Bagaimana usaha membantu para penyandang disabilitas di Indonesia dan Australia? Arni Surwanti, Dosen Universitas Muhamadiyah Yogyakarta adalah seorang penyandang disabilitas dan baru-baru ini berada selama satu bulan di Melbourne (Australia) untuk mengikuti pelatihan mengenai kesehatan mental bagi penyandang disabilitas.
Tidak terasa sudah lebih dari separuh usia, saya isi dengan kegiatan-kegiatan di organisasi penyandang disabilitas (Disabled People Organization/DPO).
BACA JUGA: Koala di Queensland Utara Rentan Buta Diserang Semut Hijau
Selama 12 tahun terakhir, dengan beberapa teman saya membentuk dan bekerja untuk DPO CIQAL (Center For Improving Qualified Activities in Life Of People With Disabilities,Pusat Untuk Meningkatkan Aktivitas Berguna dalam Kehidupan bagi Penyandang Disabilitas), selain kegiatan utama mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kegiatan ini berawal rasa keprihatinan akan nasib penyandang disabilitas di Indonesia dan di Yogyakarta khususnya masih banyak menghadapi berbagai permasalahan yang menyangkut kesejahteraannya.
BACA JUGA: Larang Warga Sipil Miliki Senjata Api, Modal Kuat Australia Hadapi Ancaman Teror
Kebanyakan teman-teman penyandang disabilitas tidak mendapatkan akses pendidikan yang cukup, kesempatan mendapatkan pelatihan juga masih terbatas, sehingga tidak mengherankan kalau penyandang disabilitas di Indonesia masih sulit mendapatkan pekerjaan.
Kondisi kesehatan penyandang disabilitas yang rata-rata sangat rentan, diperburuk dengan belum semua mendapat kesempatan akses jaminan kesehatan.
BACA JUGA: Teknologi Ini Jamin Ambulan dan Damkar dapat Lampu Hijau di Persimpangan
Layanan kesehatan di puskesmas juga belum menyediakan layanan yang dibutuhkan penyandang disabilitas, seperti fisioterapi, home care. Hal ini juga diperparah dengan kondisi lingkungan yang tidak aksesible, sehingga rata-rata penyandang disabilitas kesulitan berpergian, karena mobilitas yang terbatas.
Arni Surwanti mendapat pinjaman scooter untuk memudahkannya beraktivitas selama di Melbourne. (Foto: Arni Surwanti)
Berawal dari melakukan berbagai kegiatan advokasi dan pemberdayaan melalui DPO inilah saya mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana penanganan penyandang disabilitas di beberapa negara.
Salah satu dari negara yang saya kunjungi untuk belajar tentang layanan pada penyandang disabilitas adalah Australia. Pada bulan Agustus yang lalu saya menjadi salah satu peserta dari Training tentang “International Mental Health Leadership Program”.
Kegiatan ini diselenggarakan kolaborasi antara Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial Republik Indonesia dan The Global and Cultural Mental Health Unit, School of Population and Global Health University of Melbourne.
Kementrian Kesehatan (khususnya Direktorat Kesehatan Jiwa) bertanggung jawab untuk melaksanakan UU tentang Kesehatan Jiwa, Peraturan Pemerintahnya juga perlu diwujudkan dalam 12 bulan mendatang.
Ini akan menjadi prioritas sangat penting untuk Kementrian kesehatan dalam 12 bulan mendatang. Adanya peraturan perundangan ini menunjukkan adanya komitmen secara eksplisit untuk melakukan perlindungan hak asasi manusia bagi orang dengan gangguan mental.
Pengembangan rehabilitasi berbasis masyarakat dan layanan dukungan sosial, juga akan menjadi prioritas tinggi bagi Kementrian Kesehatan untuk bekerja kolaboratif dengan Kementrian Sosial untuk memastikan bahwa pelaksanaan UU kesehatan jiwa sesuai dengan dengan United Nation-Convention of Human Right of Person With Disabilities (UN-CRPD).
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kapasitas personal di dalam jajaran Kementrian Kesehatan dan Kementrian Sosial, dalam rangka mengimplementasikan secara terpadu UU Kesehatan Jiwa ditandatangani oleh Presiden pada 2 September 2014 dan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada bulan Oktober 2011 (UU No. 19 tahun 2011).
Arni Surwanti (kanan) bersama peserta pelatihan dari Indonesia. (Foto: Arni Surwanti)
Berdasarkan UU Kesehatan Jiwa membuat komitmen secara eksplisit untuk melaksanakan perlindungan hak asasi manusia orang dengan gangguan jiwa, untuk menyediakan berbagai layanan dan dukungan sosial, serta jasa pengobatan berbasis komunitas berbasis rumah sakit dan, dan kolaborasi antar-sektoral perlu lebih ditingkatkan.
Kolaborasi kedua kementerian dan masing-masing lembaga, serta integrasi layanan kesehatan dan sosial merupakan elemen penting dari sistem kesehatan mental nasional yang berkualitas tinggi.
Program pelatihan di Melbourne ini akan memberikan kontribusi pada peningkatan kapasitas personil kunci dari Kementrian Kesehatan dan Kementrian Sosial untuk menentukan bagaimana layanan terpadu dan lintas sektoral tersebut harus dirancang sehingga memberikan dampak praktis sesuai dengan ketentuan UU Kesehatan Jiwa dan CRPD.
Perhatian pemerintah dan masyarakat di Australia sudah sedemikian majunya, peraturan perundangan yang melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas termasuk di dalamnya orang dengan gangguan jiwa.
Penanganan penyandang disabilitas dengan gangguan jiwa di Australia dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan, yaitu dimulai dengan penanganan medis, persiapan kembali ke masyarakat dan penanganan setelah kembali ke masyarakat.
Penanganan medis tentunya dilakukan oleh kementrian kesehatan. Pada fase ini orang dengan gangguan jiwa mendapatkan penanganan kesehatan, sehingga secara fisik dan mental mendapatkan rehabilitasi.
Setelah mendapatkan penanganan kesehatan, orang dengan gangguan jiwa perlu dipersiapkan untuk kembali ke masyarakat, seperti dengan memberi bekal bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari serta mempersiapkan keluarga untuk dapat memberikan dukungan kepada penyandang disabilitas.
Pada fase ini tentunya membutuhkan peran dari kementrian sosial dan masih dalam pengawasan medis yang masih menjadi tanggungjawab kementrian kesehatan. Setelah penyandang disabilitas siap untuk kembali ke masyarakat, maka selanjutnya penyandang disabilitas dapat kembali ke masyarakat dengan perlu diberikan kesempatan untuk mendapatkan haknya seperi antara lain hak pendidikan, hak kesehatan, hak mendapatkan pekerjaan, hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat, hak mendapatkan persamaan perlakukan di depan hukum, hak untuk tidak mendapatkan kekerasan, hak di sektor politik yaitu hak untuk memilih dan dipilih.
Implementasi pemenuhan hak penyandang disabilitas sudah demikian bagusnya sebagai contoh penyediaan aksesibilitas di setiap tempat, menjamin kemudahan bagi penyandang disabilitas, seperti penyediaan trotoar yang aksesible, guiding block untuk petunjuk jalan bagi tuna netra, lampu merah yang bersuara, penyediaan ramp dan lift di setiap di setiap lokasi yang bertangga.
Di negara ini juga membentuk Komite yang menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas. Sehingga tidaklah mengherankan adanya pengawasan di berbagai sektor untuk selalu memperhatikan layanan untuk penyandang disabilitas.
Peran lembaga kemasyarakatan dalam ikut memenuhi hak penyandang disabilitas luar biasa perannya. Sebagai contoh seperti yang dilakukan “Beyond Blue”, suatu lembaga bekerja melakukan awairness raising.
Lembaga ini mempromosikan tentang kesehatan jiwa, untuk melindungi orang dengan gangguan jiwa, dan meningkatkan kualitas kehidupannya, keluarga, dan masyarakat yang disebabkan oleh depresi, kekhawatiran, sehingga masyarakat Australia sebisa mungkin mendapatkan kesehatan jiwa.
Arni Surwanti (dua dari kanan) menikmati jalan-jalan yang ramah disabilitas di Melbourne. (Foto: Arni Surwanti)
Lembaga ini berusaha mengurangi stigma negatip dari orang dengan gangguan jiwa. Lembaga ini memperjuangkan terwujudnya masyarakat yang inklusif, dimana orang dengan ganguan jiwa bisa merasa bernilai dan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupannya di masyarakat.
“Headspace”, lembaga pemerintah yang mendukung kaum muda dengan gangguan jiwa dan keluarganya melalui pemberian layanan klinis langsung, promosi kesehatan dan aktivitas promosi kepedulian masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa.
Lembaga “Tandom” yang bekerja dengan fokus carer (pengasuh) orang dengan gangguan jiwa. Lembaga-lembaga swasta ini sangat didukung dari kebijakan dan pembiayaan oleh pemerintah Australia.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Walaupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak penyandang disabilitas (UN-CRPD), pada tahun 2007, namun sampai sekarang apa yang diimpikan penyandang disabilits di Indonesia dalam perolehan haknya masih jauh dari yang diharapkan.
Kalau di Australia penanganan penyandang disabilitas dengan gangguan jiwa dengan 3 (tiga) tahapan, yaitu pendekatan medis, persiapan kembali ke masyarakat, dan kembali ke masyarakat. Di Indoensia sampai saat ini belum ada satu lembaga pun yang melakukan persiapan orang dengan gangguan jiwa untuk kembali ke masyarakat.
Saya berharap pengalaman di Australia ini bisa menjadi referensi semua stakeholder yang dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya pada penyandang disabilitas dengan gangguan jiwa.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Arni Surwanti sehari-hari adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, dan Program Manager CIQAL (Center For Improving Qualified Activities in Life Of People With Disabilities, Pusat Untuk Meningkatkan Aktivitas Berguna dalam Kehidupan bagi Penyandang Disabilitas).
BACA ARTIKEL LAINNYA... Unjuk Rasa Anti Islam Berlangsung di Sejumlah Kota di Australia