Ali Taher: Rekonsiliasi Partai Politik di Parlemen Akan Berjalan Alami

Senin, 29 Juli 2019 – 20:30 WIB
Fraksi PAN MPR RI Ali Taher Parasong dan pakar Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing dalam diskusi empat pilar MPR bertema Rekomendasi Amandemen (Konstitusi) Terbatas Untuk Haluan Negara. Foto: MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Diskusi menyoal MPR RI makin sering dilakukan menjelang berakhirnya keanggotaan periode 2014-2019 pada Oktober mendatang.

Salah satunya adalah diskusi Empat Pilar MPR yang berlangsung di ruang media center MPR/DPR/DPD RI, Senin (29/7). 

BACA JUGA: Hmm, Ternyata Ini Alasan MPR Ngebet Mengamendemen UUD

Diskusi itu menghadirkan dua narasumber, yaitu anggota Fraksi PAN MPR RI Ali Taher Parasong dan pakar Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing. Keduanya membedah tema Rekomendasi Amandemen (Konstitusi) Terbatas Untuk Haluan Negara.

BACA JUGA: GBHN Dihidupkan Lagi, Buka Peluang MPR Bisa Makzulkan Presiden

BACA JUGA: Pemilihan Pimpinan MPR Berpotensi Jadi Pertarungan Tiga Kubu

Menurut Ali, isu tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi tema yang menarik, menghadapi wacana amandemen  terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain persoalan GBHN, kata Ali Taher, nyaris tidak ada lagi isu yang lebih menarik.

BACA JUGA: Pengamat: Pemilihan Pimpinan MPR Sebaiknya Lewat Musyawarah

Namun, wacana amandemen tersebut tidak bisa dilaksanakan pada sisa periode anggota MPR tahun 2014-2019.

Karena itu, Ali Taher mengaku tetap mendukung rencana pelaksanaan amandemen terhadap UUD NRI 1945 yang salah satu agendanya adalah mengembalikan GBHN ke dalam konstitusi.

Dengan kembalinya GBHN ke dalam konstitusi, diharapkan dapat menjadi alat ukur keberhasilan pembangunan yang dijalankan pemerintah.

Tidak seperti sekarang, pemerintah melakukan pembangunan hanya berdasarkan Visi dan Misi saat kampanye.

Menyinggung masalah  rekonsiliasi partai politik di parlemen setelah Pemilu, Ali Taher berpendapat hal itu akan berjalan alami.

Memang, awalnya  terasa sulit sebagai akibat kontestasi yang keras dalam pemilu. Namun, seiring berjalannya waktu, partai-partai yang sempat bersitegang itu akan mencair dengan sendirinya.

“Hampir sulit lembaga legislatif bisa berlaku sebagai penyeimbang jika koalisi pemerintah hasil pemilu 2019 terlalu gemuk. Padahal, salah satu fungsi DPR itu jelas sebagai lembaga pengawas”, kata Ali Taher.  

Mestinya, kata Ali Taher, jumlah partai oposisi setidaknya jangan sampai terpaut terlalu jauh.

Ini penting agar keseimbangan bisa benar-benar diwujudkan. Karena kalau tidak, koalisi pemerintah yang terlampau gemuk bisa memicu munculnya tirani kekuasaan.

“Pembangunan tol misalnya, ternyata tidak cukup signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan. Padahal, seluruh potensi pendanaan terlanjur dikerahkan untuk pembangunan infrastruktur termasuk jalan bebas hambatan”, kata Ali.

Pernyataan serupa disampaikan pakar Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing. Menurutnya, sebaiknya bangsa Indonesia kembali kepada model GBHN.

Hanya saja, GBHN itu hanya mencantumkan gari-garis besar pembangunan, tidak termasuk masalah teknis. Agar tidak membatasi kreativitas dan manajerial presiden.

Menyangkut persoalan parpol koalisi yang terlalu gemuk, kata Emrus, bukanlah hambatan bagi partai oposisi untuk melakukan check and balance.

Asal tema dan isu yang dilemparkan benar-benar membela kepentingan rakyat, persoalan jumlah tidak akan menjadi masalah.

“Apalagi saat ini ada media sosial. Bukankah media sosial itu saat ini sudah melakukan fungsi kontrol melebihi anggota DPR sendiri. Jadi jumlah sebenarnya bukanlah persoalan untuk menghidupkan keseimbangan di parlemen,” kata Emrus. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Harus Menunggu Momen Yang Tepat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
MPR RI  

Terpopuler