Amendemen UUD Hanya Melayani Kepentingan Elite Politik

Kamis, 19 Agustus 2021 – 16:06 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti saat Sidang Tahunan MPR RI pada Senin (16/8). Foto: humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melihat wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bakal memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) hanya keinginan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) untuk mendapatkan kewenangan lebih besar.

"Ini kemauan MPR saja, untuk mengambil kembali kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amendemen 1999-2002," ujar Bivitri saat dikonfirmasi, Kamis (19/8).

BACA JUGA: Amendemen di Tengah Pandemi, Pengamat Sebut Dagelan Politik

Bivitri menilai Indonesia sudah memiliki UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek.

"Bahwa masih ada yg tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen (harus berbentuk RPJM atau PPHN) tetapi dalam pelaksanaannya," tutur Bivitri.

BACA JUGA: Bamsoet: Satu Suara Bisa Menggagalkan Pembahasan Amendemen Terbatas

Menurut Bivitri, cara pandang kontrol pusat melalui PPHN sudah ketinggalan zaman. Dalam penyelenggaraan negara modern, kata dia, terutama yang mendukung inovasi dan juga adaptif, tidak perlu ada "haluan negara" yang ditentukan dengan ketat.

"Model RPJM yang sekarang sudah bagus, apalagi levelnya kebijakan di tingkat UU, sedangkan PPHN yang diinginkan MPR kan levelnya "ketinggian," di atas UU, sehingga tidak felksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis," ucapnya.

BACA JUGA: Tak Relevan di Masa Pandemi, Amendemen Malah Buka Peluang Pemilihan Presiden Oleh MPR

Selain itu, PPHN dinilai tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan saat ini, sehingga adanya PPHN nanti tidak ada implikasi hukum tata negara apabila tidak diikuti.

"Tidak bisa lagi dijatuhkan dengan alasan politik pelanggaran PPHN seperti halnya dulu Soekarno dianggap melanggar haluan negara," kata Bivitri.

Bivitri mengatakan kemungkinan pembahasan PPHN dalam amendemen UUD 1945, akan melebar dan sarat akan kepentingan. Karena tidak ada aturan yang mewajibkan pembahasan sesuai agenda secara pasti.

Dalam Pasal 37 UUD 1945 telah diatur tata aturan pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, pengubahan harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota, dan keputusan harus 50% +1. Akan tetapi hal tersebut hanyalah mengatur soal kuorum dan bisa berubah dengan mudah sesuai persetujuan anggota.

"Jadi bisa saja ada agenda tambahan di tengah dan bisa disetujui sepanjang disetujui sesuai kuorum. Dan jangan lupa dalam politik tawar-menawar itu sering terjadi, sangat terbuka peluang, agar PPHN masuk, ada yang harus disetujui," ujar Bivitri.

Bivitri berujar, jika amendemen UUD 1945 dibahas di tengah pandemi Covid-19 akan menyedot banyak energi. amendemen, kata dia, biasanya dibahas ketika terjadi peristiwa politik luar biasa.

"Kalau amendemennya dengan cara seperti ini (top down), bisa dipastikan memang ada kepenting elite politik untuk kepentingan kekuasaan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat," ucap Bivitri. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler