Amerika Bikin Sekutu Arab Kecewa, Rusia Terbukti Setia

Rabu, 02 Maret 2022 – 12:41 WIB
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dan Presiden Rusia Vladimir Putin terlihat sangat akrab di sela-sela pertemuan G20 Buenos Aires pada 2018 silam. Foto: ALEJANDRO PAGNI / AFP

jpnn.com, ABU DHABI - Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) tidak mendukung upaya Amerika Serikat melawan invasi Rusia ke Ukraina.

Malahan, kedua negara Teluk tersebut belakangan makin akrab dengan rival Paman Sam.

BACA JUGA: Tak Bantu Amerika Cs, Arab Saudi Malah Bekerja Sama dengan Rusia

Pada Minggu (27/2), Arab Saudi menegaskann komitmennya terhadap kerja sama OPEC+ bersama Rusia. Padahal, sekutu-sekutu AS baru saja menghukum Kremlin dengan gelombang sanksi ekonomi dalam skala yang tak pernah terlihat sebelumnya.

Beberapa hari sebelumnya, UEA memilih abstain dalam voting resolusi Dewan Keamanan PBB terkait aksi militer Rusia. Padahal, sebelum pemungutan suara, Gedung Putih sudah meminta sekutunya memberi dukungan.

BACA JUGA: Rusia dan Arab Saudi Biang Keladi Anjloknya Harga Minyak?

Emile Hokayem, pakar Timur Tengah di International Institute for Strategic Studies, menyebut suara abstain UEA tersebut telah mengejutkan beberapa pejabat Barat.

Namun dia juga mengingatkan bahwa perilaku main aman UEA bukanlah berita baru. "Ini sudah berlangsung cukup lama," ujar dia.

BACA JUGA: Nikmatnya Jadi Sahabat Israel, Uni Emirat Arab Bebas Borong Senjata-Senjata Tercanggih Amerika

Hubungan AS dengan mitra-mitra utamanya di Timur Tengah dalam satu dekade terakhir memang tak semesra sebelumnya.

Negara adidaya itu dinilai makin abai terhadap kepentingan jangka panjang Saudi dan UEA, bahkan terkesan sudah memalingkan wajah dari Timur Tengah.

Sikap UEA di DK PBB kemarin menunjukkan keinginan untuk bergeser ke arah kebijakan luar negeri yang lebih netral, bebas dari pengaruh kepentingan AS.

“Kami tidak mendukung atau menentang (resolusi DK PBB) — itulah posisinya. Jika Amerika marah, itu urusan mereka,” kata Abdulkhaleq Abdulla, seorang profesor ilmu politik di UEA kepada Financial Times.

“Kami tidak lagi membutuhkan lampu hijau dari Amerika atau ibu kota barat lainnya untuk memutuskan kepentingan nasional kami.”

Keretakan hubungan ini mencuat ke permukaan akhir tahun lalu ketika UEA menangguhkan pembicaraan soal pembelian jet tempur F-35 buatan AS. Abu Dhabi geram lantaran AS menyertakan klausul yang membatasi penggunaan pesawat mutakhir tersebut.

UEA juga mempersoalkan makin kecilnya dukungan AS kepada koalisi militer pimpinan Arab Saudi yang berperang melawan pemberontak Houthi di Yaman.

Pemerintah UEA sendiri menolak tuduhan bahwa suara abstain tersebut adalah bentuk dukungan terhadap invasi Rusia.

Abu Dhabi berpandangan bahwa keberpihakan kepada salah satu pihak dalam konflik ini hanya akan memicu lebih banyak lagi kekerasan.

"Prioritas kami adalah mendorong semua pihak untuk menggunakan tindakan diplomatik dan bernegosiasi untuk menemukan solusi politik," ujar Anwar Gargash, salah seorang penasihat presiden UEA.

Presiden Joe Biden juga telah memicu kemarahan Riyadh dengan mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Arab Saudi dan menolak untuk berbicara dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, penguasa de facto kerajaan.

Sebaliknya, Putin adalah salah satu dari sedikit pemimpin dunia yang merangkul Pangeran Mohammed setelah kerajaan itu secara luas disalahkan atas pembunuhan Jamal Khashoggi oleh agen Saudi pada 2018.

Arab Saudi, yang belum mengeluarkan pernyataan tentang invasi Rusia ke Ukraina, tengah berbagi kepentingan energi dengan Moskow sebagai pemain utama dalam kerja sama OPEC+.

Di sisi lain, Riyadh telah menolak desakan AS agar memompa lebih banyak minyak ke pasar demi menekan harga yang telah menyentuh USD 100 per barel.

Ali Shihabi, seorang pakar Saudi, mengatakan AS telah mengirim banyak sinyal bahwa aliansinya dengan kerajaan bukan lagi sesuatu yang bisa diandalkan oleh Riyadh.

“Oleh karena itu para pemimpin Saudi telah memutuskan bahwa mereka harus membangun banyak aliansi dan hubungan dengan kekuatan besar lainnya, terutama China dan Rusia,” katanya.

Dia menambahkan bahwa Riyadh telah banyak berinvestasi dalam membangun hubungan dengan Moskow dan menganggap OPEC+ strategis bagi ekonomi kerajaan.

"Ini bukan sesuatu yang bakal dibuang kerajaan ke dalam toilet," katanya

“Rusia telah membuktikan bahwa mereka mengingat teman-temannya dan juga musuh-musuhnya dan perjanjian OPEC+ yang ditandatangani oleh kerajaan adalah salah satu yang akan dipatuhi dengan ketat oleh kepemimpinan Saudi. Politisi Barat memiliki ingatan yang pendek. Para pemimpin Saudi tidak.” (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler