jpnn.com, JAKARTA - Wacana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN model baru atau PPHN yang digulirkan MPR sejak 2014 lalu terus menuai pro-kontra di tengah masyarakat.
Ada dua kutub pendapat dan sikap masyarakat terkait wacana tersebut.
BACA JUGA: MPR Sepakat Mendalami dan Mengkaji Soal Amandemen Terbatas UUD NRI Tahun 1945
Pertama kelompok masyarakat yang setuju.
Kedua, kelompok masyarakat yang tidak setuju bangsa Indonesia kembali memiliki haluan negara dan haluan pembangunan nasionalnya dengan berbagai argumentasi dan kepentingan yang melatarbelakanginya.
BACA JUGA: Usulan Amendemen UUD 1945 Perlu Diperdebatkan
Mereka yang setuju menganggap Indonesia yang sangat besar dan banyak penduduknya ini tidak bisa rencana pembangunan nasionalnya hanya diserahkan kepada basis visi, misi dan program perseorangan calon presiden (Capres).
Kemudian ketika memenangi pemilu presiden, visi, misi dan program Capres tersebut diubah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) selama lima tahun ke depan.
BACA JUGA: Ketua MK Komentari Usulan Amendemen UUD 1945, Begini
Walhasil, setiap ganti pemimpin, berganti pula program dan kebijakan pembangunannya.
Situasi tersebut menimbulkan ketidakpastian arah pembangunan nasional, dis-continuitas pembangunan dan sering terjadi mis-koordinasi antara konsep serta pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Mereka yang tidak setuju mengaggap bahwa konsep pembangunan nasional yang sudah ada sekarang berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dianggap sudah cukup baik dan tidak perlu diubah lagi melalui amendemen UUD 1945.
Perdebatan antara kedua kutub pemikiran dan sikap politik seperti itu terus berlanjut hingga saat ini.
Tentu ada banyak hal yang harus terus didalami secara bijak dari pro dan kontra pendapat masyarakat tersebut.
Hal yang pasti, bangsa Indonesia harus segera mencari solusi yang komprehensif dan bijak agar situasi pembangunan nasional yang cenderung tanpa arah dan tujuan yang pasti seperti ini tidak terus berlanjut.
Pokok-pokok pikiran seperti itulah yang saat ini tengah didalami Badan Pengkajian Ketatanegaraan MPR RI dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan perguruan tinggi sejak 2014 lalu.
Di tengah pro kontra masyarakat terhadap wacana amendemen terbatas tersebut, tiba-tiba muncul berbagai isu di tengah masyarakat.
Ada yang mengatakan bahwa MPR akan mengubah pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden dari maksimal dua periode menjadi tiga periode.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa masa jabatan Presiden Jokowi akan diperpanjang dua atau tiga tahun lagi.
Situasi inilah yang dalam beberapa hari terakhir ini menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat kita.
Tentu kita bisa membaca munculnya gagasan-gagasan tersebut sebagai suatu dinamika yang wajar dalam sebuah negara demokrasi seperti di negara kita.
Namun kita juga patut mewaspadainya sebagai suatu upaya yang sistematis untuk menggagalkan wacana dan rencana MPR untuk menghadirkan kembali GBHN model baru atau PPHN melalui amendemen terbatas UUD 1945.
Atau memang bisa jadi ada upaya beberapa pihak yang ingin memanfaatkan momentum amendemen UUD 1945 dengan mendorong perubahan pada pasal-pasal lain yang mereka inginkan di luar amendemen terbatas, khusus pasal yang mengatur tentang kewenangan MPR untuk dapat menetapkan kembali GBHN model baru atau PPHN.
Bagaimana MPR seharusnya mengambil sikap atas rencananya melakukan amendemen terbatas UUD untuk hadirkan GBHN model baru atau PPHN dalam situasi bangsa yang seperti itu?
Tentu kita meyakini bahwa cara mengubah UUD di MPR berbeda dengan cara membuat atau merevisi undang-undang di DPR.
Bukan hanya pada prosedur dan mekanisme pembentukan hukumnya saja, tetapi mengubah UUD harus memenuhi syarat formil yang diatur pasal 37 UUD 1945 dan aturan turunannya.
Selain itu juga diperlukan prasyarat situasi nasional bangsa Indonesia yang kondusif, baik secara politik maupun kondisi psikologis dan sosial kemasyarakatan kita.
Bangsa Indonesia pernah beberapa kali mengubah konstitusinya sejak awal kemerdekaan dulu, yakni UUD 1945 menjadi UUD RIS 1949.
Kemudian mengubah lagi dengan UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD 1945 pada 1959.
Amendemen UUD 1945 dilanjutkan lagi pada 1999-2002.
Pada saat terjadinya amendemen 1999-2002 yang lalu, MPR mengubah hampir semua pasal dalam UUD 1945, karena pada saat itu belum ada pasal 37 yang mengatur cara perubahan UUD secara rinci dan rigit.
Jika saat ini akan dilakukan perubahan UUD 1945 tidak bisa lagi dilakukan secara serampangan dan bersifat meluas terhadap pasal-pasal yang tidak diusulkan perubahannya oleh sepertiga jumlah anggota MPR yang mengusulkan perubahan UUD tersebut.
Sekalipun pasal 37 UUD 1945 dan aturan di bawahnya memberi batasan yang rigit dan rinci atas usul perubahan pasal-pasal dalam UUD tersebut, tetap saja hal itu menimbulkan kekhawatiran politik akan terjadi usulan perubahan pada pasal-pasal yang lainnya.
Karena itu, diperlukan prasyarat lain sebelum dilakukan perubahan UUD tersebut, yaitu adanya kesepakatan nasional bangsa Indonesia melalui kesepakatan para ketua umum atau pimpinan partai politik yang punya perwakilan di MPR, dan unsur DPD RI di MPR.
Kesepakatan ketua umum atau pimpinan partai politik dan DPD RI tersebut juga memerlukan dukungan luas dari pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya serta dari sebagian besar elemen bangsa Indonesia lainnya.
Tanpa adanya kesepakatan nasional seperti itu, wacana dan rencana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN model baru atau PPHN niscaya akan terus mengundang kecurigaan tak berkesudahan yang kontra produktif di tengah bangsa kita.
Di sisi lain, saat ini bangsa Indonesia dan pemerintahan Presiden Joko Widodo tengah berjuang untuk menyelamatkan nyawa dan kesehatan rakyat akibat serbuan pandemi Covid-19 beserta ekses sosial ekonomi yang ditimbulkannya.
Perjuangan mengatasi pandemi global Covid-19 itu juga memerlukan energi bangsa yang tidak sedikit, di samping itu juga memerlukan sikap kegotong-royongan seluruh elemen bangsa karena mengatasi Covid 19 ini tidak bisa diselesaikan dengan cara perseorangan atau kelompok tertentu saja.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka saat ini bukanlah momentum yang tepat bagi MPR untuk melakukan amendemen UUD.
MPR perlu untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah dan elemen bangsa lainnya berjuang menjalankan tugas dan kewajibannya melindungi bangsa dan rakyatnya dari bahaya virus mematikan Covid-19 ini.
MPR juga perlu terus mendorong terciptanya suasana kebangsaan yang kondusif dan tidak lelah untuk terus berdialektika menyamakan persepsi bangsa akan pentingnya bangsa yang besar ini kembali memiliki GBHN model baru atau PPHN melalui jalan amendemen terbatas UUD 1945.
Jika semua prasyarat formil dan non-formil tersebut sudah terpenuhi, maka di situlah momentum yang tepat bagi MPR.
Melakukan langkah formil kenegaraan amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara dan haluan pembangunan nasional bangsa Indonesia demi kesinambungan dan kepastian masa depan bangsa dan negara Indonesia Raya tercinta. (***)
Dr. Ahmad Basarah
Wakil Ketua MPR RI/Ketua DPP PDI Perjuangan
BACA ARTIKEL LAINNYA... Konon Jokowi Tidak Setuju Amendemen, Keputusan Diserahkan ke MPR
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi