Alex Noerdin, Hasan Aminuddin, dan Saiful Ilah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 18 September 2021 – 13:04 WIB
Alex Noerdin. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Orang-orang kuat itu akhirnya satu per satu ditangkap dan masuk penjara. Ada yang ditangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada yang dicokok oleh Kejaksaan Agung.

Terbaru mantan gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, ditangkap Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan tender proyek gas bumi semasa Alex berkuasa 2010-2019.

BACA JUGA: Ini Alasan Alex Noerdin Tak Jadi Ditahan di Rutan KPK

Orang-orang kuat itu menjalani petualangan politik dengan pola yang kurang lebih sama. Mereka menjadi kepala daerah dua periode, dan selama menjadi kepala daerah terlihat sangat dominan dan menguasai perpolitikan di daerahnya. Setelah pensiun mereka tidak berhenti berkarier, tetapi lanjut menjadi anggota DPR.

Ini pola jenjang karier yang umum dipakai oleh orang-orang kuat itu. Tujuannya, tentu saja, untuk mencari perlindungan politik. Dengan menjadi anggota DPR, setidaknya, ia merasa bisa mendapatkan proteksi politik, dan bersamaan dengan itu masih bisa mengontrol wilayah kekuasaannya yang lama.

BACA JUGA: Alex Noerdin Tersangka Korupsi, Herman Deru Blak-Blakan soal Hubungan Mereka, Oh Ternyata

Tidak sulit bagi orang-orang kuat itu untuk menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan di bekas wilayah kekuasaannya.

Sepuluh tahun menjadi kepala daerah membuatnya sangat mudah mengumpulkan suara untuk menjadi anggota DPR. Logistik yang memadai dan jaringan birokrasi yang sudah dikuasai di daerah, makin membuat langkah ke Senayan terasa enteng dan lancar.

BACA JUGA: Alex Noerdin Ditahan Kejagung, Jubir: Menjadi Tersangka Bukan Berarti Mutlak Bersalah

Untuk menjaga keamanan di daerahnya orang-orang kuat itu menyiapkan suksesi, dengan memasang orang dekatnya sebagai kepala daerah. Biasanya, pilihan pertama adalah anak atau istri. Kalau tidak ada anak istri, dia mencari calon orang-orang kepercayaan.

Cara yang pertama dianggap lebih aman, atau malah paling aman. Tindakan nepotisme dengan memasang istri atau anak sebagai penerus kekuasaan dinasti menjadi modus operandi yang dilakukan orang-orang kuat itu.

Hasan Aminuddin, dari Probolinggo, memakai pola dinasti itu. Setelah dua periode berkuasa sebagai bupati, Hasan mendesain istri sambungnya, Puput Tantriana Sari, sebagai bupati penerus. Bersamaan dengan itu, Hasan meneruskan kariernya menjadi anggota DPR RI.

Sekali tembak dua burung jatuh. Sekali dayung dua pulau terlewati. Itulah pepatah yang cocok untuk menggambarkan manuver politik orang-orang kuat seperti Hasan dan lain-lainnya.

Dengan menjadikan sang istri sebagai bupati penerus, sekaligus menjadikan dirinya sebagai anggota DPR, dia bisa menembak dua burung dengan satu peluru, dan melewati dua pulau dengan sekali dayung.

Hasan Aminuddin sukses mempertahankan dominasi mutlak di Probolinggo. Istrinya bisa meneruskan tradisi kekuasaan dengan baik. Sementara Hasan mengawal dari belakang menjadi bupati bayangan. Orang-orang kuat seperti ini sering disebut sebagai ‘’bupati malam’’, sementara sang istri disebut sebagai bupati siang.

Pengaruh politik Hasan masih tetap dominan, katebelecenya sangat sakti dan tidak ada yang berani membantah. Setoran dan upeti tetap mengalir lancar. Saking lancarnya, sampai upeti itu menjadi sebuah tradisi, tidak terasa sebagai korupsi.

Setor upeti dengan nilai tertentu untuk menjadi kepala desa atau camat adalah tradisi, bukan korupsi.

Setor upeti untuk mendapatkan jabatan di dinas tertentu adalah tradisi, tidak terasa sebagai korupsi. Hal yang sama juga dilakukan untuk mengakali tender proyek untuk memenangi perusahaan para kroni.

Setoran sekian persen dari nilai keuntungan proyek yang diserahkan kepada para kepala daerah dianggap sebagai tradisi, bukan korupsi.

Orang-orang kuat itu menjalani tradisi ini selama puluhan tahun. Hal ini sudah menjadi habitus yang terinternalisasi secara otomatis, dan tidak terasa sebagai sebuah kejahatan.

Karena tradisi ini sudah menjadi kebiasaan di lingkungan itu, maka setiap orang mengikutinya sebagai sebuah prosedur yang wajar, tidak terasa ada yang janggal.

Ibarat orang masuk kakus. Awalnya mungkin dia mencium bau tidak sedap. Dia akan melakukan adaptasi. Kalau dia tidak tahan dia akan keluar dari kakus.

Kalau dia tahan dia akan beradaptasi dengan bau kakus itu. Bau busuk itu lama kelamaan tidak dia rasakan, dan malah dia cium sebagai bau yang sedap. Setelah itu dia pun ikut mengeluarkan bau busuk dan dia menikmatinya.

Korupsi yang sudah berlangsung secara sistematis selama puluhan itu sama dengan ‘’teori kakus’’ itu. Orang yang tidak tahan akan keluar, tetapi yang tahan akan tetap tinggal di dalam dan akhirnya ikut menikmati bau khas kakus itu.

Karena itu ketika seorang kepala daerah tertangkap basah oleh KPK, mereka menyangkal keras tuduhan korupsi itu. Kasus yang terjadi kepada mantan bupati Sidoarjo Saiful Ilah, mungkin bisa menjadi ilustrasi yang menarik.

Ia ditangkap oleh petugas KPK yang mendatanginya di rumah dinas menjelang dini hari. Ada banyak tamu di situ, salah satunya membawa tas bingkisan berisi segepok uang.

Petugas KPK menangkap Saiful beserta barang bukti itu. Saiful menyangkal keras bahwa ia menerima sogokan. Ia tidak merasa menerima uang itu, dan ia malah tidak tahu ada orang yang malam itu membawa uang gepokan untuknya.

Sangat mungkin bahwa Saiful tidak mengetahui malam itu ada orang yang membawa upeti. Sangat mungkin juga Saiful tidak tahu siapa saja yang memberinya upeti pada hari-hari lain sebelumnya.

Semua berjalan normal menjadi habitus yang mulus, tidak terlihat ada praktik janggal dalam setor-menyetor upeti itu.

Saiful Ilah menjadi sosok yang tepat untuk menggambarkan profil orang kuat daerah. Orang-orang kuat semacam ini menjadi raja besar di daerahnya.

Selama ini orang menjulukinya sebagai sebagai raja kecil di daerah, padahal sebenarnya, dalam praktik, dia adalah raja besar di daerah.

Saiful menjadi wakil bupati selama sepuluh tahun. Lalu menjadi bupati sepuluh tahun. Sebelum menjadi pejabat dia adalah pengusaha tambak yang sudah dikenal sebagai tuan tanah. Setelah menjadi penguasa daerah tradisi tuan tanah itu masih terus berlangsung.

Saiful sudah menyiapkan anaknya untuk melanjutkan dinasti politik. Namun, terlambat. Sebelum anaknya bisa di-install menjadi bupati, Saiful sudah keburu dicokok KPK.

Sekarang Saiful mendekam di penjara dan masih menunggu sidang lanjutan perkara korupsi lainnya. Ia bisa menghabiskan sisa umurnya belasan tahun di penjara.

Alex Noerdin juga punya rekam jejak politik yang kurang lebih sama dengan orang-orang kuat di berbagai daerah lain. Selama sepuluh tahun menjadi gubernur, Alex terlihat begitu powerful dan full power. Alex sangat berani mengambil langkah-langkah terobosan besar. Ia membangun infrastruktur daerahnya, dengan memancing anggaran dari pusat melalui proyek-proyek nasional maupun internasional.

Terobosan Alex dalam membangun kompleks olahraga Jakabaring merupakan terobosan yang berani. Di masa Alex berkuasa, Jakabaring menjadi salah satu sarana olahraga bertaraf internasional, yang dipakai tempat penyelenggaraan even-even olehraga level Asia Tenggara dan Asia.

Di Masa Alex, Sumatera Selatan sangat aktif menjadi tuan rumah berbagai even olahraga, bisnis, dan budaya internasional. Alex berani dan cenderung nekat. Dia menjadi salah satu jago Golkar dan pernah dicoba untuk bertanding di kontestasi pemilihan gubernur DKI, tetapi gagal.

Semasa kekuasaan Alex banyak proyek-proyek besar yang berbau kurang sedap, tetapi seolah tidak terdeteksi. Banyak manuver-manuver Alex yang ngeri-ngeri sedap dan menyerempet bahaya. Alex bisa berakrobat dengan lincah, tetapi akhirnya kepeleset juga.

Alex lolos dari KPK, tetapi dicokok oleh Kejaksaan Agung. Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya kena cokok juga. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler