Akil Terancam Menua di Penjara

Kamis, 20 Februari 2014 – 18:48 WIB
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jln Rasuna Sahid, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/2). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA--Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terancam pidana 20 tahun penjara dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait pengurusan sengketa pilkada di lembaga yang pernah dipimpinnya itu.

Hal ini terungkap dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, (20/2). Akil dijerat dengan pasal akumulatif karena ia melakukan lebih dari satu tindak pidana.

BACA JUGA: Pemda Harus Pastikan Honorernya Asli atau Bodong

Dalam dakwaan pertama, Jaksa menyatakan Akil menerima sekitar Rp 3 miliar terkait permohonan keberatan atas hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Rp 1 miliar terkait permohonan keberatan atas hasil Pemilukada Kabupaten Lebak, sekitar Rp 10 miliar dan USD 500 ribu terkait permohonan keberatan atas hasil Pemilukada Empat Lawang.

Sekitar Rp 19,86 miliar terkait permohonan keberatan hasil Pemilukada Kota Palembang, dan sekitar Rp 500 miliar terkait permohonan keberatan atas hasil Pemilukada Kabupaten Lampung Selatan.

BACA JUGA: MK Tolak Gugatan Buronan Kasus Perkosaan

"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdirir sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang menerima hadiah atau janji," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pulung Rinandoro saat membacakan berkas dakwaan Akil.

Atas perbuatannya itu, Akil diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

BACA JUGA: PDIP Curiga Penyadap Jokowi Kaki Tangan Penguasa

Pada dakwaan selanjutnya, Akil didakwa menerima gratifikasi yang diduga diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil Pemilukada di Kabupaten Buton. Pada Pilkada ini ia diduga menerima Rp 1 miliar.

Selain itu, Akil juga disebut menerima dana untuk sengketa pilkada Kabupaten Pulau Morotai sebeesar Rp 2, 989 miliar. Uang sejumlah Rp 1,8 miliar diduga diterimanya terkait Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Rp 10 miliar terkait permohonan keberatan hasil Pemilukada Jawa Timur.

Atas perbuatan gratifikasi ini, Akil diancam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Pada dakwaan ketiga Akil disebut telah menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Selaku hakim konstitusi, Akil meminta Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem memberi duit Rp 125 juta.

Permintaan duit itu sebagai ongkos karena Alex telah berkonsultasi menanyakan perkara permohonan keberatan hasil Pemilukada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel. Serta meminta Akil membantu mempercepat putusan atas permohonan hasil keberatan itu.

Akil pun diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Pada dakwaan ke empat Akil didakwa menerima hadiah sejumlah Rp 7,5 miliar dari Adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Chaeri Wardana alias Wawan. Pemberian hadiah itu diduga diberikan karena kekuasaan atau kewenangan selaku Hakim Konstitusi pada MK RI terkait permohonan keberatan atas hasil Pemilukada Provinsi Banten.

"Dalam perkara ini, terdakwa diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana," sambung Jaksa.

Sementara itu pada dakwaan ke lima Akil disebut bersama Muhtar Ependy dalam rentang waktu 22 Oktober 2010 hingga 2 Oktober 2013 didakwa pasal pencucian uang. Sehingga perbuatannya diancam pidana Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Adapun, Akil juga dijerat pasal pencucian uang dalam rentang waktu antara 17 April 2002 sampai 21 Oktober 2010. Untuk itu, ia juga diancam pidana Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Selama mendengarkan pembacaan berkasnya dakwaannya yang berjumlah 63 lembar, sesekali Akil tertunduk. Ia memakai kemeja batik lengan panjang berwarna hijau tua. Sebelum masuk ruang sidang ia menegaskan siap menghadapi kasus yang melilitnya.

"Ya kita harus siap menghadapi proses pengadilan ini," kata Akil.

Sidang Akil ini dijaga ketat oleh sekitar 10 anggota kepolisian dari Polsek Setiabudi, Jakarta Selatan. Tampak rekan Akil sesama hakim konstitusi Patrialis Akbar duduk di barisan depan pengunjung sidang. Sesekali Patrialis berdiri untuk melihat Akil yang menjadi sorotan utama kamera media massa. (flo/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenag Belum Tetapkan Besaran Tarif Nikah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler