Alarm Resesi Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19

Oleh: Edi Setiawan, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA

Minggu, 22 Maret 2020 – 23:58 WIB
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA, Edi Setiawan. Foto: Dokpri

jpnn.com - Jangan heran bila pemandangan sepinya dunia tampak jelas dari luar angkasa. Sangat jelas terlihat kekosongan kota-kota di dunia akibat pandemi Covid-19.

Kekosongan ini tampak dari sudut kota Wuhan dan kota-kota besar di negara Italia yang dirilis perusahaan teknologi Maxar yang berada di negara bagian Colorado, Amerika Serikat pada Jumat (6/3).

BACA JUGA: Duta Petani Milenial Kementan RI Sigap Menghadapi Covid-19

Tercatat dalam laporan resmi WHO sudah sekitar 250 ribu orang yang sudah dinyatakan terjangkiti penyakit Covid-19. Dinyatakan sembuh sekitar 90 ribu, data ini akan terus berlangsung sampai saat ini dengan penyebaran yang sangat cepat.

Kita bisa lihat penyebaran cepat terlihat dari Indonesia mencapai 450 orang terinfeksi dan rasio kematian mencapai 11 persen. Data yang tak terduga ini disinyalir akibat kontak fisik antara yang terinfeksi dengan masyarakat secara luas.

BACA JUGA: Berita Duka, Tiga Dokter Meninggal Diduga Terpapar Virus Corona

Kini virus ini menjadi pandemi yang mematikan di antara virus lain yang telah dahulu merebak seperi virus flu burung, mers dan sars dibelahan dunia. Virus Covid-19 tampak berbeda dengan virus yang terdahulu.

Beberapa otoritas pemerintah di dunia masih kewalahan bahkan negara Italia sampai 3.000 orang sudah terinfeksi virus tersebut.

BACA JUGA: Antisipasi Dampak Virus Corona, Banggar DPR RI Minta Presiden Terbitkan 3 Perppu

Banyak pelarangan aktivitas publik dan program isolasi yang telah dilakukan dengan lockdown dan social distance tapi nyatanya masyakarat tanpa terkecuali masih berkeliaran akibat kebutuhan pokok yang belum terpenuhi.

Banyak imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah dan sedikit menghindari kerumunan masa agar mengurangi penyebaran virus ini.

Nyatanya akibat kekacauan ini, laju perekonomian domestik semakin lambat karena pasokan makin memburuk akibat produksi yang menurun pula bahkan distribusi dan rantai pasokan barang tergaggu.

Virus Covid-19 terus menggerogoti aktivitas ekonomi di sebuah daerah menimbulkan ketidakpastian global. Efek negatif yang timbul adalah ketidakpastian pasar keuangan global dalam merespons permintaan dan penawaran mata uang yang mengakibatkan tertekannya mata uang dunia  sebagai pemicu pembalikan modal kepada aset uang. Efek lain menurunnya ekonomi glonal akibat rantai penawaran bagi produksi domestik tergangu.

Tidak saja panic buying, kini menghantui masyarakat lantaran siaga Covid-19 diperpanjang hingga lebaran Idulfitri ditambah upaya lockdown berbagai aktivitas. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jebol di angka Rp16.000, kian membuat rakyat makin rumit terhimpit.

Meski begitu, pemerintah berupaya memastikan keamanan stok pangan hingga tes massal Covid-19 guna menenangkan semua pihak. Pandemi virus Covid-19 membuat mobilitas masyarakat terganggu karena berbagai larangan perjalanan yang diberlakukan pemerintah dan negara-negara lain.

Pandemi ini diperkirakan akan memangkas pertumbuhan ekonomi hingga di bawah 5 persen. Hal ini akan turut menyeret laju ekonomi ke depan dari sisi pariwisata. Perlunya kebijakan moneter jempolan agar memperhatikan aliran kredit yang dilakukan Bank Sentral.

Kebijakan yang tertuju bagi stimulus moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga. Namun, menjadi catatan bagi pemerintah bagi pertumbuhan ekonomi harus terus didorong dalam kerangka pemenuhan kredit UMKM sehingga mampu memberikan efisiensi bagi modal.

Suku bunga yang diturunkan dari 50 bps dan giro wajib minimum diturunkan 0,5 persen sedangkan valuta asing 4 persen tak cukup. Perlu relokasi anggaran sangat diperlukan mengingat efek domino dari penyebaran virus ini makin melebar.

Perlu anggaran segar dari APBN untuk mengamankan tiga aspek yaitu bidang kesehatan untuk pengendalian Covid-19, jaring pengaman sosial dan insentif bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Kebijakan lain melalui stimulus fiskal mengenai kesehatan, perlindungan sosial, dan upaya menjaga kinerja pelaku usaha akan sedikit mencegah dampak negatif dari perlambatan ekonomi global. Hingga saat ini, pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah stimulus fiskal untuk menghadapi krisis dengan penundaan PPh pasal 21.

Lembaga pemeringkat internasional, Moody’s memperkirakan Indonesia akan tertekan ekonominya sama dengan negera-negara G-20. Tingkat pertumbuhan diproyeksi Cuma 4,8 persen dari proyeksi awal 5,0 persen. Sedikit bernapas lega dibandingkan dengan negara China yang rontok dari 6,0 persen menjadi 4,8 persen. Begitu pula Jepang dari 0,7 persen menjadi stagnan nol persen.

Hal yang menarik yang dilakukan pemerintah China dengan melakukan suntikan dana segar sebesar 1,2 triliun yuan ke sistem keuangan negaranya. Kebijakan ini bagian dari suntikan dana dalam satu waktu yang terbesar dalam sejarah China. Langkah ini sebagai obat mujarab menopang likuiditas dalam sistem perbankan dipastikan cukup dan membantu menjaga stabilitas nilai tukar yuan terhadap dollar AS.

Perlu dicontoh langkah ekonomi pemerintah China dengan menyediakan 300 miliar yuan kepada bank-bank di China untuk dipinjamkan dengan bunga relatif rendah. Dana ini sebagai insentif bagi likuiditas perusahaan sebagai pinjaman modal akan keberlangsungan perusahaan.

Pinjaman ini diberikan sebagai pemotong persyaratan cadangan dengan biaya murah kepada perusahaan yang lebih besar sehingga perusahaan semakin berjalan.

Padahal data statistik menunjukan adanya penurunan Januari 2020 sebesar US$3,95 miliar nilai impor nonmigas China. Penurunan ini berkisar US$125,2 juta secara bulanan. Padahal impor nonmigas China terus menyumbang 32,11 persen terhadap perekonomiannya.

Melemahkan ekonomi Indonesia salah satunya berdampak dari China sebagai mitra dagang yang cukup besar. Impor terbesar berupa bahan baku dan barang modal untuk keperluan industri pengolahan mencapai 16,8 persen atau senilai 37,9 miliar dollar AS. Adapun 74 persen impor asal China.

Tak heran bila China mengalami krisis maka Indonesia pun ikut di dalamnya. Ini alarm bagi resesi ekonomi Indonesia sebagai bagian dari pelajaran akan krisis yang menghantam negara-negara Uni Eropa tahun 2008-2009.  Setidaknya, 17 negara memasuki resesi ekonomi yang berkepanjangan.

Untuk itu perlu penanganan serius dalam hal ini, rakyat lagi menunggu gebrakan secara medis akibat pendemi virus Covid-19 dan pasar sudah menunggu akan stabilitas yang telah digadang sebagai bagian dari resep kebijakan ekonomi yang akan digulirkan.

Kita wajib berdoa kepada Allah SWt agar pandemi ini berakhir dan perekonomian makin sehat. Semoga.***


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler