jpnn.com - Retorika dan aksi Donald Trump pada perbatasan di sisi selatan terus memancing protes dan keluhan dari sebagian penduduk AS. Tak cuma itu, nestapa juga dirasakan warga Meksiko yang mepet dinding.
Jose Arias tak punya niat lain saat membangun altar persembahyangan di samping rumahnya. Dia hanya ingin bersyukur atas kesembuhannya dari serangan jantung 15 tahun silam.
BACA JUGA: Kota-Kota Perbatasan Tolak Kebijakan Presiden Trump
BACA JUGA: 8 Kebohongan Trump dalam Pidato State of the Union
Altar itu kian lebar saat istri dan putra Arias menghadap Sang Pencipta. Kini altar di Tijuana, Meksiko, itu menjadi tetenger untuk orang-orang tercinta Arias.
BACA JUGA: 8 Kebohongan Trump dalam Pidato State of the Union
Bangunan mungil berwarna putih dan ungu itu sudah penuh foto keluarga, patung malaikat, kaleng bir, dan bingkai gambar Virgin of Guadalupe, istilah untuk Bunda Maria pada masyarakat setempat.
Persis di belakang altar itu, sejajar dengan rumah putrinya, berdiri barisan palang baja yang rapat dan menatang langit. Ya, itulah dinding yang memisahkan AS dan Meksiko.
BACA JUGA: Pidato Tahunan, Trump Ajak Amerika Intoleran kepada Imigran
Arias tak pernah mempermasalahkan tembok itu. "Kenapa Anda membangun pagar di sekitar rumah? Tentu saja untuk melindunginya," ujar pria 84 tahun tersebut kepada Associated Press.
Namun, dia bersama keluarga yang sudah tinggal di kawasan itu sejak 1957 tersebut hampir saja terkena masalah. Gedung Putih ingin mengganti pagar lama sepanjang 14 mil alias 22 kilometer di perbatasan San Diego, California, dan Tijuana, Baja California. Tentu saja termasuk pagar di sekitar rumah Arias tersebut.
Setelah diusut, ternyata bagian belakang tempat peribadatan Arias dan rumah putrinya, Esther, melanggar wilayah AS. Tepatnya satu kaki atau 30 sentimeter melebihi batas resmi. Tapi, ada toleransi.
"Saya rasa tidak ada niat jahat. Mereka tidak tahu bahwa lahan itu milik pemerintah AS," ujar Kepala Bagian Patroli Perbatasan San Diego Rodney Scott.
Hal itu pun membuat keluarga besar Arias bernapas lega. Selama hampir 60 tahun tinggal di Colonia Libertad, desa perbatasan Meksiko-AS, dia sudah membesarkan 14 anak. Rumah dulu yang masih beralas tanah kini sudah dilapisi kayu.
Karena itu, dia tahu sejarah desa tersebut. Pada 1980-an desa itu memang dibuat imigran ilegal sebagai pintu masuk ke AS. Saking ramainya, desanya dipenuhi toko dan restoran. "Bagi mereka, desa ini sama saja dengan izin masuk gratis," ujar Arias.
BACA JUGA: Gagal Bangun Tembok, Trump Kirim 3.750 Tentara ke Perbatasan
Mereka biasanya menyeberang dengan impian menjadi atlet sepak bola atau bisbol. Tentu saja, ekonomi desa melambat setelah tembok dibangun. Warung taco Arias juga pada akhirnya tutup.
Namun, dia tak pernah menyalahkan AS. Bahkan, dia berterima kasih bahwa rumahnya tak jadi digusur akibat revitalisasi pembatas itu. Meski, dia heran kenapa dana USD 147 juta (sekitar Rp 2 triliun) dihabiskan untuk mengganti tembok. Bukan membangun sekolah atau rumah sakit.
Sementara itu, Scott mengaku bahwa hal tersebut salah satu bentuk kebijakan AS yang fleksibel. "Ada yang bilang keamanan perbatasan itu kaku. Salah. Hukum dan kasih sayang itu bisa seiring," tegasnya.
Karena itu, dia mengaku setuju dengan adanya kebijakan menutup perbatasan. Namun, tak semua warga AS berpikiran seperti Scott. Misalnya, penduduk di kampung masa kecil Scott, Nogales.
Sherrie Nixon, warga lokal Nogales, ingin menangis saat melihat tentara memasang enam baris kawat tajam (razor wire) di tembok pembatas mereka. Dia merasa miris bahwa kota mereka yang relatif aman dibuat seperti wilayah paling berbahaya di dalam negara.
"Mereka (pemerintah) mengubah kota kita menjadi markas militer. Seakan-akan kami ada di wilayah terdepan dalam peperangan," ujar perempuan 68 tahun itu di hadapan Dewan Kota Nogales Rabu malam (6/2) seperti dilansir Reuters.
BACA JUGA: Kota-Kota Perbatasan Tolak Kebijakan Presiden Trump
Penduduk lainnya pun setuju dengan Nixon. Mereka merasa bahwa hal itu akan mengancam ekonomi kota. Selama ini mereka juga mengandalkan warga Heroica Nogales, Sonora, Meksiko, sebagai konsumen mereka. "Kami tidak terima. Ada anak yang tinggal 3 meter dari kawat itu," ujar Wali Kota Nogales Arturo Garino.
Ironis, Garino sudah meminta agar kawat tajam yang dipasang di atas tembok bisa dilepas saat Senator Martha McSally berkunjung bulan lalu. Namun, pekan lalu otoritas malah menambah lapisan kawat itu. (Mochamad Salsabyl Ad'n/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Trump dan Kim Jong Un Kembali Bertemu Akhir Februari
Redaktur & Reporter : Adil