Alex Litaay, Sebuah Pelajaran tentang Kesetiaan pada Megawati

Oleh: Andus Simbolon*

Kamis, 30 Juni 2016 – 05:05 WIB
Alex Litaay. Foto: Twitter

jpnn.com - ALEXANDER Litaay, Duta Besar RI untuk Kroasia meninggal dunia pada Minggu (26/6) di Zagreb. Saya dan teman-teman akrabnya lebih sering memanggilnya dengan panggilan Lexy.

Sepanjang yang saya ketahui, almarhum selalu serius mengerjakan tugasnya sebagai sekretaris jenderal PDI Perjuangan, bahkan saat  partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu masih bernama PDI. Saat terpilih sebagai anggota DPR, Lexy juga serius menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

BACA JUGA: HNW Minta Pemerintah Tetapkan Kasus Vaksin Palsu Jadi KLB

Satu hal yang khas dari sosok Lexy. Ketika sedang serius, maka jari tangan kanannya selalu memegang rambut di kepalanya dan seolah-olah sedang mancabutnya. Ekspresi wajahnya juga dingin. 

Namun, dia juga pendengar yang baik. Sering kali Lexy menyimak kisah-kisah lucu dari teman-temannya. Gaya tertawanya juga khas.

BACA JUGA: Digelandang ke Mobil Tahanan, Anak Buah SBY Sembunyikan Wajahnya

Ciri lain yang khas dari Lexy adalah penampilannya yang selalu rapi. Berkemeja dan celana berbahan kain menjadi pakaian favoritnya.

Ketika Megawati menunjuk Lexy sebagai Sekjen DPP PDI di Munas, Kemang, Jakarta Selatan tahun 1993, banyak yang mengapresiasinya. Waktu itu, khususnya internal PDI menilai Megawati telah membuat pilihan tepat.

BACA JUGA: KSAL: Perlu Kontribusi Seluruh Elemen Bangsa

Lexy punya latar belakang sebagai organisatoris handal. Jam terbangnya di berbagai organisasi juga tak diragukan lagi. Maklum, dia sebelumnya aktivis GMKI, bahkan pernah menjadi pucuk pimpinannya. Ia juga pernah memimimpin GAMKI dan bahkan pernah menjadi Ketua KNPI.

Sebelumnya, Pria kelahiran Ambon yang berulang tahun setiap tanggal 1 Oktober itu sudah aktif membantu Fraksi PDI di MPR menghadapi Sidang Umum MPR tahun 1992. Sebagai politisi, Lexy juga punya kelebihan lain. Yakni kemampuannya berbahasa Inggris dan bahasa Belanda. Dia lihai bercasciscus dengan dua bahasa asing itu.

Namun, seperti halnya Megawati, karier politik Lexy tidak selalu mulus. Mereka menghadapi tantangan dan cobaan berat untuk membesarkan dan membawa PDI sebagai partai politik bernafaskan kerakyatan.

Awalnya, penguasa Orde Baru yang tidak menyukai Megawati memimpin PDI berusaha menyingkirkannya. Puncaknya adalah pada hari Sabtu 27 Juli 1996, ketika kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta diserbu massa anti-Megawati.

Penyerbuan itu membuat PDI porak-poranda. Partai berlambang kepala banteng itu terbelah antara PDI Pro-Meg dan PDI Pro-Kongres. Ada 29 orang pengurus DPP PDI periode 1993-1998 atau hasil munas di Kemang yang terbelah antara setuju dan menolak kongres untuk melengserkan Megawati.

Ada 19 orang pengurus DPP yang dipelopori Fatimah Achmad setuju menggelar kongres. Sedangkan sepuluh petinggi DPP lainnya  menolaknya.

Kesepuluh orang pengurus DPP PDI yang menentang kongres itu adalah Megawati (ketua umum), Lexy(sekjen), Kwik Kian Gie (ketua), Soetardjo Soerjogoeritno (ketua), I Gusti Ngurah Sara (ketua), Mangara Siahaan (ketua), Suparlan (ketua), Haryanto Taslam (wakil sekjen), Laksamana Sukardi (bendahara umum) dan Noviantika Nasution (wakil bendahara).

Mereka secara tegas menolak kongres itu karena memang hanya rekayasa menggulingkan Megawati dan melanggar konstitusi partai. Namun, fakta menunjukkan bahwa kongres di Medan atau yang dikenal dengan PDI Soerjadi berjalan mulus dan sukses karena disokong oleh penguasa termasuk pimpinan ABRI.

Maka kemudian Soerjadi tanpa halangan terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum PDI, sedangkan sekretaris jenderalnya adalah  Buttu Hutapea. Sejak itulah perjalanan politik Lexy berliku karena harus menghadapi berbagai upaya pihak lain yang menggerogoti kepemimpinan Megawati.

Upaya menggerogoti kepemimpinan Megawati sebetulnya sudah dilancarkan tahun 1995. Orang-orang PDI yang menyebut dirinya DPP PDI Reshuffle menggoyang kepengurusan DPP PDI hasil Munas Kemang. Bahkan pada tahun itu, Lexy diculik selama beberapa hari.

Itulah salah satu ujian berat yang dihadapi Lexy. Dia hilang beberapa hari karena disekap.

Selama penyekapan itu pula Lexy dia diiming-imingi, ditawari uang dan harta, termasuk saham perusahaan tambang. Syaratnya, ia mau membelot ke DPP PDIP Reshuffle dan meninggalkan posisi Sekjen DPP PDI pimpinan Megawati.

Tapi Lexy  menolak semua tawaran itu dan lolos dari penyekepan. Ia lantas menemui Megawati dan menyatakan kesetiaannya kepada putri Proklamator RI Soekarno itu sebagai ketua umum PDI yang sah dan konstitusional berdasarkan hasil Munas Kemang tahun 1993.

Tapi perpecahan di jajaran elite PDI saat itu memang sudah merembet ke daerah. Bahkan saat itu lebih banyak pengurus DPD (provinsi), DPC (kabupaten/kota), bahkan tingkat kecamatan yang setuju kongres Medan pimpinan Soerjadi.

Namun, Lexy seolah tak pernah menyerah dalam berjuang bersama Megawati membesarkan PDI.  Bisa dibayangkan, seperti apa tantangan yang dihadapi Megawati dan Lexy saat itu karena penguasa dan ABRI dengan tegas sudah tidak mengakui kepengurusan PDI hasil munas Kemang.

Dalam suasana seperti itu, Lexy bersama Haryanto Taslam, Mangara, Noviantika dan tokoh PDI Pro-Meg yang lain secara terus-menerus mengonsolidasikan kekuatan para pendukung Megawati. Siang malam mereka bekerja dengan segala keterbatasan dan risiko termasuk menghadapi tekanan maupun ancaman dari penguasa.

Mereka bahkan rela meninggalkan keluarga demi berjuang membela panji-panji PDI Pro Meg. Dan ternyata mereka bisa bertahan hingga Orde Baru runtuh pada 1998.

Pada kongres pertama PDI Pro-Meg pasca-reformasi yang digelar di Bali, 1998, Lexy kembali dipercaya menjadi sekretaris jenderal. Kongres itu berjalan sukses luar biasa karena kerja Lexy dan kawan-kawan.

Kongres ini diadakan untuk menghadapi pemilu 1999 setelah Soeharto lengser dan BJ Habibie menjadi Presiden RI. PDI pimpinan Megawati pun memilih untuk berganti nama menjadi PDI Perjuangan.

Lexy juga sangat berperan dalam acara deklarasi berdirinya PDI Perjuangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Kongres I PDI Perjuangan di Semarang yang diselenggarakan berkat kerja keras Lexy pun berjalan sukses. Tapi, dia sudah tidak masuk lagi dalam kepengurusan.

Namun, pada kongres 2010, Megawati yang terpilih kembali sebagai ketua umum lagi-lagi menunjuk Lexy sebagai salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan. Hal itu membuktikan bahwa Megawati masih membutuhkan tenaga dan pikiran Lexy.

Yang tak kalah penting, menarik Lexy ke struktur DPP PDIP juga sebagai pengakuan atas kiprah politikus asal Maluku itu. Terlebih, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP memang mulai mengalami guncangan karena kader-kadernya terseret berbagai kasus.

Lexy juga pernah bercita-cita menjadi Gubernur Maluku. Tetapi sayang, pencalonannya tak didukung partainya sendiri.

Pada Pemilu Legislatif 2014, Lexy kembali maju sebagai calon anggota DPR. Tapi ia gagal melenggang ke Senayan.

Waktu Joko Widodo  terpilih menjadi presiden, nama Lexy malah sempat disebut-sebut sebagai salah satu menteri. Tapi, garis tangan justru menuntunnya menjadi Duta Besar RI di Kroasia.

Namun, Lexy bukan politisi yang cengeng dan suka merengek. Meski gagal jadi anggota DPR pada Pemilu 2014, tak diusung menjadi calon gubernur Maluku, bahkan tak masuk ke jajaran pembantu Presiden Joko Widodo di Kabinet Kerja, Lexy tidak pernah meratapi jalan hidupnya. Ia juga tetap konsisten menjadi politikus PDIP.

Hari ini, jika tak ada aral, Lexy akan dimakamkan di San Diego Hills, Karawang. DPP PDIP pun akan memberikan penghormatan terakhir untuk Lexy sebelum suami Maureen Littay M itu dimakamkan.

Dia memang pantas diberi penghargaan oleh partainya. Lexy telah meletakkan fondasi organisasi PDI Perjuangan seperti yang ada sekarang ini. Kepergiannya membawa kesedihan, seperti halnya ketika Haryanto Taslam dan Mangara Siahaan yang lebih pergi meninggalkan dunia yang fana ini.

Bung Lexy memang telah pergi untuk selama-lamanya. Tapi ia masih meninggalkan pelajaran berharga. Pelajaran tentang kepatuhan, kesetiaan, pengabdian dan kesabaran.

Loyalitas Lexy kepada Megawati memang menjadi catatan tersendiri. Entah, masih ada berapa figur seperti Lexy saat ini di PDIP…..(*****)

*Penulis adalah wartawan senior, saksi sejarah perjalanan politik Alex Litay dan PDI Perjuangan

 

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sprindik Baru Hadi Poernomo, Basaria: Bisa Saja!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler