulang.

Ribuan produk plastik lainnya, seperti botol minuman dan kantong keripik, tidak tercakup dalam larangan tersebut, tetapi pemerintah federal telah menetapkan target agar produsen bertanggung jawab untuk mendaur ulang atau membuangnya setelah digunakan.

India mengatakan barang-barang yang ditetapkan terlarang telah diidentifikasi dengan mempertimbangkan ketersediaan alternatif seperti sendok bambu dan stik es krim dari kayu.Satish Sinha, direktur asosiasi Toxics Link, sebuah LSM yang berbasis di New Delhi yang berfokus pada pengelolaan limbah, mengatakan kepada ABC bahwa aturan itu diumumkan setahun yang lalu, sehingga memberi orang waktu yang cukup untuk bersiap.

"Plastik cukup menjadi masalah di India," katanya.

Sebagian besar plastik tidak dapat didaur ulang, dan hanya bisa diturunkan kualitasnya, serta seringkali dibakar atau digunakan sebagai bahan bakar.

Plastik bernilai tiga sampai empat kali lebih banyak untuk bahan bakar. Apakah orang akan mengikuti aturan?

Dua pria memeriksa tumpukan bahan bening yang dirancang untuk menggantikan plastik sekali pakai di sebuah toko helm sepeda motor.

Beberapa ahli percaya bahwa menegakkan larangan itu mungkin sulit, meskipun volume barang plastik berserakan pada kenyataannya akhirnya menyumbat saluran air, sungai dan lautan dan juga membunuh hewan.

Sekitar setengah dari wilayah India telah berusaha untuk memberlakukan peraturan mereka sendiri, yang telah berhasil "pada tingkat yang berbeda-beda", kata Sinha.

Pada tahun 2018, sebuah laporan yang dikeluarkan PBB menemukan bahwa larangan plastik sekali pakai di New Delhi hanya berdampak terbatas "karena penegakan hukum yang buruk."Tapi sekarang pihak berwenang telah berjanji untuk menindak tegas pelanggar dan karena larangan itu berlaku secara nasional, penegakan hukum akan sampai ke negara bagian dan kota.

"Saya pikir pemerintah negara bagian akan menganggapnya serius," kata Sinha.

"Orang-orang di seluruh instansi telah mengangkat masalah ini dan pemerintah negara bagian tahu bahwa ini adalah masalah."

Menurut Sinha, kebanyakan orang akan mengikuti aturan baru ini.

"Alternatif [dari barang-barang yang dilarang] tersedia, jadi orang mau berubah," katanya.

"Saya pikir orang-orang pada umumnya cukup menyambut larangan ini."

Pemerintah telah memutuskan untuk mendirikan pusat kontrol untuk memeriksa penggunaan ilegal, penjualan, dan distribusi produk plastik sekali pakai yang dilarang.

Orang-orang yang ditemukan melanggar larangan bisa berhadapan dengan denda besar dan bahkan hukuman penjara. Apakah larangan itu sudah cukup?

Sebagian besar barang yang tercakup dalam larangan itu sangat kecil dan bernilai rendah, yang berarti sering diabaikan oleh pemulung, kata Sinha.

Ke-19 barang terlarang itu bermasalah dan Sinha yakin mengakhiri penggunaannya secara luas adalah titik awal yang baik.

"Ini tidak akan mengatasi masalah plastik sekali pakai tetapi jelas ini adalah langkah yang baik dan memberikan pesan kepada semua orang bahwa, ya, plastik sekali pakai adalah masalah," katanya.

"Saya pribadi akan sangat senang melihat ada lebih banyak jenis barang yang ditambahkan ke dalamnya."

Larangan baru itu adalah "dorongan yang pasti," kata Satyarupa Shekhar, koordinator Asia-Pasifik dari kelompok advokasi Break Free from Plastic.

Tapi dia juga ingin larangan itu menjadi lebih luas lagi.

"Mengingat besarnya krisis plastik, ini terlalu kecil. Dan terlalu kecil baik dalam cakupannya maupun skalanya," kata Shekhar.

Sampai saat ini, belum ada pengumuman dari pemerintah tentang kapan fase larangan berikutnya akan dimulai dan barang apa saja yang akan dilarang. Kelompok industri minta penundaanmencoba menghentikan larangan

Produsen plastik, perusahaan makanan, minuman, dan produk konsumen telah meminta pemerintah untuk menunda larangan tersebut, dengan alasan inflasi dan potensi kehilangan pekerjaan.

Namun, Menteri Lingkungan federal India Bhupender Yadav mengatakan larangan itu telah direncanakan selama satu tahun.

"Sekarang waktunya sudah habis," katanya.

Perusahaan di sektor industri plastik, yang mempekerjakan jutaan orang, mengatakan alternatif untuk barang-barang plastik yang dilarang itu mahal.

Jigish N. Doshi, presiden kelompok industri Plastindia Foundation, memperkirakan akan terjadi pekerjaan yang hilang untuk "sementara" tetapi mengatakan masalah yang lebih besar adalah yang dialami perusahaan "yang telah menginvestasikan modal besar untuk mesin yang mungkin tidak berguna" setelah pemberlakuan larangan.

Pemerintah India telah dihubungi untuk dimintai komentarnya.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Menaikkan Suku Bunga untuk Ketiga Kalinya Dalam Tiga Bulan Terakhir

Berita Terkait