jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mendukung sikap dan langkah pemerintah melalui Menteri Luar Negeri untuk mengecam tindakan intoleran kelompok ultra nasionalis ekstremis kanan di Swedia dan Norwegia yang menodai dan membakar Alquran. Aksi kelompok radikal kanan itu bahkan meluas hingga ke Denmark.
Legislator yang beken disapa dengan inisial HNW ini juga menilai sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, DPR RI, PBB dan Moslem World League sudah tepat dengan menolak keras tindakan intoleran yang menodai, merobek, meludahi dan membakar Alquran yang disucikan oleh umat beragama terbesar kedua di Eropa.
BACA JUGA: Warga Norwegia Ludahi Alquran, PSI: Itu Bukan Kebebasan Berpendapat, Pantas Dikecam
"Tindakan kriminal itu dilakukan oleh kelompok intoleran, radikal esktrem kanan di tiga negara Skandinavia tersebut. Sangat disesalkan peristiwa yang mengancam perdamaian ini terulang kembali bahkan dimulai dari Swedia, negara yang sangat terkenal dengan semangat perdamaian dengan Hadiah Nobelnya itu,” kata HNW di Jakarta, Rabu (2/9).
Anggota Komisi VIII DPR RI ini berharap kepada pemerintah untuk melakukan aksi lebih konkret di forum internasional dengan tetap memperhatikan kedaulatan negara. Terutama memaksimalkan potensi Indonesia di PBB dan OKI. Apalagi Duta Besar RI di Oslo, Norwegia, saat ini dijabat salah satu tokoh senior hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, yakni Todung Mulya Lubis.
BACA JUGA: Selain Aspek Halal, HNW Minta Pemerintah Jangan Cuma Mengandalkan Vaksin Tiongkok
“Perlu ada protes dan kritik kepada negara-negara di Skandinavia itu. Juga dukungan agar mereka dapat efektif menyelesaikan masalah radikalisme ultranasionalis ini, dan mengingatkan kembali bahwa pembakaran kitab suci suatu agama bukan kebebasan berpendapat. Itu justru melanggar HAM dan bentuk dari penodaan agama,” tegas legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Selain itu, HNW berharap umat Islam tidak terprovokasi apalagi melakukan tindakan destruktif, karena itu bukan solusi tetapi sebaliknya menjadi bumerang. Namun, dia menilai perlu ada desakan serius kepada Council of Europe (Majelis Eropa) yang bertanggung jawab berkaitan dengan urusan HAM di benua Eropa.
BACA JUGA: Bamsoet: Komunitas Pedagang Bakso Menunjukkan Semangat Pancasila
Organisasi yang memiliki 47 negara anggota tersebut, termasuk Swedia, Norwegia dan Denmark, juga perlu mengambil tanggung jawab dan menunjukkan keseriusan dalam menolak tindakan kriminal intoleran seperti itu. Serta, mencari solusi operasional terkait fenomena munculnya ultra nasionalis ekstrem karena itu menyuburkan sikap intoleran, radikalisme dan melanggar HAM di Eropa, terutama yang terjadi belakangan ini di negara-negara Skandinavia.
Indonesia juga bisa memprakarsai dengan mengambil peran melalui forum diskusi dengan Council of Europe di Strasbourg, Perancis untuk mencari solusi terkait penghentian fenomena yang menumbuh suburkan intoleran dan radikalisme terorisme, dan mengancam ketertiban serta perdamaian dunia seperti yang luas dipraktekkan oleh kalangan ekstremis radikal kanan ini.
"Karena tindakan itu dapat memicu konflik tidak hanya di Eropa, tetapi bisa meluas ke belahan dunia lainnya. Tindakan teror ekstremis kanan atau para ultra nasionalis itu jelas melanggar HAM orang lain juga,” tegas HNW.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini mencatat bahwa Council of Europe melalui peradilan yang ada di bawahnya, yakni the European Court of Human Rights (Pengadilan HAM Eropa) sebenarnya telah menerbitkan beberapa putusan pengadilan yang membela kehormatan agama. Misalnya, kasus Nyonya E.S vs Austria yang diputus pada Oktober 2018 lalu.
Dalam kasus itu, jelas HNW, Nyonya E.S. dihukum oleh pengadilan negeri Austria karena menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai pedofilia. Tidak terima dengan putusan itu, Nyonya E.S. mengadu ke Pengadilan HAM Eropa dengan argumen bahwa aturan domestik Austria yang menjerat dirinya itu bertentangan dengan Konvensi HAM Eropa.
Namun, Pengadilan HAM Eropa menolak argumen Nyonya E.S. Pengadilan HAM Eropa berpendapat bahwa menampilkan sosok yang berkaitan dengan keagamaan secara provokatif dapat menyakiti perasaan para pengikut agama tersebut. Hal itu juga dapat dianggap sebagai pelanggaran berbahaya terhadap semangat toleransi yang merupakan salah satu basis dari masyarakat demokratis.
“Kasus itu bisa menjadi rujukan kita bersama terkait hubungan HAM dan Kehormatan suatu agama. Namun, saat ini yang perlu diselesaikan dan temukan solusinya adalah bagaimana fenomena radikalisme dan intoleran ekstrim kanan atau ultra nasionalis yang melecehkan agama di Eropa itu bisa segera dihentikan untuk mewujudkan kehidupan toleransi dan menguatkan praktek demokrasi,” pungkasnya.(*/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam