jpnn.com, JAKARTA - Ketidakhadiran Menteri Perdagangan menjadi penyebab utama batalnya Rapat Gabungan Komisi IV, Komisi VI dan Komisi VII DPR RI bersama empat Menteri pada Kamis (17/2/2022).
Rencananya menteri dijadwalkan ikut dalam rapat gabungan tersebut, yakni menteri pertanian, menteri perdagangan, menteri perindustrian, dan menteri ESDM.
BACA JUGA: Ketua MPR Dukung Pengembangan Lumbung Pangan lewat KKN Kebangsaan 2022
“Batalnya rapat ini menimbulkan kekecewaan semua peserta atau institusi yang hadir karena begitu pentingnya persoalan pangan yang akan diselesaikan,” kata Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin dalam siaran pers pada Minggu (20/2).
Andi Akmal mengatakan semua pimpinan Komisi DPR dan menteri-menteri lainnya telah hadir kecuali menteri perdagangan yang tidak bisa diwakilkan. Mereka yang hadir ini menurutnya, sudah membatalkan semua agenda untuk membahas penyelesaian persoalan pangan yang sudah lebih 3 bulan terakhir telah menimbulkan gejolak di masyarakat.
BACA JUGA: Harga Pupuk Mencekik Petani, Komisi IV DPR RI Punya Usul, Begini
Bahkan Pimpinan DPR pun telah mengosongkan jadwal untuk memimpin rapat karena memang secara aturan rapat gabungan yang memimpin adalah pimpinan DPR.
“Kami semua sangat kecewa dengan pembatalan rapat gabungan ini, selain sebentar lagi memasuki masa reses, sehingga rapat-rapat akan terbentur dengan agenda kunjungan kerja atau kunjungan daerah pemilihan, juga bahwa rapat ini sangat strategis dilakukan sehingga Pengendalian Harga Pangan Pokok dapat segera dilakukan secara efektif dan efisien,” kata Akmal.
BACA JUGA: Merespons Polemik di Desa Wadas, Andi Akmal Bilang Begini
Legislator asal Sulawesi Selatan II ini menjelaskan pembahasan rapat gabungan ini akan menyisir persoalan hulu hingga hilir salah satunya ada di pupuk baik subsidi maupun pupuk tak bersubsidi.
Dia menyebut persoalan pupuk ini sudah puluhan tahun masih terus terjadi. Anggaran Rp 15 triliun hingga Rp 32 triliun anggaran pupuk bersubsidi yang pernah dialokasikan di APBN, ternyata masih terus belum berhasil menyelesaikan persoalan pupuk di petani.
Pupuk Subsidi kurang, Pupuk non subsidi naik dua kali lipat hingga beredarnya pupuk palsu telah terjadi di lapangan. Efek lanjutan persoalan pupuk ini akhirnya berujung pada penurunan produksi pertanian kita sehingga pemerintah ambil solusi importasi pangan untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi sendiri.
Politikus PKS ini menguraikan tingginya harga pupuk non-Subsidi ini telah memicu incaran para pelanggar untuk menggunakan pupuk bersubsidi. Padahal mereka semestinya tidak berhak.
Selain itu, alokasi pupuk subsidi 8,87 juta ton – 9,55 juta ton yang artinya kebutuhan yang dapat dipenuhi hanya mencapai 37-42% dengan kebutuhan anggaran Rp 63 triliun – Rp 65 triliun.
“Solusi Pupuk Subsidi ini ganti pola atau penuhi anggarannya. Bahkan menteri ESDM Hadir disini untuk memberi gagasan dan tata laksana memenuhi Pasokan dan Harga Gas Untuk Produksi Pupuk agar efektif dan efisien. Selama tidak di ganti pola subsidinya pada kasus pupuk subsidi atau tidak dipenuhi jumlah kebutuhannya, maka selama itu persoalan pupuk akan terus ada sehingga pemenuhan produksi pangan tidak akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang akhirnya ambil solusi impor,” kata Akmal.
Meski ada opsi penundaan rapat di awal sidang setelah reses, atau di masa reses ada sidang khusus, Akmal menyarankan bahwa rapat gabungan agar dipercepat karena makin lama persoalan pangan ini dibiarkan dengan solusi saat ini, kondisi tata kelola pangan kita makin buruk.
Dia mencontohkan, telah terlihat di rumah tangga Indonesia, persoalan minyak goreng sudah tiga bulan terakhir dalam kondisi memprihatinkan.
“Kalau enggak mahal atau stok hilang. Terakhir persoalan kedelai yang memicu perajin tahu dan tempe serta pedagang-pedagangnya sangat gerah dengan naiknya harga kedelai yang menurunkan produksi tahu tempe hingga 30 persen,” kata Akmal.
Akmal berharap semua Menteri dapat hadir pada rapat gabungan berikutnya, sehingga persoalan pangan yang perlu melibatkan beberapa institusi negara ini dapat segera teratasi.
“Selama masih ada operasi pasar, maka persoalan pangan itu masih belum selesai,” kata Andi Akmal Pasluddin.(fri/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Friederich