jpnn.com - JAKARTA - Kemarin rupiah mulai rebound atau menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (USD), setelah terdepresiasi enam hari berturut-turut.
Staf Khusus Wakil Presiden bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin mengatakan, beberapa faktor penyebab mulai menguatnya rupiah adalah pengumuman paket kebijakan ekonomi dan langkah Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI Rate di level 7,5 persen.
BACA JUGA: Trik Perajin Tempe Siasati Imbas Rupiah Melemah
"Dua hal itu cukup melegakan pelaku pasar," ujarnya kepada Jawa Pos (induk JPNN) kemarin (17/3).
Data kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI kemarin menunjukkan, rupiah ditutup di 13.209 per USD, menguat 28 poin dibanding penutupan hari sebelumnya yang di posisi terlemah 13.237 per USD.
BACA JUGA: Bidik 11,2 juta Penumpang, Citilink Beli Pesawat Airbus A320 Tahun Ini
Sementara itu di pasar spot, data Bloomberg menunjukkan, rupiah kemarin di posisi 13.180 per USD, menguat 64 poin dibanding penutupan hari sebelumnya. Penguatan 0,49 persen terhadap USD ini adalah yang terbesar ke-2 dibandingkan 12 mata uang utama di kawasan Asia Pasifik lainnya. Penguatan terbesar dicapai dolar New Zealand sebesar 0,52 persen.
Kemarin, hampir semua mata uang regional memang menguat atau rebound terhadap USD setelah beberapa hari sebelumnya terdepresiasi cukup tajam. Selain dolar New Zealand dan rupiah, mata uang yang menguat cukup besar terhadap USD adalah won Korea Selatan sebesar 0,25 persen.
BACA JUGA: Ajak Publik Waspadai Begal Kontrak Migas Blok Mahakam
Satu-satunya mata uang yang masih terdepresiasi terhadap USD adalah peso Filipina yang kemarin melemah cukup signifikan 0,37 persen.
Menurut Wijayanto, paket kebijakan ekonomi menjadi sinyal bahwa reformasi struktural terus digulirkan. Artinya, fundamental perekonomian Indonesia yang sudah cukup solid, akan kian solid.
Sedangkan langkah BI mempertahankan BI Rate, meredam kegundahan investor yang sempat memproyeksi BI Rate akan kembali diturunkan mengingat deflasi pada Januari dan Februari.
Wijayanto menyebut, jika BI kembali menurunkan BI Rate, maka pasar akan menangkap sinyal bahwa hal itu merupakan kebijakan jangka menengah untuk secara gradual kembali menurunkan BI Rate.
Berdasar pengalaman, penurunan BI Rate memang mudah sekali memicu capital outflow atau pelarian modal ke luar negeri. "Kalau pasar punya persepsi seperti itu, akan memicu capital outflow besar-besaran," katanya.
Wijayanto mengatakan, yang perlu dilakukan saat ini memang menenangkan pelaku pasar, investor, dan masyarakat. Sebab, dalam kondisi depresiasi tajam hampir semua mata uang global terhadap USD seperti satu bulan terakhir, pasar menjadi mudah panik.
Akibatnya, nilai tukar mata uang tidak lagi ditentukan faktor fundamental, namun lebih tergantung pada faktor psikologis. "Apalagi, herd behavior (perilaku ikut-ikutan jual atau beli) masih sangat dominan," jelasnya.
Padahal, lanjut dia, performa rupiah sebenarnya tidak buruk. Bahkan kalau ditarik grafik dari Januari 2014 hingga Maret 2015, rupiah sebenarnya menguat terhadap ringgit Malaysia, dolar Singapura, yen Jepang, dan dolar Australia. Apalagi, berdasar historis pergerakan rupiah, setiap tahun rata-rata terdepriasi sekitar 5 persen terhadap USD.
"Artinya, dalam kondisi normal saja,level 13.000 per USD ini juga akan tercapai, apalagi saat ini ada fenomena penguatan USD," ujarnya.
Karena itu, menurut Wijayanto, yang harus dilakukan pemerintah dan BI saat ini adalah menjaga stabilitas rupiah agar tidak terlalu volatil. Jika memang rupiah harus melemah terhadap USD karena faktor global, maka pelemahan tersebut harus landai, tidak boleh terlalu tajam.
"Itu yang paling utama agar pelaku ekonomi tidak terombang ambing dalam ketidakpastian," katanya. (owi/mia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Jonan Minta Transaksi di Sektor Transportasi Pakai Rupiah
Redaktur : Tim Redaksi