Aktivis PMKRI Luncurkan 9 Substansi Draf Usulan Perppu KPK

Jumat, 01 November 2019 – 02:11 WIB
Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Prof Magnis Suseno (kiri), Anton Doni sebagai Ketua Kelompok Studi Aquinas (kedua kanan) saat diskusi dimoderatori Tomson Silalahi selaku Sekretaris KSA. Foto: Dok. Humas KSA

jpnn.com, JAKARTA - Sekelompok alumni dan aktivis PMKRI yang tergabung dalam Kelompok Studi Aquinas (KSA) menyelenggarakan diskusi publik pemberantasan korupsi dengan tema "Sodor Perppu, Selamatkan KPK” di Margasiswa PMKRI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/10). Acara diskusi tersebut sekaligus diisi dengan peluncuran draf usulan Perppu KPK.

Sesuai rencana, draf Perppu tersebut akan disampaikan ke Presiden, baik secara langsung maupun melalui Kantor Staf Presiden dan Menkopolhukam Mahfud MD. Draf Perppu tersebut akan disampaikan juga ke pimpinan DPR RI.

BACA JUGA: Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK

Diskusi menghadirkan narasumber Prof Magnis Suseno dari STF Driyarkara, Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti, Nicky Fahrizal dari CSIS, dan Anton Doni sebagai Ketua Kelompok Studi Aquinas. Diskusi dimoderatori Tomson Silalahi selaku Sekretaris KSA.

Ketua Kelompok Studi Aquinas, Anton Doni menjelaskan draf Perppu KPK berisikan klausul-klausul dengan setidaknya 9 substansi sasaran. Pertama, mengembalikan independensi dan kekuatan KPK. Ini dilakukan dengan mengembalikan rumusan Pasal 3 yang menyatakan bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun.

BACA JUGA: Jokowi Masih Didesak Terbitkan Perppu KPK, Begini Kata Menkumham

Kedua, memperjelas wewenang KPK. Wewenang terkait tugas supervisi, misalnya, dibuat lebih jelas sehingga KPK berada pada posisi yang cukup kuat ketika melakukan tugas supervisi terhadap lembaga yang high profile seperti kejaksaan dan kepolisian.

Ketiga, memperjelas kewajiban KPK. Kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPR diperjelas dengan mekanisme saling klarifikasi yang jelas dan kemungkinan pemberian sanksi oleh DPR.

Keempat, membuat proporsional tata pengawasan terhadap KPK. Ada empat jenis subyek pengawasan, dan masing-masing membutuhkan mekanisme pengawasan yang berbeda. Ada pengawasan keuangan, ada pengawasan kinerja, ada pengawasan integritas politik dan ideologis, dan ada pengawasan perlindungan hak privat. Ada lembaga berbeda yang melakukan pengawasan terhadap subyek berbeda, sehingga perlu diperjelas mekanismenya.

Kelima, menempatkan Dewan Pengawas di samping, tidak superior di atas KPK. Kedudukan Dewan Pengawas yang berada di atas KPK berdasarkan Undang-Undang 19/2019 hasil revisi diubah, karena membatasi ruang gerak KPK secara berlebihan.

Keenam, izin penyadapan dihilangkan. Pengawasan penyadapan dilakukan pasca penyadapan, dengan mekanisme pelaporan oleh KPK dan penelusuran ketaatasasan oleh Dewan Pengawas.

Ketujuh, kasus besar diawasi penindakannya secara khusus, sehingga keadilan bisa dipastikan. Praktis persoalan prioritas penanganan kasus besar diabaikan dalam Undang-Undang hasil revisi.

Kedelapan, wewenang SP3 ditiadakan. Wewenang SP3 adalah sumber ancaman bagi integritas KPK yang memang harus ditiadakan.

Kesembilan, draf Perppu melihat bahwa pegawai KPK dapat menyandang status sebagai ASN P3K dengan status keuangan dan tunjangan khusus, sedemikian rupa sehingga tidak mudah tergoda dengan godaan-godaan suap yang melekat dengan kekuasaannya yang besar.

KSA, sebagaimana dijelaskan Anton Doni, melihat bahwa Undang-Undang hasil revisi telah melemahkan KPK dan tidak menjawab persoalan-persoalan yang diwacanakan sebagai alasan dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang KPK.

Pelemahan KPK merupakan persoalan serius karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang masih diakui oleh semua elemen bangsa termasuk DPR RI sendiri yang memproduksi UU hasil revisi.

Anehnya, di tengah pengakuan tersebut DPR masih perlu membuat suatu revisi UU yang justru memperlemah KPK. Seolah lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian sudah dapat diandalkan untuk menangani persoalan korupsi tanpa KPK yang kuat yang menantang kinerja mereka.

"Basis pendirian UU hasil revisi terlalu ilusif. Semata berangkat dari kepercayaan bahwa kejaksaan dan kepolisian akan dapat diandalkan," kata Anton Doni yang juga Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996.

Frans Magnis Suseno mengatakan, pelemahan KPK yang berujung pada pembiaran perkembangan korupsi akan menandakan konsolidasi suatu pemerintahan medioker. Dan pemerintahan medioker akan menumbuhkan banyak ketidakpuasan massa, yang menjadi kondisi yang memungkinkan bertumbuhnya radikalisme.

Keprihatinan atas perkembangan radikalisme, menurut Magnis, mestinya ditangani juga dengan sikap konsisten dalam pemberantasan korupsi. Karena bagi Magnis,
"korupsi adalah persoalan bangsa paling serius, yang menghambat akses banyak warga masyarakat untuk hidup lebih baik.”(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler