jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta, melarang mahasiswi bercadar menimbulkan banyak kecaman.
Salah satunya dari alumnus UIN Sunan Kalijaga Poetra Adi Soerjo.
BACA JUGA: Politikus PKS Minta Rektor UIN Cabut Larangan Bercadar
Menurut staf khusus pimpinan DPR RI bidang pendidikan dan kesra itu, kebijakan rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi menimbulkan kegaduhan yang tak seharusnya terjadi akibat gagal metodologi
Soerjo menyebut Yudian menciptakan rational public discourse yang melahirkan empati publik kepada para pengguna cadar.
BACA JUGA: Larangan Mahasiswi Bercadar, Ketua MPR: Di Eropa Saja Boleh
Kebijakan Yudian juga dinilai sebagai tindakan yang tidak mencerminkan sikap seorang cendikia yang seharusnya toleran dan terbiasa dengan ragam perbedaan dan pendekatan.
Menurut Soerjo, hidup di tengah multikulturalisme memang tidak mudah. Masyarakat harus terus belajar untuk saling memahami dan menerima perbedaan, “Cadar adalah ekspresi dari keyakinan seorang individu yang harus dihormati. Ini bukan tentang apakah cadar adalah bagian dari pokok ajaran Islam atau tidak. Ini terkait dengan ekspresi keyakinan dan prinsip hidup seorang individu,” kata Soerjo, Jumat (9/3).
BACA JUGA: Ketua DPR Anggap Larangan Mahasiswi Bercadar Tak Berdasar
Soerjo menambahkan, mengenakan cadar dijamin konstitusi asalkan tidak bertentangan dengan norma dan melakukan tindakan yang merugikan pihak lain.
“Demokrasi adalah seni hidup di tengah kompleksitas. Butuh pikiran besar untuk mengelola kompleksitas. Tak ada jalan shortcut untuk menertibkan dinamika kehidupan demokratis. Maka, anasir otoriter tak lagi mendapatkan tempat dalam demokrasi” ujar Soerjo.
Soerjo mengaku tidak menemukan alasan yang cukup substansif dari penjelasan Yudian mengenai larangan mahasiswi bercadar.
Salah satunya alasan Yudian yang ingin menjadikan UIN sebagai kampus negeri yang mengajarkan Islam moderat.
“Pak Rektor, kan, tidak melarang cadar terkait pertimbangan ajaran agama. Itu bagus karena tidak menarik publik masuk dalam perdebatan boleh tidaknya cadar dalam Islam. Pak Rektor semata mata ingin menunjukkan kampusnya sebagai Islam moderat. Namun, apa hubungannya menunjukkan Islam moderat dengan melarang cadar? Apakah cadar itu identik dengan radikalisme dan pasti tidak moderat,” kata Soerjo.
Menurut Soerjo, hal itu berbahaya karena bisa memberi stereotip negatif terkait orang yang mengenakan cadar.
Dia menambahkan, Islam moderat seharusnya dipahami sebagai Islam yang toleran dan bisa menerima perbedaan.
Suryo menjelaskan, di portal UIN Sunan Kalijaga memang hanya tertulis busana resmi civitas academika harus memenuhi persyaratan nilai-nilai keislaman, kesopanan, dan keindonesiaan.
Suryo berpendapat penggunaan cadar tidak melanggar mutual consent berbusana di UIN.
“Kalau rektor mau buat aturan baru yang mengikat mahasiswa, maka perikatannya harus di depan. Mutual consent itu tak bisa dibuat secara sepihak di tengah jalan tanpa agreement sebelum masuk lalu mengeluarkan orang yang melanggar. Kalau di depan orang punya pilihan untuk gabung atau tidak” lanjut Soerjo. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Mbak Puan soal Pelarangan Bercadar di UIN Jogja
Redaktur & Reporter : Ragil