jpnn.com, JAKARTA - Fraksi PDIP menginginkan amendemen terbatas UUD NRI 1945. Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah berpandangan amendemen konstitusi hanya terbatas pada Pasal 3 UUD NRI 1945.
Fraksinya memandang dalam Pasal 3 itu perlu ditambah kewenangan MPR menetapkan haluan negara.
BACA JUGA: Apresiasi Partai Demokrat untuk Sikap Politik Presiden Jokowi soal Amendemen UUD
“Jadi, menambah frasa kalimat yang di sana awalnya berbunyi “Wewenang MPR mengubah dan menetapkan UUD" ditambah frasa kalimat “Berwenang menetapkan haluan negara yang nanti konsepsi haluan negara dan pembangunan nasionalnya disusun oleh eksekutif," kata Basarah dalam diskusi "Pelaksanaan Rekomendasi MPR 2014-2019" di Media Center, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/12).
Menurutnya, tidak mungkin konsep pembangunan nasional yang bersifat teknokratis itu dirancang politikus di MPR. Sebab, MPR bukan tempatnya para teknokrat. Dia menegaskan bahwa teknokrat itu ada di pemerintah. “Karena presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD NRI 1945,” ujarnya.
BACA JUGA: Amendemen UUD, PDIP Tak Akan Hapus Pembatasan Masa Jabatan Presiden
Dia mengatakan presiden memiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Riset dan Inovasi Nasional, punya pakar-pakar perguruan tinggi dan sebagainya. "Merekalah yang menyusun rancangan konsepsi pembangunan nasional bangsa Indonesia untuk jangka menengah dan jangka panjang,” katanya.
Menurut Basarah, lembaganya nantinya mengharmonisasi untuk menetapkan menjadi Tap MPR yang mengikat semua. Dia mengatakan nantinya presiden boleh membuat visi misi, serta varian-varian pembangunannya kemudian ditawarkan pada gubernur, bupati, wali kota. "Tidak boleh terlepas dari road map (peta jalan) pembangunan nasional yang sudah ditetapkan MPR," ungkapnya.
BACA JUGA: Syarief Hasan Janji Pertahankan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara
Nah, Basarah menegaskan bahwa Fraksi PDIP merasa tidak ada urgensinya menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurutnya, menjamin kesinambungan pembangunan nasional bukan dengan menambah masa jabatan presiden menjadi tiga, empat periode atau seumur hidup.
Dia menyatakan, kesinambungan pembangunan nasional akan kukuh kalau mendapat payung hukum lewat konstitusi. "Bukan dengan undang-undang seperti UU 25 Tahun 2004 (tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)," kata dia.
Selain itu, ujar Basarah, amendemen kali ini juga tidak ada kaitannya dengan membahas sistem pemilihan presiden. Menurut dia, saat amendemen UUD 1945 kurun waktu 1999-2002, itu konteksnya memang mengubah sistem pemilihan presiden. Dari dipilih MPR, menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
"Itu memang konteksnya membahas tentang bagaimana cara memilih presiden, tidak dibahas di sana tentang bagaimana caranya menghadirkkan haluan negara," katanya.
Lebih jauh Basarah tidak mempersoalkan beragam diskursus yang berkembang terkait amendemen terbatas UUD NRI 1945. Awalnya amendemen terbatas itu untuk menghidupkan kembali pokok-pokok haluan negara. Belakangan pendapat masyarakat pun berkembang hingga menimbulkan pro-kontra.
Basarah menjelaskan ada yang setuju maupun tidak terhadap amendemen. Ada yang setuju dengan catatan. Ada pula yang setuju dengan menambah pasal-pasal lain. Tidak hanya itu, muncul pula gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode, hingga dipilih kembali MPR.
“Bagi kami diskursus yang berkembang di tengah masyarakat baik yang kontra maupun yang setuju adalah satu hal yang sehat dalam sebuah negara demokrasi,” kata Basarah.
Menurut dia, MPR memiliki tanggung jawab untuk terus membangun peradaban politik dan demokrasi bangsa Indonesia, sebagai salah satu fungsi pendidikan politik yang diamanatkan oleh parpol. Sebab, MPR terdiri dari fraksi partai politik, dan ditambah kelompok DPD.
Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan fraksi juga memiliki sikap terkait amendemen konstitusi.
Menurut dia, silakan saja untuk membahas amendemen UUD NRI 1945 kalau urgensi melakukan perubahan itu tinggi. Ia menegaskan bila ada yang perlu diamendemen maka perlu disempurnakan.
"Kalau kami memiliki suatu terminologi bahwa kami akan melakukan penyempurnaan. Kami akan melakukan penyusunan itu kalau terdapat memang yang kurang sempurna," kata Syarief dalam kesempatan itu.
Syarief mengatakan Partai Demokrat masih tetap pada prinsip bahwa amendemen ini belum pas untuk dilakukan penyempurnaan. "Karena semua sudah cukup," tegasnya.
Menurut Syarief, sebenarnya semua sudah digariskan dalam UU 25/2004. Ia menuturkan bila diikuti pasal per pasal, ekspektasi rakyat itu sudah tertuang semuanya.
Dalam UU itu, kata dia, juga bisa dilihat aturan bahwa visi-misi presiden yang dituangkan apabila menang pemilihan itu juga harus diikuti oleh kepala daerah-kepala daerah. Pihaknya juga melihat RPJMN, RPJP, RKP, sudah dituangkan secara detail. Menurut Syarif, hal ini sebenarnya membantu presiden, gubernur, kepala daerah apabila mereka mengikutinya.
"Jadi, pertanyaannya apakah akan selesaikan melalui amendemen, atau sistem pemerintahan yang harus kita sempurnakan? Kami saat ini, sepakat bahwa yang terbaik mungkin melalui UU," katanya.
Hanya saja, lanjut dia, bila rakyat menghendaki perubahan melalui TAP MPR, maka Demokrat akan mengikutinya.
Syarief khawatir kalau dilakukan perubahan menyeluruh, akan menyentuh ke hal lain. Misalnya, penambahan masa jabatan presiden, serta dipiliy langsung oleg MPR.
"Kalau TAP MPR dibuat MPR dan dilaksanakan presiden, maka secara implisit ada pesan MPR itu lebih tinggi daripada presiden. Padahal, saat ini kita sepakat MPR adalah lembaga tinggi negara, bukan lembaga tertinggi negara," ujarnya.
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono mengatakan lebih setuju adanya amendemen UUD NRI 1945. Menurut dia, konstitusi mengatur negara. “Jadi kalau bicara tetang haluan negara, harusnya UUD-nya disesuaikan," kata Nono di kesempatan itu.
Nah, Nono menegaslan bahwa harus disepakati amendemen bukan untuk kepentingan golongan atau kelompok. "Jadi, harus kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara secara nasional," ungkapnya.
Menurut Nono, amandemen terbatas hanya untuk haluan negara, tidak boleh sama sekali menyentuh yang lainnya. "Apalagi mengungkit masalah sistem presidensil. Ini sama sekali bukan merupakan pintu masuk untuk mengendalikan presiden tidak sama sekali," katanya.
Menurut Nono, kalaupun harus bicara kewenangan kelembagaan misalnya DPD, kehakiman dan lainnya dalam amendemen nanti, "Terserah bagaimana nanti ke depan, tetapi yang penting adalah bicara haluan negara."
Menurut Nono, dalam proses ini maka DPD jangan diitinggalkan. Dia menegaskan DPD harus mendapar peran. "Karena dia adalah representasi dari daerah, karena kalau tidak dilibatkan, satu orang saja tidak hadir di MPR, maka tidak sah (amendemen)," ungkapnya.(boy/jpnn)
Redaktur : Boy
Reporter : Boy, Friederich